23 Maret 2012

Memaafkan



I Miss you, Daddy!

Tulisan itu lagi yang tertulis di buku diari putriku. Ah, tak enak rasanya melihat kata-kata itu begitu sering muncul di diarinya belakangan ini.


Dia memang tak tahu kalau aku sering memeriksa diarynya. Mencari tahu isi hatinya yang sering tersembunyi di balik kebisuan dan ketertutupan yang sama persis seperti si Papa. Apalagi sejak perceraian memisahkan aku dan Papanya, Kirana menjadi semakin introvert.


Perceraian. Mungkin itulah kesalahan kami pada Kirana. Tak seharusnya kemarahan membuat kami mengorbankan putri kami satu-satunya. Kami menganggap Kirana tak cukup penting untuk ikut mengambil keputusan penuh emosional saat itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kami bercerai saat Kirana baru masuk SMP, setelah berbulan-bulan pisah rumah, bertengkar setiap kali bertemu dan setelah perceraian itu kami tak lagi saling tak tegur sapa apalagi bersua hampir dua tahun lamanya.


Lalu tiba-tiba, entah dari mana datang Papa Kirana yang tak pernah muncul sejak bercerai kembali itu datang mengetuk rumahku. Perasaan tak enak hati dan marah sempat hinggap, aku bahkan terang-terangan menyalahkan dan memaki-makinya sebagai lelaki tak bertanggung jawab karena tak pernah membiayai hidup Kirana. Dan mantan suamiku itu hanya terdiam dalam bisu, mengangguk sedih dan hanya mengiyakan semua kesalahannya yang kupaparkan di depan putri kami.


"Kenapa kau kembali, mas? Buat apa?" cecarku pada akhirnya setelah lelah marah-marah.


Mantan suamiku, mas Budi menatap Kirana. Tatapan rindu yang jelas-jelas tergambar di kedua bola matanya. "Saya rindu Kiran, de. Saya benar-benar rindu padanya."


Kata-kata itu terdengar begitu tulus, hingga membuat dadaku sesak. Kirana tak bisa menghentikan tangis dan dengan pandangan memohon, ia menatapku. Ia ingin sekali memeluk Papanya namun ia ingin meminta izinku.


Tapi aku menggeleng. Tidak adil! Ini tidak adil! Aku mengasuh Kirana sendirian selama dua tahun, bertanggung jawab sendirian mendidik dan membesarkannya dengan hasil keringatku. Berjumpalitan mengatur waktu antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, mengambil semua tugas seorang Papa sekaligus seorang ibu agar Kirana tak merasa sendirian. Namun sekarang, dengan enaknya lelaki itu datang lagi. Meminta maaf lalu mengira semuanya selesai begitu saja. Tidak bisa!


Sekali lagi kemarahanku bangkit. Aku berdiri, mengusir keluar bahkan aku mengunci pagar. Aku kalap menarik lelaki itu keluar dan memintanya pergi secepat mungkin. Tangis Kirana yang meledak tak mampu meredam emosiku. Aku benci lelaki itu, lelaki yang mengkhianati semua kepercayaanku dan memilih perempuan lain padahal aku telah memberikan segala yang kupunya padanya. Aku dan Kirana tak cukup berharga untuk berada di sampingnya hingga ia memilih meninggalkan kami untuk perempuan lain.


Kirana dan aku berpelukan setelah itu. Aku meminta maaf karena aku belum bisa memaafkan Papanya. Dia hanya menangis dan menangis. Aku mengira Kirana memahami maksudku, memahami perbuatanku dan bersedia menerima semua yang telah kulakukan pada Papanya.


Tapi Mas Budi datang lagi, datang lagi dan terus datang. Berkali-kali kuusir, kumaki bahkan kuteriaki tetap tak pernah menghentikan keinginannya. Dia memohon, menelepon bahkan menunggui Kirana saat sekolah namun ia tak pernah lelah. Dan dari pembantu kami, aku tahu kalau Kirana sering menemui Papanya diam-diam.


Aku benar-benar takut Kirana memilih ikut Papanya. Aku takut kehilangan lagi. Sudah sering aku bercurhat dengan teman-temanku, namun semuanya meminta aku memaafkan Mas Budi. Menurut mereka, walaupun bagaimana Mas Budi adalah Papanya dan sudah seharusnya menjadi bagian dari kehidupan Kirana. Bimbang memenuhi batinku saat ini, berperang antara keinginan memaafkan dan kemarahan masa lalu yang masih begitu jelas.


"Ma, sedang apa?" suara Kirana mengagetkanku. Matanya terbelalak melihat buku diari miliknya yang kupegang.


Dengan cepat Kirana merampas bukunya, ia marah. "Mama kok gitu sih? Ini kan barang milik Kiran!"


Aku mengangguk, memilih diam sebentar. Kutatap putriku yang masih merengut kesal. "Habis Kiran sudah gak pernah ngobrol sama Mama lagi seperti dulu. Mama jadi pengen tahu kenapa. Maaf ya, Ran," bisikku.


Kirana menatapku lama. "Kiran bukannya gak mau ngobrol sama Mama. Kiran tak mau Mama marah. Kiran gak mau hati Mama sakit lagi. Kiran kira mungkin lebih baik untuk sementara Kiran diam dulu."


"Mama memang masih sangat sakit. Apalagi sejak Papa Budi datang terus ke sini. Mama kesal karena dia bisa seenaknya datang setelah dua tahun nyakitin perasaan kita berdua seperti itu."


Putriku duduk di sampingku. "Ma, belum cukupkah kemarahan Mama pada Papa? Mama gak kasihan lihat Papa beberapa kali Mama teriakin di depan rumah, dimarahin di depan Kiran terus tambah lagi gak ngizinin Kiran ketemu Papa. Mama gak kasihan lihat Papa Budi sampe nangis memohon agar dimaafkan?"


Aku meneguk liur, merasakan kebenaran dalam kata-kata Kirana.


"Papa mungkin memang salah sama Mama, sama Kirana. Tapi Ma, kalau Allah saja bisa memaafkan hambaNya yang paling berdosa kenapa kita, manusia biasa tidak bisa? Dulu Kiran juga pernah marah sama Papa, Kiran bahkan marah sama Mama... " Aku terhenyak mendengar kata-kata Kirana, namun ia tetap meneruskannya. "Lalu Nenek bilang, Allah selalu punya cara sendiri menunjukkan jalan yang tepat. Mungkin belum kelihatan sekarang apa maksudnya tapi nanti. Nah Kiran merasa mungkin inilah jalan terbaik untuk Papa dan Mama, daripada bertengkar terus, daripada ribut terus maka lebih baik berpisah saja. Buktinya benar kan, Ma? Meskipun bercerai, Papa tetap mencari Kiran karena Papa adalah bagian dari hidup Kiran, seperti Mama."


Kirana memelukku. "Tak bisakah Mama memaafkan Papa? Tak perlu kembali mesra atau mencoba kembali menjadi seperti dulu, Kiran hanya pengen Mama memberi Papa kesempatan bertemu Kiran seminggu sekali saja. Kiran iri lihat teman-teman yang punya Papa dan Kiran juga ingin mengalaminya. Kiran... terus terang Kiran juga rindu sama Papa. Kita maafkan Papa, ya Ma?" ucap Kirana penuh harap.


Aku tak bisa bicara, dadaku kembali sesak. Sesak karena haru, sesak karena rasa bersalah dan sesak karena berterima kasih pada Allah. Allah telah membuka mataku melalui putriku. Selama ini aku hanya peduli hatiku sendiri, aku lupa kalau ada hati dan perasaan lain milik Kirana yang sekali lagi harus kupertimbangkan. Aku telah mengambil keputusan sendiri saat bercerai tanpa memikirkan Kirana. Namun sekarang sekali lagi aku kembali melupakan perasaannya dan hanya memikirkan kepentinganku sendiri. Aku yang egois bukan Kirana. Wajar jika ia ingin memaafkan Papanya, wajar ia ingin memiliki kami berdua tanpa batas. Aku yang salah padanya. Seharusnya aku juga meminta maaf pada Kirana. Meminta maaf dengan memaafkan papanya.


Tapi lidahku kelu. Yang bisa kulakukan hanya memeluk putriku, menangis. Namun, perlahan sebuah keputusan datang. Aku memaafkanmu, Mas Budi. Demi Kirana, demi buah hati kita.


*****

Tidak ada komentar: