21 Juni 2012

Catatan Di Tengah Macetnya Jakarta

Saya tahu hari ini Ulang Tahun Jakarta yang ke-485. Walaupun tak terlalu feel excited, saya hanya bisa berharap dan berdoa semoga dengan bertambahnya usia, Jakarta bisa berubah menjadi lebih baik.


Sayang saya lupa, kalau daerah tempat tinggal saya adalah daerah di mana pusat perayaan ulang tahun Jakarta yaitu Ancol dengan konser musiknya sedang menawarkan free ticket masuk, Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair dan seabrek penjual kerak telor dadakan yang berbaris manis di kedua sisi jalan eks Bandara Kemayoran.


Dan, sayangnya.... hari ini bertepatan dengan hari kencan saya dengan dua anak termuda. Anak-anak yang kini tertidur pulas di sisi saya, kelelahan setelah menghabiskan setengah hari ini di sebuah pusat perbelanjaan. Jaraknya sebenarnya tak terlalu jauh, paling hanya setengah jam kalau hari-hari biasa, kalaupun macet ditambah sekitar 10-15 menit. Tapi karena kami harus melewati Sunter dan lalu PRJ, barulah saya menyadari apa yang tak pernah berubah di Jakarta ini hingga saat ini.


Apalagi kalau bukan macet? Saya bahkan bercanda dengan sang supir. "Saya sambil nulis artikel aja deh Mang, mulai bete nih. Kalau selesai sebelum nyampe rumah berarti ckckck.... parahnya macet ini." Dan ia pun tertawa kecil "Judulnya Jakarta Kota Macet, ya bu."


Saya memang bukan polisi, juga bukan departemen perhubungan, apalagi petinggi negeri yang bisa mengubah sistem transportasi. Tapi melihat tingkat keparahan macet di kota ini, saya benar-benar terpaksa angkat tangan. Angkat tangan menyerah karena ketidakberesan pengaturan sistemnya.


Candaan 'stress di jalan', 'tua-tua di jalan', 'di jalan jakarta berlaku hukum rimba' ternyata semua ada benarnya dan bahkan saya rasakan. Dulu saya pengguna transportasi umum sejati, alias ke mana-mana naik bus umum. Ke kantor, ke pasar, bahkan saat ingin bersenang-senang. Dulu sih masih mendingan, tapi sekarang? Duh miris saya mengatakannya. Seperti sebuah hutan rimba besar yang penuh dengan pepohonan, Jakarta bagai rimba gedung yang makin lama makin banyak mengikis jalanan. Kebutuhan jalan menjadi semakin tidak seimbang, di sisi lain dikurangi atau dimakan oleh keserakahan pengusaha gedung-gedung atau tempat usaha sedangkan di sisi yang lain kendaraan justru semakin bertambah. Belum lagi parkir sembarangan yang memakan setengah badan jalan, belum lagi yang berjualan.


Kalau saja, semua itu juga dibarengi dengan perkembangan transportasi umum yang memadai. Mungkin tidak akan seperti ini. Mungkin seperti kebanyakan orang, saya juga akhirnya memilih punya kendaraan sendiri karena faktor kenyamanan dan keamanan. Mau naik bus, takut copet dan seringkali diturunkan di tengah jalan sebelum tujuan. Iya kalau kita hafal jalan, kalau tidak?. Mau naik kereta, aduuuh.... saya bingung mengikuti jalur yang amburadul dan kurang sosialisasi. Mau naik bajaj, saya mungkin tahan dengan debu dan asapnya tapi itu kan tidak baik untuk pertumbuhan anak-anak. Dan taksi? Saya hanya bisa menghela nafas, kalau tak hati-hati malah jadi korban supir tembak, apalagi tuh yang merknya #Eksekutif berwarna putih. Kenapa saya berani sebutkan merk? Ya soalnya punya pengalaman pribadi dan bahkan hampir berlanjut ke kantor polisi, bahkan hingga kini saya masih memegang identitas supir yang bersangkutan dan jangan terkecoh dengan nomor telepon yang mereka cantumkan di mobil mereka, itu semua hanya trik-trik marketing belaka. Busway, juga tak menolong karena jauh dari dua faktor penting penggunanya tadi. Akhirnyayaitu tadi, kendaraan pribadi tumplek blek di jalan raya.


Kenyamanan dan Keamanan adalah dua faktor penting memilih transportasi umum

Saya baru sampai di depan PRJ, arah Ancol masih lumayan macet!


Dan di depan saya, antrian motor-motor ramai sekali. Ini juga salah satu penambah kemacetan. Tapi ya mau bagaimana lagi? Suami saya sendiri juga akhirnya memilih motor karena dulu sering terlambat sampai ke kantor. Dengan motor, ia bisa melalui jalan-jalan kecil menghindari macet walaupun harus berlomba dengan bis-bis yang seringkali meninggalkan asap knalpot tanpa peduli pengguna motor yang berjejer di belakangnya. Yang saya tahu lagi, jalan macet juga mengubah karakter manusia. Suami yang penyabarpun jadi ikut-ikutan suka marah-marah kalau sedang di jalan apalagi jika bertemu pengguna jalan yang tidak disiplin.


Istilah rimba kota metropolitan itu mungkin ada benarnya, ya. Menurut cerita supir, sapaan "'A****g Lu!" atau "Dasar M****t!" juga sudah biasa, bahkan lucunya kadang-kadang kalau sudah malas berpanjang masalah, dia suka menjawab seperti "sesama A****g dilarang saling marah-marah!". Ya namanya juga semua maunya terhindar macet, semua maunya sampai dengan cepat, sayang jalannya tak cukup luas memenuhi standar.


Entah berapa banyak kerugian kota kita yang tercinta ini di balik macet yang identik dengan namanya ini. Seandainya saja, kota ini bisa mengurangi 50% dari tingkat kemacetan yang ada mungkin sektor ekonomi bisa berkembang, bukan justru merugi.


Seandainya... (ini mimpi dari penduduk Jakarta ini)



Petinggi negeri mengedepankan kepentingan umum dengan memperbaiki dan merekstrukturisasi sistem transportasi umum, dimulai dengan menghadirkan kendaraan-kendaraan umum yang nyaman, aman dan bersih, banyak pilihan semakin baik.


Lalu membuat jalan-jalan yang sesuai dengan kapasitas kendaraan,


Mengatur peraturan perparkiran bagi para pemilik gedung atau kantor agar tidak menggunakan bahu hingga badan jalan.


Penegasan peraturan penggunaan jalan terhadap seluruh pengguna jalan sesuai dengan aturan.


Kemudahan akses informasi untuk seluruh rute transportasi umum dan sesuai dengan rute trayek.


Ketegasan departemen terkait untuk para penyedia jasa transportasi umum yang 'nakal'


 



Dan mungkin cukup itu dulu harapan saya untuk kota tercinta ini... karena itu saja belum ada yang tercapai hingga saat ini. Semoga nanti saat saya sebagai salah satu pemilik suara yang sudah diakui, bisa memilih pemimpin yang benar-benar arif menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai DKI 1 dan memenuhi harapan saya itu, sama seperti seluruh penduduk Jakarta lainnya.


Rumah sudah hampir di depan mata, finally we are home....


Sekali lagi Selamat Ulang Tahun Jakarta ke 485, Semoga dengan bertambah usiamu semakin banyak perkembangan ke arah yang lebih baik!


*****

Tidak ada komentar: