Pernah mendengar pepatah yang mengatakan Buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Dulu menurut saya itu adalah istilah yang mengibaratkan setiap anak akan selalu seperti orangtuanya, entah itu menuruni sifat atau karakter Ibu atau Ayahnya.
Sekali lagi sebagai orangtua, Ibu dari beberapa anak. Sekali lagi sebagai seorang manusia. Saya kembali belajar tentang sebuah hal menarik menjadi orangtua. Pepatah di atas ternyata belumlah lengkap. Menurut saya masih harus ada yang ditambahkan. Istilah itu sebenarnya tepat kalau penggunaannya tepat. Tapi menjadi tidak tepat, ketika menempatkan dengan menganggap anak adalah cetak biru orangtuanya, bahwa setiap anak pasti memiliki kemiripan yang diambilnya dari kedua orangtuanya.
Berangkat dari pengalaman sendiri. Berawal dari saat guru-guru putra saya yang berkata kalau Anak lelaki saya itu berbakat pemimpin. Empat dari enam guru yang pernah mengajar dan mendidiknya selalu mengatakan hal yang sama. Dan saya terus terang sama sekali tak percaya soal itu. Bagaimana tidak? Saya dan Ayahnya adalah dua orang yang tergolong pendiam dan lebih banyak berada di belakang layar dalam setiap pekerjaan yang kami berdua jalani. Kami sama-sama memiliki kelemahan, pasti nervous jika harus berada di depan umum, gugup berbicara menghadapi ratusan orang.
Sampai ketika melihat hasil pemeriksaan psikiater anak saya. Tiga hasil dengan cara yang sama diambil dalam waktu berbeda menunjukkan putra kami memiliki tingkat kepercayaan diri sedikit melewati batas. Kemampuannya berbicara yang dewasa dan menggabungkannya dengan kemampuannya mengorganisir juga tergolong hal yang luar biasa tercantum di situ. Saya masih tak percaya dengan hasil itu, bagaimana mungkin anak saya yang baru duduk di TK sudah bisa melakukan hal-hal itu? Saya pun mengabaikannya.
Bahkan ketika masuk di SD, semua guru-gurunya kembali mengungkapkan kemampuan anak kami itu. Saat itu terus terang saya repot mengurusi raportnya yang hampir “kebakaran” tiap tahun. Saya melupakan potensi lain anak saya, karena sibuk mencari cara agar dia tidak tinggal kelas.
Sampai sekali lagi saya diberi petunjuk. Berkat kepandaiannya bernegosiasi, anak saya minta diikutkan dalam tes sidik jari di sekolahnya. Meski saat itu saya sudah memiliki tiga hasil test EQ dan IQnya, saya turuti saja keinginannya saat itu. Toh saya juga penasaran tentang metode terbaru ini. Kalau memang benar, pasti hasilnya takkan jauh beda dengan tiga hasil test sebelumnya.
Dan benar saja. Disitu diungkapkan bahwa putra kami adalah seorang yang memiliki feeling. Kekuatan dan potensi yang dibawanya sejak lahir, bakat yang jelas-jelas berkali-kali diungkapkan guru-gurunya adalah menjadi pemimpin. Saya bahkan terdiam saat melihat empat buah hasil test itu berjejer di depan saya. Meskipun berbeda kata dan berbeda waktu test, semua hasil test itu mengungkapkan hal yang sama. Anak saya memiliki tingkat kepercayaan diri yang sangat baik, dia si pendiam yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain dan secara keseluruhan dia memiliki kecerdasan emosi yang baik.
Yang terjadi adalah saya menganalisa hasilnya bersama suami, heran dari mana ia mendapatkan bakatnya itu. Kami pun memutuskan cara terbaik adalah bertanya padanya. Bukankah perasaannya yang paling penting? Saat itu saya bertanya, “Reza, kamu kalau sedang berada di depan kelas suka merasa malu gak? Atau kalau disuruh memimpin di depan, gemetar gak?” Dan jawabannya membuat saya terdiam. “Nggak, Ma. Eza justru suka. Eza sangat menikmatinya, menikmati perhatian orang. Makin banyak yang perhatiin, Eza makin suka.”
Percaya atau tidak. Kata-katanya “Menikmati Perhatian” itu berputar-putar di kepala saya berhari-hari. Saya baru tahu kalau ada orang yang merasakan kenikmatan sendiri saat berada di depan umum. Saya masih ingat ketika si Kakak menolak tampil di televisi untuk sebuah lomba dakwah dua tahun lalu, Reza sempat mengatakan kakaknya adalah orang yang bodoh dan mereka sempat berdebat soal itu sampai saya melerainya. Saya tak menyangka ternyata menurut Reza, kalau saja dia memiliki kemampuan seperti Kakaknya maka dia bersedia mengikutinya. Ayahnya juga sama, ia tak menyangka karena dalam kehidupan sehari-hari Reza tergolong anak yang tak banyak bicara. Padahal ketika kami tanya. “Ah, Reza malas bicara kalau gak perlu,” itu jawabannya.
Ketika saya ceritakan itu pada Kakeknya. Kami pun berdiskusi. Dulu saya merasa tak nyaman ketika dipaksa untuk menampilkan diri di depan umum entah ikut lomba atau sekedar tampil memamerkan kemampuan. Maka ketika memiliki anak, saya tak mau membuat mereka merasakannya dengan tidak pernah mengikutsertakan mereka dalam berbagai event meski diajak atau ditawarkan, meski saya tahu anak pertama saya memiliki kemampuan itu. Ternyata saya baru tahu, kalau Kakek Reza juga dulu menikmati saat-saat berpidato, atau berceramah atau tampil di depan umum dan dia mengira dulu saya juga menikmatinya kalau mengikutkan saya dalam event-event semacam itu.
Kami pun tertawa dan menyadari kalau “buah” Reza itu jatuh di bawah pohon “Kakek”nya. Ketika kami bercanda, “Reza itu berbakat jadi pemimpin, jadi anggota DPR aja.” dan neneknya bilang “atau jadi Bupati saja.” Dan tahukah apa yang Reza katakan membalas candaan kami saat itu. “Yaah, kok salah-salah? Jadi Presiden aja sekalian. Gitu baru cita-cita.” Sekali lagi kami terdiam dalam ruangan itu karena saat mengucapkan wajahnya sungguh serius.
Dan seperti biasa, sebagai Ibunya saya hanya berpesan, “Reza boleh jadi Presiden, asal ingat nak ya… jujur dan ikhlas.” Lalu ada lagi tambahan dari Ayahnya. ”Dan jangan… lebay!” ehem….
Apapun itu, saya kini belajar memahami satu hal lagi. Reza bukanlah saya atau Ayahnya. Dia adalah sosok yang unik, memiliki karakter yang terbentuk dari pola asuh dan lingkungan yang saya pilih. Reza mungkin bukan buah yang jatuh dekat dengan pohon orangtuanya, tapi seseorang tak sengaja menendangnya hingga dia mungkin jatuh ke lereng atau ke tanah yang lain, tak ada yang tahu. Yang saya tahu, dimanapun nanti buah itu memutuskan untuk tumbuh menjadi pohon sendiri, saya ingin dia menjadi sosok yang baik, pelindung dan pengayom serta berguna bagi kehidupan.
Pengalaman ini saya bagi agar para Ayah dan Bunda memahami, anak menjadi mirip seperti kita bukanlah karena dia terlahir sebagai anak kita tapi karena cara kita mengasuhnya dan lingkungan yang membentuk pribadinya. Tak semua anak pencuri kelak menjadi pencuri atau anak ustad menjadi ustad. Kalau akhirnya mereka menjadi seperti Ayah atau Bundanya, itu karena proses pembentukannya yang disamakan dengan saat dulu Ayah Bundanya dibesarkan.
Explore-lah kemampuan dan potensi putra-putri kita, ada berbagai metode pengetesannya namun apapun hasilnya itu bukanlah keputusan terakhir. Jika ada kekurangan, maka lakukanlah perbaikan. Jika ada kelebihan, maka kembangkanlah dengan baik. Dan yang paling penting adalah memahami keinginannya, memberinya kebahagiaan dengan mendukung penuh cita-citanya serta memberi mereka cukup ilmu pengetahuan dan akhlak yang baik agar mereka bisa berkembang secara maksimal.
*****