27 Juni 2012

Memilih Sekolah Yang Tepat

Akhir tahun ajaran hampir tiba. Jika anak-anak menyambutnya dengan kegembiraan berlibur, maka tidak bagi sebagian orangtua karena harus berpusing ria mencari sekolah baru yang tepat untuk putra-putri mereka.


Dengan dua orang anak yang bersekolah di tempat yang berbeda, maka saya membagi sedikit pengalaman dalam memilih sekolah mereka berdua.


Sekolah negeri memiliki keuntungan yaitu gratis. Tapi gratis di sini sangat jauh dari harapan para orangtua sebenarnya. Dari informasi Kepala Sekolah setiap kali ada pertemuan guru, bahwa besaran biaya BOS per anak kurang lebih sekitar Rp 90ribu/bulan. Sehingga selain biaya pendidikan, anak-anak juga mendapatkan buku gratis. Perincian biaya BOS juga kurang transparan dan hanya bersifat formalitas. Pertemuan hanya bersifat satu arah dan pasif.


Tapi yang terjadi adalah, buku 'gratis' itu jumlah tidak mencukupi jumlah murid yang bersekolah sehingga ada beberapa murid yang terpaksa memfotokopi dibandingkan repot bergantian meminjam buku. Buku 'gratis' inipun harus dikembalikan setelah anak naik kelas dengan alasan agar bisa digunakan oleh adik kelas mereka.


Hal lainnya adalah kualitas guru pengajar. Beberapa dari guru di sekolah negeri ternyata bekerja sambil kuliah, dan seringkali hal ini mengorbankan jam mengajarnya. Ketika saya tanyakan tentang hal itu, guru-guru beralasan mereka harus memperoleh standar sarjana agar bisa menjadi guru tetap. Tapi menurut saya, bekerja sambil kuliah kalau merugikan salah satunya adalah hal yang tidak benar. Di luar sana, ada banyak Sarjana S1 dan S2 yang menganggur. Kenapa bukan mereka yang dipekerjakan sebagai guru? Sehingga guru-guru yang 'belum' siap bisa berkonsentrasi untuk mengurus pendidikan mereka.


Cara para pengurus sekolah termasuk kepala sekolah dan para guru dalam menanggapi protes ataupun masukan dari orangtua murid pun seringkali tidak bersahabat, cenderung kasar dan kurang berwawasan. Saat ada masalah kita dihadapkan pada posisi seakan-akan 'sudah sekolah gratis, banyak maunya lagi' sehingga akhirnya banyak orangtua memilih untuk bersikap pasif.


Penilaian guru terhadap murid juga ternyata juga masih dibayang-bayangi oleh sifat 'masa lalu' yang penuh dengan unsur KKN. Ada sistem penilaian 'pribadi' guru yang lebih melibatkan perasaan suka dan tidak suka dibandingkan rasionalitas terhadap kemampuan anak. Jadi meskipun anak saya pandai di atas kertas, tapi kalau dia kurang 'aktif' meraih hati guru termasuk keterlibatan saya dengan kepentingan di sekolah, maka jangan berharap dia bisa menjadi juara kelas.


Jam sekolah juga lebih cepat, yaitu pagi antara pukul 07.00 s/d 12.00 dan siang antara pukul 12.30 s/d 17.00 dipotong jam istirahat selama 15 menit. Kalaupun ada tambahan jam pelajaran, biasanya dilakukan di hari minggu sekitar dua jam dengan biaya yang dibayarkan secara bervariasi tergantung permintaan gurunya.


Saat ini sebagai informasi saja, selama hampir lima tahun putri kami sekolah di sekolah negeri sudah dua kali berganti kepala sekolah. Tapi tetap saja peningkatan mutu yang diharapkan tak pernah ada. Kalau saja putri saya mau dipindahkan ke sekolah lain, sudah lama ia kami pindahkan. Tapi karena tak ingin membuatnya kesulitan di sekolah baru, kami memilih untuk menuruti kemauannya bersekolah di sekolah itu sampai sekolahnya selesai.


Belajar dari pengalaman tidak mengenakkan. Kami pun memilih salah satu sekolah swasta yang cukup bonafid di lingkungan rumah untuk adiknya, yaitu Abang Za. Kami memilih sekolah dasar berbasis Islam.


Namanya saja sekolah swasta maka ada banyak biaya. Untuk awal masuk biayanya saat itu kurang lebih lima juta rupiah. Tapi semua biaya tersebut sudah diperincikan sesuai pengeluaran dan biaya pendidikan selama setahun ditambah uang gedung. Biaya itu bahkan termasuk biaya kunjungan edukatif dan acara-acara sekolah lainnya. Dan ini memang terbukti setelah dua tahun belakangan ini. Kami tak pernah membayar apapun lagi kecuali katering dan uang iuran kelas yang merupakan biaya di luar penyelenggara sekolah.


Semua guru yang bekerja termasuk para pengurusnya sudah menyelesaikan pendidikan sesuai standar sekolah swasta, bersikap profesional dan terlatih. Bahkan termasuk penanganan masalah-masalah seperti pengaduan orangtua murid, masalah penipuan melalui telepon bahkan menurut saya sangat informatif dengan kemudahan akses menelepon wali kelas anak masing-masing. Saya yang hampir tak pernah ke sekolah di hari-hari biasa, dengan mudah mengetahui hal-hal kecil termasuk kalau si Abang sedang 'macet' belajar atau tidak mau makan menghabiskan jatah makan siangnya. Pernah juga kami membahas masalah bullying yang menimpa Abang, dan penanganan pengurus sekolah juga memuaskan kedua belah pihak.


Keterbukaan dalam sistem penilaian juga terlihat saat pembagian raport. Penjelasan guru begitu detail untuk tiap-tiap murid membuat setiap orangtua bisa belajar memahami anak-anak mereka melalui 'mata' profesional. Apalagi ada penilaian psikotes sebelum masuk sekolah, sehingga bisa menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Ada juga pemeriksaan kesehatan tiap enam bulan untuk semua anak. Di sekolah swasta, saya melihat rangking kelas tidak menjadi perhatian utama karena yang lebih ditekankan adalah kualitas anak itu sendiri. Semua orangtua yang sempat saya 'interogasi' juga berpikir sama.


Untuk jam operasional sekolah adalah Senin sampai dengan Jum'at. Hari Senin sampai Kamis, dari pukul 07.00 (diawali dengan ikrar dll, sesuai basis pelajaran Islam) hingga pukul 14.00, dua kali istirahat yaitu pukul 09.00 dan jam 12.00 untuk istirahat makan siang dan sholat Dhuhur. Hari Jum'at pelajaran hingga pukul 10.45. Sabtu dan Minggu Libur. Ada beberapa pilihan ekskul yang bisa dipilih untuk mengisi dua hari libur itu, seperti Bela diri, Seni bahkan Olahraga.Catatan waktu sekolah ini adalah untuk murid kelas 1 & 2, akan bertambah seiring kenaikan kelas nanti.


Setiap tahun, ada daftar ulang sekaligus pembayaran biaya pendidikan seperti awal masuk yang besarnya sekitar setengah dari saat masuk pertama kali.


Lalu bagaimana kualitas hasil pengajaran ?


Tentu saja jauh berbeda. Tapi kembali ini berpulang pada orangtua masing-masing. Untuk mengimbangi ketimpangan kualitas pendidikan di sekolahnya, saya memilihkan sekolah tambahan untuk kakak di pagi hari sementara beberapa orangtua menambah jam les anak mereka. Saya memilih sebuah Madrasah yang jam sekolahnya hanya sekitar tiga jam hingga secara garis besar putri kami tidak ketinggalan pelajaran agamanya. Sementara di sisi lain, kami juga membeli beberapa buku tambahan agar poin-poin yang tidak sempat diajarkan guru-gurunya bisa saya ajarkan di rumah.


Sedangkan Abang, karena padatnya jam sekolah maka kami tidak perlu menambah les dan hanya mengulang saja. Bahkan saya pernah membandingkan pelajaran kelas 2 SD Abang ternyata sama dengan pelajaran kelas 4 SD di sekolah kakak.


Jadi sekarang semua tergantung Ayah dan Bunda untuk menentukan sekolah setelah mengetahui baik buruknya sekolah negeri atau swasta. Kalau memang tidak bisa, jangan pernah memaksakan diri. Setidaknya jika mengetahui sisi buruknya, kita bisa memikirkan cara untuk mengatasinya.


Suka atau tidak itulah potret nyata pendidikan di Indonesia, mau yang bagus yah harus rela merogoh kocek dalam-dalam.


*****


 


 

Tidak ada komentar: