19 Desember 2012

Bawa Anak Kerja? Why Not?

Setelah berhenti bekerja sekitar empat tahun lalu, saya memutuskan untuk mengurus anak-anak sendiri. Saat itu, saya berjanji untuk berkomitmen penuh mengurus mereka tanpa campur tangan siapapun. Janji ini saya buat karena saya pengen menikmati waktu dengan membesarkan anak-anak secara total.

Tapi ah, susah juga benar-benar jadi Emak sejati seperti yang saya mau. Tetap saja, godaan untuk mengaktualisasi diri sebagai seorang perempuan muncul sesekali. Akhirnya ya tetap saja, ketika tawaran itu benar-benar muncul, saya terlalu sayang untuk melepaskannya. Apalagi selama ini sebelumnya saya sudah terbiasa sibuk oleh pekerjaan, sampai dijuluki workaholic sama husband dan ngeledekin kalau saya paling paling hanya mampu bertahan dua tahun untuk tidak bekerja.


Janji tetaplah janji.

Apalagi ketika hubby juga bilang kalau sayang sekali melepaskan berbagai tawaran yang muncul. Makanya saya akhirnya mau, memulai kembali 'aktualisasi' diri itu.

Tapi dengan satu syarat. Saya akan tetap mengasuh anak-anak saya sendiri. Okelah untuk Kakak, saya sudah bisa setengah melepasnya karena sudah remaja, demikian juga Abang yang sudah masuk SD. Tapi untuk Ade, saya bilang tidak ketika Hubby nawarin pengasuh. Saya bilang, apapun meeting saya, apapun pekerjaan saya, mereka yang bekerja sama dengan saya harus menerima keadaan saya. Kalau tidak, ya sudah, berarti itu bukan rezeki.

Dan dimulailah masa-masa itu... tepatnya setahun lalu...

Diawali dengan berbagai meeting penting dengan orang-orang yang tertarik bekerja sama dengan saya. Saya selalu membawa anak saya yang paling kecil, sesekali si Abang juga saya bawa kalau dia libur dan hampir sering selalu bersama suami juga.

Lalu dilanjutkan dengan hadir di berbagai acara pendukung, kemudian beberapa kali ke luar kota untuk melakukan pertemuan lebih lanjut.

Nah dari berbagai pengalaman itu, saya mengalami banyak sekali hal-hal menarik bersama Ade. Ya susahnya, ya senengnya, ya sedihnya, ya gembiranya... komplit plit plit...

Pernah satu kali kami disangka keluarga calon penerima sumbangan untuk sebuah program televisi ketika meeting dengan salah satu produser. Saya sampai ngakak setengah mati di lift ketika suami saya merengut kesal dituduh begitu...
Ada lagi produser yang lain, saya harus nunggu lamaaa sekali. Sudah dicoba kontak ponselnya, ternyata lagi gak aktif. Akhirnya saya ancem si Satpam dengan manis, "kalau sampai Pak A gak datang lima menit lagi, saya gak akan mau ketemu-ketemu dia lagi, karena waktu saya juga penting. Kalau dia tanya kenapa, saya akan bilang kalau Bapaklah yang mencegahnya." dan hasilnya lima menit kemudian... asistennya ngejemput saya untuk naik. hehe.... Selidik punya selidik, ternyata satpam itu tidak percaya waktu saya bilang saya janjian soal pekerjaan dengan bossnya dan dia tidak menyampaikan kalau saya sudah datang.

Kalau bertemunya di tempat yang santai kayak Cafe, sih saya seneng-seneng aja. Anak saya biasanya lebih enjoy dan paling banter ketiduran di sofa karena kekenyangan. Hanya ya itu tadi... saya harus tabah melihat si Ade menyantap es krim segelas besar dan selusin kue-kue manis. Atau bersedia menerima dengan lapang dada, ketika anak menunjukkan rasa bosannya dengan main rumah-rumahan di bawah meja.

Ada kalanya, saya terpaksa hadir di meeting di dalam kantor yang ternyata sama sekali tidak welcome dengan anak-anak. Ini yang paling repot. Apalagi kena sekretaris atau asisten yang keliatan banget dinginnya sama anak-anak, ugghh... kalau udah begini, biasanya saya bicarain yang penting-penting aja dan secepat mungkin cao dari tempat itu. 

Sebenarnya masiiih banyak banget pengalaman antik membawa anak saya bekerja. Tapi yang paling penting, sejauh ini, hampir setahun sejak saya terjun bagian lain dari hidup saya, saya masih bisa selalu membawa Ade.  Memang perlu lebih banyak persiapan khusus, tapi setidaknya komitmen saya masih tetap berjalan.

Dengan membawa Ade, rezeki saya juga tidak berkurang. Memang tak selalu berujung keberhasilan, tapi bukan karena adanya Ade, itu karena memang belum menemukan kata sepakat antara saya dengan klien.

Malah terus terang, kehadiran Ade bisa membantu saya mencairkan suasana tegang. Satu kali di tengah-tengah meeting, Ade pernah menarik-narik saya dan saya agak cuekin, akhirnya dia berkata dengan nyaring "Mamah, Ade Eek!" Waktu itu saya malu sekali, tapi kemudian setelah selesai berurusan dengan Ade, suasananya malah jadi lebih bersahabat. 

Pengalaman-pengalaman saya mungkin akan terus bertambah seiring waktu yang masih panjang. Tapi kebiasaan saya membawa Ade, ternyata juga membawa pengaruh yang baik untuk Ade. Dia jadi terbiasa melihat saya bekerja dan tahu kapan waktunya dia harus duduk dengan manis (or at least gak lari-larian ke sana kemari) Ade jadi tahu manfaatnya krayon dan buku gambar karena dua benda itu adalah temennya ketika saya sangat sibuk. Ade juga tahu bagaimana berinteraksi dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Ia tak penakut, malah sangat tahu cara menyebutkan nama lengkapnya, umur juga dan begitu pandai menjelaskan kenapa dia belum sekolah.

Membawa anak ke tempat kerja... mungkin untuk yang masih bekerja sebagai karyawati belum tentu bisa. Tapi saya yakin, selalu ada jalan untuk semua hal yang baik. Kebiasaan saya membawa anak bukan dimulai dari Ade, tapi dulu ketika Kakak baru lahir pun saya lakukan. 
Dulu ketika baru melahirkan Kakak. saya sudah menawarkan option pengganti pada boss setelah melahirkan dan ingin resign. Tapi surat resign itu ditolak direktur, karena saat itu pekerjaan saya membutuhkan sertifikasi khusus dari sebuah BUMN dan untuk memperoleh sertifikasi itu tidak mudah. Saya pun mengajukan syarat untuk menyediakan fasilitas transportasi dan ruang khusus untuk putri saya selama bekerja. Syarat itu dipenuhi hingga saya benar-benar mengundurkan diri dengan cara pindah ke luar kota. Satu-satunya hal yang membuat saya memaksa berhenti saat itu, karena panjangnya rute perjalanan dari kantor ke rumah (Jakpus-Jakbar).

Kesiapan mental memang diperlukan. Artinya kita harus siap mental menghadapi hal-hal tidak terdua. Anak di usia balita adalah anak yang emosinya naik turun. Bisa jadi anak yang manis, tapi semenit kemudian bukan tak mungkin meledak. 

Saya punya beberapa kiat khusus untuk membuat Ade tetap nyaman selama menemani saya bekerja, antara lain :

  • Membuat si kecil merasa kami sedang melakukan perjalanan piknik, sama seperti saat ke mall atau lagi berlibur ke pantai. Semua persiapannya pun sama terutama membawa mainan kesukaannya, seperti krayon atau buku gambar. Karena Ade ini anak yang mudah bosan, biasanya saya bawakan lebih dari satu jenis mainan. Tapi semua mainan yang interaktif, atau mengundang otaknya berpikir. Saat ini Ade lagi senang bermain peran. Naah, biasanya saya bawakan berbagai boneka kecil-kecil (bukan boneka manusia) agar dia bisa bermain sendiri.
  • Memastikan dia tidak melewatkan waktu makan dan tidur. Biasanya anak-anak rewel kalau melewatkan dua hal itu. Kalau waktu kerja bertepatan dengan makan siang, layani dulu kebutuhannya. Kalau sedang meeting, minta pengertian si klien dan jangan membicarakan urusan bisnis saat melayani anak makan. Bicarakan saja hal-hal yang santai dulu. Tapi jangan terlalu lama mengurus anak juga. Jika ia terlihat kenyang tapi makanannya masih tersisa, maka biarkan ia makan sendiri. Saran saya, ajarkan sejak dini agar anak terbiasa makan sendiri dan kalau tidak salah, Ade sudah bisa makan sendiri sejak usianya sekitar 1,5 tahun. 
  • Usahakan waktu kerja tidak melewatkan waktu tidur siang anak. Perhitungkanlah waktu yang tepat dimana lebih bisa memastikan bisa bekerja dengan baik. Ada yang merasa saat anak tertidur, lebih bisa berkonsentrasi, tapi yang lainnya justru sebaliknya. Tergantung kebutuhan masing-masing. Kalau saya, lebih suka saat anak dalam keadaan tidak tidur tapi juga tidak sedang mengantuk karena lebih bisa diajak kerja sama.
  • Beritahu pihak klien atau rekan kerja kalau kita membawa anak. Supaya mereka pun siap saat harus melihat atau mendengar kondisi yang tidak biasa. Pastikan mereka tidak keberatan dan kalau keberatan, pikirkanlah jalan lain yang tidak mengorbankan pihak manapun. Kalau saya, lebih baik nggak deh.. hehe....
  • Memastikan berapa lama waktu pertemuan atau acara atau urusan tersebut. Kalau anak sudah terbiasa ikut mungkin tidak terlalu masalah dengan lamanya pertemuan, tapi kalau tidak? Waah, itu pentingnya memastikan lamanya pekerjaan itu akan dilakukan.
  • Siapkanlah mental menghadapi hal-hal terburuk. Jangan pernah lupakan PLAN A dan PLAN B. Bersiaplah menghadapi kejutan dari si kecil, seperti muntah, rewel, menangis, bahkan mengamuk. Kalau sudah begitu, katakan maaf dulu pada orang-orang yang sedang bersama sebelum menanganinya. Ada beberapa cara menghentikan si kecil yang rewel, tapi yang paling mudah adalah memindahkannya dari tempat itu ke tempat lain yang lebih sunyi agar bisa berbicara dengan tenang. Jangan terpancing emosi ya bu....
  • Melibatkan si kecil ikut berinteraksi. Jika si kecil bukan tipe anak yang diam, gendong atau pangku dia dan ajak untuk ikut berinteraksi. Libatkan dalam pembicaraan di sela-sela pembicaraan serius, agar si kecil tidak merasa dilupakan.
Ini hanya sebagian kecil untuk catatan tambahan buat ibu-ibu yang ingin membawa si kecil bekerja. Eh, tapi lihat-lihat jenis pekerjaannya juga ya bu... 

Satu hal yang saya pelajari selama membawa si kecil bekerja bersama, ketika seseorang terlihat mudah berinteraksi dengan anak, biasanya dia adalah rekan kerja yang bisa diajak bekerja sama lebih lama. Sikap yang lebih manusiawi, biasanya lebih bisa diajak untuk berkomunikasi.

Jangan takut membawa anak bekerja, bu! Apalagi kalau pekerjaan kita itu hanyalah pekerjaan sambilan diantara kewajiban sebagai ibu. Kalau rezeki takkan lari kemana-mana, tapi waktu bersama anak itu pasti terbatas. Nanti ketika dia sudah bisa mandiri sedikit saja, belum tentu mau diajak. Jadi nikmati saja!

%%%%%%