07 Desember 2012

Molly, My Dog...

Taman bunga itu terlihat indah di kejauhan. Seperti biasa setiap kali pulang ke rumah, Mia selalu langsung ke taman yang terletak di belakang rumahnya itu. Bukan untuk menikmati keindahan taman penuh warna itu, ia ingin mendatangi sahabatnya. Senyumnya mengembang lebar saat melihat kuburan kecil, tempat sahabatnya terbaring selama ini.


Apa kabar, Molly sayang? sapanya lembut sambil berjongkok di sisi kuburan yang tertata dengan keramik warna biru putih di sekelilingnya. Ia mencabuti seberkas rumput yang tumbuh di sela keramik.Dua anak kecil berlarian mendekati Molly. Mama, sedang apa di sini? tanya Alisha, putri pertama Mia.


Menengok sahabat Mama, jawab Mia pendek. Kedua putri Mia saling berpandangan penuh tanya. Mata Mia menerawang jauh. Mengenang kembali sahabat sekaligus penyelamatnya. Molly dan cerita yang takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya.


***


Anak anjing itu melolong sedih sekali. Bulunya yang putih bersih berlumur tanah yang hampir mengering, matanya tertutup kotoran hingga tak bisa terbuka. Kaki anak anjing itu tampak lemah dan beberapa kali ia terjatuh saat mendekati Mia. Begitu mencapai ujung kaki Mia, ia meringkuk manja merasakan kehangatannya.


Gadis yang baru masuk SMP itu membawanya pulang, ia jatuh cinta pada anak anjing itu. Meskipun akhirnya ketahuan oleh Mama dan dilarang oleh Papa untuk memeliharanya, Mia tetap berusaha keras. Ia memohon agar diberikan izin. Mia menangis saat melihat si anak anjing hendak dibawa Papa.


Papa dan Mama pun kasihan. Mereka tak pernah melihat putri tunggalnya menangis seperti itu. Begitu banyaknya mainan dan puluhan buku yang pernah dihadiahkan untuk Mia, tapi belum pernah mereka melihat Mia menangis dan memohon sesuatu bahkan sampai bersimpuh di depan mereka seperti itu.


Entah berapa banyak syarat yang dikeluarkan Papa saat akhirnya mengizinkan Mia memelihara anak anjing itu. Anak anjing itu tak boleh masuk rumah, jangan sampai menjilati tangan Mia, setiap selesai bermain atau mengurusi Mia harus mencuci tangan memakai pasir, Mia harus memberi makan, memandikan dan bahkan memberinya obat secara rutin. Masih banyak lagi syarat yang diajukan Papa dan Mama bersama-sama, tapi Mia tak peduli. Dia melompat-lompat kegirangan berterimakasih pada Papa dan Mama.


Lucunya, anak anjing itu ternyata mewarisi beberapa kebiasaan Mia. Molly, nama pilihan Mia untuk anak anjingnya sangat suka lolipop seperti Mia. Yang membuat Papa bingung, Molly juga takut pada petir. Suatu hari saat hujan, Mia menangis lagi. Dia meminta izin membawa Molly masuk rumah sekali saja setelah mendengar anak anjing itu menggaruk-garuk pintu depan dan melolong ketakutan. Mia sampai melupakan rasa takutnya sendiri karena sibuk mengurusi Molly.


Ketika Molly sudah berusia lebih dari setahun, Mia terkena asma. Tanpa meminta pendapat Mia, Papa langsung membuang Molly ke sebuah hutan kecil. Mia marah, tapi sudah terlambat.


Mia, jangan sering-sering ke hutan itu! Hutan itu sepi. Molly pasti sudah dipelihara orang. Kalaupun tidak, dia sudah besar. Dia pasti bisa menjaga diri sendiri, ucap Mama memperingatkan ketika Mia hampir tiap sore selalu datang ke tepi hutan, mencari-cari anjing kesayangannya.


Namun, Mama salah. Suatu hari, sesaat setelah Mia pulang dari hutan kecil itu, terdengar suara gonggongan lemah dari balik pintu pagar. Telinga Mia yang mengenal baik suara gonggongan itu berlari keluar, membuka pagar. Tampak sepasang mata milik anjing berbulu putih dengan telinga berwarna coklat itu menatap Mia, penuh kerinduan dan memohon belas kasihan. Tubuh Molly kurus, dekil dan salah satu kakinya terluka. Mia lupa semua pesan Papa dan Mama. Ia duduk di tanah, memeluk Molly dengan erat. Maaf ya, Mol. Maaf sudah membuatmu terlantar, bisiknya sambil berderai airmata.


Kali ini Mia nekad. Dia menentang orangtuanya. Kalau Molly tak boleh tinggal di rumah, Mia juga akan pergi dari rumah. Bukan main gembiranya Mia melihat orangtuanya memilih mengalah.


***


Mia, hati-hati di rumah ya! Jangan lupa kunci pintu pagar dan jangan buka pintu untuk sembarang orang, kata Mama sambil memakai sepatu.


Mia tertawa kecil. Duh Mama, Mia kan sudah besar. Mia bukan anak kecil lagi. Sebentar lagi lulus SMU, tentu saja Mia mengerti. Sudah, sudah, papa sudah menunggu tuh! sahut Mia. Ia mendorong tubuh Mama agar segera menuju mobil Papa yang sudah menunggu.


Sekarang, Mia berada sendirian di rumah. Tak ada seorangpun selain Mia dan Molly. Ini yang ditunggu-tunggu olehnya, bermain di dalam rumah bersama Molly tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya. Membayangkan omelan Mama kalau tahu dia membawa Molly masuk ke rumah tak menggentarkan hati Mia.


Mama bersenang-senang dengan Papa, dan aku bersenang-senang dengan Molly.


Mia benar-benar menikmati saat-saat itu. Ia makan siang ditemani Molly di kakinya, yang juga menikmati makan siang berupa sepiring daging yang telah dicacah halus dan semangkuk susu segar. Setelah itu mereka nonton televisi di ruang tengah, Mia mengunyah keripik kentang, sementara Molly menjilati lolipop lima senti-nya. Tanpa sadar, Mia dan Molly sama-sama ketiduran di atas sofa. Saat bangun, Mia memandikan Molly di kamar mandi Mama. Kamar yang ada bath-tubnya. Molly yang takut pada air, membuat Mia basah kuyup saat memandikannya. Mereka bermain busa sabun, berlompatan gembira dan saling membasahi. Mereka bersenang-senang berdua, berkejar-kejaran di dalam rumah membuat Mia tertawa dan Molly menggonggong bangga karena membuat sahabatnya bahagia.


Hanya saja, Mia tak sadar kalau ia telah bertindak sembrono. Dua orang yang ingin merampok isi rumah masuk ke dalam rumah dengan mudah. Mereka menyelinap masuk melalui pagar yang tak terkunci dan lalu berhasil melompati jendela yang lupa ditutup Mia.


Siapa kalian? tanya Mia bingung ketika ia menangkap basah para perampok itu. Namun terlambat, kedua penjahat itu sudah terlalu dekat dengannya. Keduanya memegangi Mia. Mia meronta-ronta, berusaha lari keluar. Tapi tenaganya tak cukup kuat untuk melawan. Ia hampir menyerah ketika Molly datang, menyalak marah melihat Mia diserang.


Molly membantu Mia. Ia menggigit kaki salah satu penjahat, membuatnya terjatuh. Sambil berteriak ketakutan, Mia terus berusaha lari ke pintu. Penjahat yang lain tetap memegangi tangan Mia. Molly melepaskan gigitannya saat musuhnya sudah jatuh dan berlari menyerang penjahat satunya.


Semua terjadi begitu cepat, penjahat yang memegang tangan Mia mengayunkan parang di tangannya untuk membungkam Mia dengan melukainya, namun Molly berhasil menahannya. Molly membiarkan parang itu tertancap di tubuhnya, mengoyak perutnya hingga berlubang untuk melindungi Mia.


Molly!! teriak Mia. Kedua penjahat itu tertegun. Mereka panik, kebingungan dan berlarian keluar. Rupanya suara ribut-ribut mengundang para tetangga datang. Dua penjahat itu berhasil ditangkap dan langsung dibawa ke kantor polisi.


Sementara di dalam rumah, Molly merangkak mendekati tubuh Molly yang diam bermandikan darah. Tangannya gemetar berusaha menutupi luka robek itu agar darah tak mengucur.


Molly sayang, ayo bangun! Penjahatnya sudah tidak ada. Ayo Molly, bangunlah! bisiknya berkali-kali. Dia memeluk anjingnya ke dada, memberi kehangatan dan mengguncang-guncangnya agar bangun. Tapi Molly tetap diam.


Semuanya berjalan cepat. Papa dan Mama pulang segera setelah mendapat kabar dari polisi. Tapi pemandangan yang mereka temukan di rumah benar-benar membuat keduanya tak sanggup menahan derai air mata. Mereka sungguh tak tega melihat pekikan kesedihan Mia yang memeluk Molly yang basah oleh darah. Mia berteriak-teriak memanggil nama Molly.


Molly! Molly! Bangun! Ayo bangun! Bangun, Molly! Aku mohon! jerit Mia. Airmata Mia mengalir deras membasahi tubuh Molly. Ia tak ingin apa-apa, ia hanya ingin Molly-nya bangun.


***


Semilir angin menerbangkan semerbak wangi bunga-bunga yang sedang mekar, membangunkan Mia dari kenangan masa lalunya. Mia menghembuskan napas. Kedua putrinya tampak sibuk memetik beberapa bunga, asyik bermain di antara rimbun tanaman.


Lihatlah, Mollyku sayang! Ini taman yang kujanjikan. Taman seperti lolipop yang kau suka itu. Ada mawar berbagai warna kutanam di sini untukmu. Kutanam agar kau senang di sana, sahabat kecilku. Terima kasih sudah membantuku, memberiku kehidupan. Walaupun singkat, aku akan selalu mengenangmu, sahabat dan penolongku.


*****

Tidak ada komentar: