[/caption]Kehadiran sinetron di televisi mungkin akan selalu ada. Meski banyak pertentangan, tapi tingkat rating tinggi terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Mau bagaimana pun protes, ternyata sebagian ibu-ibu (atau Bapak-bapak) masih menyukai tayangan sinetron. Berkali-kali diprotes juga percuma, karena memang begitulah wajah pertelevisian Indonesia.
Untuk menyoroti kualitas sinetron atau akting para pemainnya, tentu saya bukan orang yang tepat. Tapi sebagai seorang ibu yang sangat mempedulikan lingkungan sekitar, saya ingin sekali mengangkat permasalahan syuting sinetron yang terkadang terlalu menghalalkan segala cara. Entah itu di atas kepentingan umum ataupun kepentingan orang lain.
Masih lekang dalam ingatan tentang anak yang harus meregang nyawa karena terganggu akibat syuting sinetron. Namun, sekali lagi saya melihat sendiri (sekali lagi) ada anak-anak yang dieksploitasi secara berlebihan saat syuting.
Entah berapa banyak anak-anak yang harus mengorbankan waktu mereka untuk syuting. Biarpun seribu alasan dikemukakan melalui infotainment, tapi praktik di lapangan justru mengungkapkan perbedaan.
Baru-baru ada yang heboh di sekolah putri saya. Dua temannya mendadak botak. Dan kebotakan itu karena proses syuting. Yang lebih menyedihkan, anak-anak ini sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir sekolah dan mereka sudah mendapat warning dari pihak sekolah karena sangat sering bolos sekolah. Sayangnya, orangtua mereka sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Entah apa mereka, baik para orangtua mereka dan juga para produser sempat memikirkan hal ini atau tidak, bahwa masa depan anak-anak ini lebih panjang dari umur serial sinetron itu.
Sebagai penonton televisi, saya akan lebih memilih kualitas cerita dan akting para pemainnya dibandingkan penampilan mereka. Apalagi saya juga sempat melihat beberapa artis menggunakan semacam topi berwarna kulit ketika harus berperan sebagai orang yang botak. Jika para artis besar itu saja malu untuk menjadi botak untuk sinetron, kenapa tidak memikirkan apa yang akan terjadi pada anak-anak itu? Kalaupun para artis itu mau dibotak, mereka bisa memakai rambut palsu, lalu bagaimana anak-anak ini? Harga rambut palsu lebih mahal daripada bayaran mereka.
Sering sekali di televisi para orangtua bilang tidak mengeksploitasi anak mereka, tapi seharusnya pertanyaan itu diberikan pada putra-putri mereka. Antara eksploitasi atau mengeksplorasi prestasi itu bisa dibedakan dengan amat mudah jika kita memikirkan kepentingan anak-anak sebagai sesuatu yang utama. Menjadi hal yang amat menyedihkan ketika anak-anak justru merasa dipermalukan atau kehilangan waktu belajar atau bermain bagi dirinya sendiri.
Marilah, pikirkan masak-masak sebelum memutuskan untuk menerima tawaran syuting. Orangtua mana yang tak bangga jika melihat putra-putrinya muncul di televisi? Tapi akan lebih baik kalau dia muncul karena prestasi.
Jangankan tampil di sinetron, sedangkan untuk tampil sebagai seorang Dai cilik saja masih sering jadi pertentangan. Jadi pikirkanlah kepentingan anak-anak sekali lagi. Kalau mereka menikmati, dan memang menyukai dunia itu, pasti bisa dikenali dengan kegembiraannya yang takkan hilang meski telah menjalani syuting. Tapi kalau kegembiraan, yang merupakan sifat dasar anak-anak, hilang lenyap tiba-tiba maka ini berarti orangtua harus memikir ulang untuk melanjutkan proses.
Biar bagaimanapun memang sinetron anak-anak masih sangat diperlukan. Tapi saya rasa, ada banyak cerita-cerita yang lebih mendidik yang bisa ditampilkan tanpa mengorbankan anak-anak. Beberapa program reality show petualangan anak-anak itu bisa sangat menarik, dibandingkan sinetron anak-anak yang sayangnya lebih banyak menayangkan kekerasan atau tayangan pendewasaan yang bersifat memaksa (seperti kecil-kecil sudah tahu pacaran!). Proses syuting reality show itu juga tak terlalu ribet karena anak-anak itulah pemain utamanya, terkenal atau tidak, tidak tergantung sama sekali dengan jam kerja para artis utama.
Memang penting sekali bagi orangtua untuk mengarahkan anak-anak terutama bagi yang memiliki prestasi atau bakat. Tapi anak adalah seorang manusia, yang tetap memiliki keinginan dan cita-cita sendiri. Mereka tidak berhak menanggung beban keinginan atau cita-cita orangtua mereka yang gagal. Tugas orangtua adalah membangun pemikiran bahwa dunia ini luas dan anak-anak bisa menjadi apa saja yang mungkin. Tak ada cita-cita yang terlalu tinggi, juga tak ada cita-cita yang tak mungkin, semuanya bisa terjadi kalau anak memiliki tekad dan usaha yang kuat untuk mencapainya. Namun jangan sampai anak-anak kita memulai lebih cepat dan berhenti lebih cepat karena mereka bosan.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar