19 Januari 2012

Sakit Hati Berbuah Neraka

Hapus airmatamu itu, sayang. Janganlah engkau menangis. Kumohon, tolong berhentilah!

Aku berteriak meminta padanya agar berhenti menangis, namun sia-sia. Suaraku tak terdengar lagi. Bukan karena aku bisu, bukan karena kau tuli. Karena kini, aku hanyalah ruh yang bisa mendengar dan melihatmu tapi kau tidak. Dunia kita berbeda.

Kemarin aku masih bisa memelukmu, kemarin aku masih bisa menciummu, kemarin aku masih bisa menggodamu. Dan kau tersenyum, Cantik sekali. Siapa yang tak kenal model cantik yang kunikahi dua tahun lalu? Perempuan yang digilai banyak lelaki dan aku pria beruntung yang berhasil memenangkan hatimu. Kecantikanmu, ditambah santun dan kesabaranmu saat menghadapiku kala aku berjuang di saat-saat terakhir menambah kemulianmu sebagai istri.

Siapa yang sangka ciuman kemesraan yang kuberikan kemarin adalah hal terakhir yang bisa kuberikan padamu? Aarrggh... sungguh aku ingin waktu bisa kembali dan aku bisa memperbaikinya. Akan kubuat kau menjadi istri paling bahagia. Hanya kau, ya cuma kamu... kekasihku.

Aku selalu berterimakasih karena Tuhan membiarkanku hidup lebih lama dari dugaan semua orang. Kau merawatku dengan baik, mengurusku penuh cinta meskipun kau tak pernah tahu darimana kudapatkan penyakit itu. Tapi dengan kasih sayangmu, kau tetap menjalani tugasmu sebagai istri. Aku benar-benar mencintaimu.

Ketika akhirnya malaikat maut menjemputku, tak henti mulutmu berdoa untukku, tak henti hatimu memohon ampunan untukku. Airmatamu memang masih mengalir, deras membasahi pipimu. Tapi tak pernah sedetikpun saat kau bangun kau berhenti mendoakan suamimu.

Ya Tuhan.... itulah kenapa aku bisa melihatmu walaupun dari kejauhan. Itulah kenapa aku begitu bahagia mendapatkan istri yang begitu tabah sepertimu, istri yang begitu menyayangi dan menghormatiku. Kesolehanmu meringankan langkahku menghadap Sang Pencipta. Karenamu, aku bahagia di sini. Di alam lain yang berbeda denganmu. Kau lapangkan kuburku dengan doa-doa yang kau lantunkan, dengan tangis penuh rasa syukur karena bisa memiliki diriku. Terima kasih istriku... terima kasih...

Kuburanku masih merah, tinggal kau sendiri di sana duduk sambil terus berdoa. Matahari sudah tinggi tapi kau terus di sana. Hatimu berat meninggalkanku. Seakan-akan hatimu sudah ikut terkubur bersama jenazahku. Betapa beruntungnya aku.

Tapi doamu terhenti. Kau mendongak melihat kedatangan seseorang. Dia datang tergesa-gesa, dengan perut besar dipapah seorang wanita setengah baya. Kau berdiri dan menatap perempuan muda itu dengan bingung.

"Kamu siapa?" tanyamu. Aku terperanjat. Dia... Dia... Bukankah dia....

"Kamu siapa?" perempuan muda itu balik bertanya. Ia menatap istriku dengan sinis dan dagu terangkat angkuh.

Kau terdiam sejenak, memperhatikan dari ujung kaki hingga kepala perempuan itu. Airmatamu tiba-tiba mengering. Kerudungmu melambai-lambai di tengah pemakaman itu.

"Saya... saya istri Jacky. Kamu?" suaramu menjawab penuh keraguan.

Aku ketakutan.

Ya Tuhan, jangan bertanya siapa dia, sayang. Pergilah, tinggalkan perempuan itu! Dia laknat duniaku! Dia pembunuhku! Pergilah! Jauhi dia!

Aku berusaha memberitahu istriku. Namun ia tetap diam, menunggu jawaban dari perempuan muda itu. Aku mulai harap-harap cemas. Semoga perempuan sial itu tak mengatakan. Kumohon, jangan ucapkan.

"Aku Vivian, aku istri Jacky. Dan ini..." Ia menunjuk perutnya. "Anaknya Jacky." Dan aku terpuruk jatuh. Dia mengatakannya, dengan jelas, pamer dan bangga.

Kau termangu, mulutnya menganga tak percaya. Lalu perlahan kau menggeleng-geleng. "Tidak mungkin! Kau pasti bercanda!"

Iya sayang, dia bercanda. Dia bukan istriku, dia hanyalah simpananku. Dia mengaku hamil dan aku terpaksa menikah dengannya. Jangan percaya padanya, sayang. Aku sudah berencana meninggalkannya seandainya saja maut tak menjemputku.

"Kau tak percaya, hai istri yang mandul?" Vivian merampas tas yang dipegang wanita setengah baya di sampingnya. Dengan kalap ia mengeluarkan beberapa foto, foto-foto saat aku dulu menikahinya di depan penghulu. Foto pernikahan yang teramat sederhana.

Airmata istriku mengalir. Bukan karena menangisi kepergianku lagi. Ia sakit... sakit hati karena dibohongi. Sakit hati karena dihina sebagai perempuan mandul. Aku tahu, dia pasti sakit hati padaku.

Maafkan aku, sayang. Aku bukannya tak sabar untuk menanti buah hati darimu. Bukannya aku tak mencintaimu. Tapi karena suatu malam aku berbuat kebodohan, aku menenggak minuman keras terlalu banyak hingga lupa daratan dan mabuk dalam pelukan perempuan bernama Vivian. Gadis pelacur yang kutemui di diskotik tempatku menghibur diri. Perempuan yang menyebabkan aku terkena penyakit, perempuan yang membunuhku dengan menularkan Aids dalam tubuhku.

Aku masih mencintaimu, istriku sayang. Karena cintalah, aku tak mau lagi menyentuh dirimu. Aku takut menyakitimu dengan menularkan virus itu. Aku memilih tetap bertahan sebagai suami Vivian, agar dia tidak mengadu padamu. Sungguh ini semua kulakukan karena aku mencintaimu.

Tapi kau tak mendengar semua itu. Matamu melotot penuh amarah. Dengan penuh kebencian, kau lemparkan semua foto itu kembali pada Vivian. Vivian yang tersenyum puas karena berhasil membuatmu terluka.

Dan aku... apa itu yang tiba-tiba datang? Bayangan hitam tanpa wajah dan tampak mengerikan itu mendekatiku. Mereka tak mau mendengar permintaanku agar membiarkanku tetap di sisi istriku. Mereka merantai tangan, kaki dan bahkan suaraku tak bisa kudengar lagi. Ada apa ini? Kenapa ini?

Kulihat di kejauhan saat tubuhku mulai melayang pergi bersama dua bayangan hitam itu, istriku meninggalkan pemakaman. Sayup-sayup aku mendengar ia berkata. "Semoga kau membusuk di neraka, Jacky!!! Aku membencimu!"

Dan aku tak bisa berteriak, tubuhku diseret menjauh. Rasa sakit mulai mendera... aah siksa ini.

Istriku, tolong aku!!!! Maafkan aku!! Aku tak mau ke neraka!! aku tak mau!!!

**************

Tidak ada komentar: