Jangan pernah menunggu 'nanti' untuk memulai impianmu. Terlambat memang bukan kesalahan. Tapi terlambat mempengaruhi segalanya, apa yang kaupikirkan sekarang tentu berbeda jika dimulai dulu.
Betapa nikmatnya menghadapi tantangan saat menyukai sesuatu, sama seperti itu ketika memulai menggapai mimpi yang terlambat. Saya sangat terlambat menyadari dari sekian banyak tawaran dan akhirnya putus di tengah jalan, bahwa langkah terakhir inilah akhirnya yang jadi pilihan saya. Betapa menyenangkan saat menyadari bahwa lembaran-lembaran kertas tebal berbahasa berbeda dari bahasa sehari-hari saya ternyata penuh dengan pengetahuan yang sangat jauh dari apa yang selama ini saya ketahui. Menyenangkan karena saya mendapatkan tantangan untuk maju, untuk belajar, untuk mengetahui betapa luasnya dunia ini. Menyenangkan ternyata saya tak cukup pintar untuk bidang yang saya pikir telah saya kuasai dengan baik.
Saya menangis, menyesal... menjadi orang dengan kecerdasan di atas rata-rata telah membuat saya sombong. Sombong dengan memilih bidang-bidang yang sama sekali bukan menjadi mimpi saya. Pancingan teman-teman untuk sekedar mencoba telah berhasil mengubah haluan saya untuk mengikuti keinginan mereka. Padahal keinginan sayalah yang utama, seharusnya. Meski berhasil membuktikan saya mampu meraihnya, mampu mendapatkan beasiswa, tapi akhirnya justru menjadi sia-sia karena saya tak betah untuk terus melangkah di bidang tersebut. Berkali-kali terjadi dan saya tak pernah sadari kalau saya sudah semakin jauh dari cita-cita awal.
Sampai kebingungan itu terjadi ketika saya ingin kuliah lagi, dan mulai memilih jurusan yang saya inginkan. Saya tak mau melanjutkan program studi yang telah saya selesaikan sampaikan jenjang S2 karena merasa dunia itu tak cocok untuk saya.
Tak ada siapapun yang memberi jawaban memuaskan hati, semuanya hanya melihat kemampuan bukan apa yang saya inginkan.
"Kamu kan pernah jadi sekretaris, ambil administrasi perkantoran saja!"
"Bunda kan pintar soal manajemen dan pernah jadi manajer, kenapa gak ambil manajemen perusahaan? Atau ambil aja S2nya. Lumayan loh kalo kerja bisa dobel-dobel. Sayang kan dulu pernah sertifikasi juga."
"Politik saja mbak, dunia politik kan akrab di keluarga Mba. Sudah ada jalur, tinggal imbangin pendidikan aja. Mana tahu jadi anggota parlemen?"
Saya bukan mencari uang apalagi jabatan, ya... benar memang uang tak bisa dilepaskan. Tapi saya mencari apa yang saya inginkan, benar-benar suara hati saya. Saat ini saya hanya ingin memikirkan diri sendiri. Bukan karena egois. Bertahun-tahun, saya hidup hanya untuk membuat orang-orang di sekitar saya senang, lalu meluas untuk menjadi orang yang menjadi pelangi untuk banyak orang. Saya sampai melupakan apa yang menjadi keinginan saya karenanya. Padahal untuk menyenangkan orang-orang di sekeliling kita, membahagiakan diri sendiri itu juga penting.
Seperti biasa, suami tak pernah membantu secara langsung. Di kala kebimbangan saya mulai mendekati titik tunggu, karena pendaftaran kuliah sudah dimulai barulah ia ikut campur.
"Dulu Mamah pengennya mau jadi apa?"
Spontan tanpa berpikir, saya teringat di buku diary saat SMP. Masih ingat dulu zaman di mana kita bertukar biodata dengan teman-teman dan selalu saya tulis di kolom cita-cita. Menjadi penterjemah.
Saya sempat tersipu malu mengingatnya, tapi kemudian berpikir dan merenungkan. Dulu betapa kerasnya keinginan itu terpatri di hati saya. Ibarat kata... hari demi hari, saya hanya mengasah kemampuan di bidang itu bahkan ketika sudah duduk di bangku SMEA. Saya pernah dikeluarkan dari jam pelajaran Bahasa Inggris karena berani mendebat guru kelas dan dihukum untuk tidak mengikuti pelajarannya sampai saya minta maaf dan bersedia menerima apapun yang diajarkan. Namun hingga akhir masa sekolah, saya tak pernah meminta maaf karena saya yakin saat itu saya benar. Saya menjadi guru les bahasa Inggris bahkan ketika usia belum membolehkan saya bekerja, jadi semuanya saya pelajari lebih cepat dari teman-teman. Semua karena saya menikmatinya. Saya sangat menikmati setiap mengetahui bahwa inilah pelajaran dimana saya merasa bergairah belajar.
Saya ingat guru dan kepala sekolah SMEA bagaimana mimik panik mereka saat mendatangi saya ketika keluar dari ruang ujian Bahasa Inggris hanya tiga puluh lima menit setelah ujian dimulai. Mereka memaksa saya masuk kembali untuk memeriksa. Mereka yakin, kebencian saya pada guru bahasa Inggris pasti membuat saya mengisinya asal-asalan. Bahkan guru bahasa Inggris yang tak pernah bertegur sapa pun ikut turun tangan saat itu membujuk. Namun saya tak pernah mau...
Banyak yang justru kaget melihat hasil ujian itu. Dari 100 soal hanya 2 kesalahan dan itu pun karena saya menandai dua jawaban, sementara yang lain karena saya tidak mengisinya (terlewati). Nilai saya saat itu membuat Kepala Pendidikan Propinsi Balikpapan mendatangi sekolah dan menyalami saya secara pribadi. Kalau tak salah, untuk wilayah Indonesia, saya menjadi perolehan nilai ke-dua tertinggi setelah siswi sekolah swasta Internasional dari Jakarta.
Nilai itu pula menjadi pembuktian saya terhadap kesalahan guru bahasa Inggris saya saat itu. Anehnya, kami justru berbaikan setelah pesta perpisahan. Inilah perdebatan terpanjang sepanjang hidup saya.
Nilai ini pula yang mempertemukan saya dengan mudah pada Hannes. Atasan pertama dan akhirnya menjadi sahabat karib, seseorang yang berkebangsaan Australia dan mengajarkan banyak sekali pemahaman-pemahaman baru mengenai dunia kerja. Seseorang yang mempengaruhi banyak sekali pemikiran saya melalui penilaian dunia luar terhadap negara dan kultur saya.
Saya kangen... kangen banget merasakan kembali perasaan bersemangat, gairah untuk meraih dan mengecap tantangan yang tak pernah habis. Maka saya memilih bidang ini lagi untuk menjadi program studi pilihan saya.
Dan di hari di mana kartu mahasiswi saya disahkan, saya melahap semua latihan yang saya dapatkan dari teman-teman. Hasilnya? Saya lulus rata-rata 5/10 dari semua latihan. hahaha.... Saya benar-benar terlalu jauh melangkah dari rel. Saya sadari itu sekarang. Saya juga sadar kalau ternyata writing saya jauh lebih baik dari reading. Bukan main besarnya perbedaan itu. Dulu saya dengan mudah membandingkan article, verbs dan menggunakannya. Sekarang? Saya benar-benar amnesia total.
Tapi saya merasakan kembali apa yang hilang selama ini. Passion, ya passion. Passion untuk menyemangati diri kembali, untuk menjadi Iin kecil kembali, seseorang yang bercita-cita menjadi penterjemah di masa remajanya sebelum menguburnya dalam-dalam demi keinginan banyak orang. Dulu saya anak remaja penuh mimpi itu, saya kini seorang wanita beranak tiga tapi mimpi itu masih rapi terpatri di hati saya. Ia terlalu dalam untuk dilupakan dan saya takkan mau melepaskannya sekali lagi.
Inilah mimpi berikut yang akan saya capai selanjutnya. Penterjemah mungkin bukan pekerjaan yang saya inginkan sekarang. Saya ingin belajar menulis dalam berbahasa Inggris, mengartikan berbagai buku yang saya dapatkan dari teman-teman dan atasan saya dulu dengan lebih baik dan memberitahu dunia betapa banyak hal yang tak kita ketahui. juga terakhir membantu teman-teman penulis yang ingin membuat hasil karya mereka dalam bahasa Inggris agar lebih dikenal luas.
Jadi tunggu saya wahai Indonesia! Saya memilih bidang ini bukan karena saya tak mencintai bahasa Indonesia, tapi karena saya ingin memperkenalkan Indonesia memiliki banyak penulis-penulis hebat yang bisa mengalahkan para penulis di luar negeri sana. Agar saya bisa membagi banyak buku di luar sana, untuk anak-anak negeri ini. Bahasa tak boleh membatasi kita untuk menjadi pintar.
Semangat!!!