“Menikah lagi?” mata Rafika mulai berkaca-kaca. Dengan enggan, aku kembali menganggukkan kepala.
Rafika terdiam. Ia menatapku tak percaya seakan permintaanku tadi adalah sesuatu yang amat tidak mungkin.
“Maafkan aku, Rafika. Aku harus menikahi Diana,” pintaku sekali lagi. Lembut dan pelan.
Rafika menggigit bibirnya, airmata mulai jatuh setetes demi setetes menganaksungai di pipinya yang mulai berkerut. Aku menunduk, mungkin perasaan cintaku padanya mulai tawar tapi tetap saja aku tak tega melihat ia menangis.
“Kenapa mas? ” tanya Rafika pelan. Lalu ia mengulangi lagi pertanyaannya, “Kenapaaa?” teriaknya.
Aku ingin menjawab. Aku ingin berterus terang. Pada Rafika, pada istriku yang dulu pernah begitu kucintai bahwa cintaku padanya sudah pudar lama sekali sebelum aku meminta izin menikah lagi. Entah mulai kapan, aku bahkan tak tahu. Tapi tangisan dan teriakan Rafika yang histeris hanya membuatku terdiam.
Rafika, istri yang kunikahi puluhan tahun lalu. Dia dua angkatan lebih muda dariku, sama-sama suka panjat tebing dan kuliah di fakultas yang berbeda di universitas yang sama. Tapi ada yang membuatku mengaguminya. Dia gesit, lincah, riang dan satu hal yang paling kusuka, kemandiriannya. Fika, begitu panggilannya. Lahir dan dibesarkan sebagai anak tunggal pengusaha katering. Tapi tidak membuatnya menjadi anak yang manja dan selalu mengharap pada orangtuanya. Di usia mudanya, Fika sudah memiliki usaha sendiri, sebuah toko pakaian di mal di Jakarta.
Aku menikahi Fika beberapa bulan sebelum kami diwisuda. Setelah menikah, kami tinggal berdua di rumah yang kami beli dari hasil patungan. Dan sesuai komitmen kami sejak awal, Fika tetap dengan usahanya dan aku mulai bekerja sebagai staf keuangan di sebuah pabrik sepatu.
Dalam beberapa tahun, jenjang karirku meningkat seiring dengan hadirnya anak-anak kami. Titania, Sandra, Andrew dan terakhir Donny. Kehadiran keempat putra-putriku tak mematikan semangat kerja Rafika, malah ia berhasil membuka beberapa counter dan toko cabang di beberapa mal yang dibuka di tempat-tempat strategis di Jakarta.
Pernikahan kami awalnya sangat membahagiakan. Semua berjalan lancar, kami jarang sekali bertengkar karena Rafika selalu memegang janjinya sebagai istri dengan baik. Dia selalu berada di rumah ketika aku sudah di rumah, sebisa mungkin memasak untukku tanpa bantuan pembantu dan setiap kali pula ia selalu meluangkan waktu untuk putra-putri kami. Tak heran anak-anakku selalu bisa menjadi kebahagiaanku, sekaligus kebanggaanku.
Aku tak pernah sadar kapan cintaku pada Rafika memudar. Apakah ketika kerut merut mulai mewarnai wajah kami? Apakah ketika satu persatu putra-putriku memilih berkuliah, bekerja dan berumah tangga jauh dari kami? Atau saat aku berhenti kerja dan membuka perusahaanku sendiri? Apakah saat kesuksesan terus membayangi langkah-langkahku? Entahlah, aku sudah lupa kapan tepatnya cintaku pada Rafika sedikit demi sedikit terhapus dari hatiku.
Aku bertemu Diana, sekretarisku yang cantik, yang mampu melumpuhkan jantungku setiap kali melihatnya. Ia menutup seluruh hatiku dengan cintanya yang segar dan baru. Aku jatuh cinta lagi. Jatuh cinta hingga kebablasan. Aku terjebak dalam sumur cinta yang kugali sendiri. Aku lupa diri dan akhirnya aku terpaksa meminta izin untuk menikah lagi.
Kutawarkan pada Rafika, aku akan tetap menjadi suaminya, aku akan menjaganya seperti dulu meskipun kini aku harus membaginya. Aku akan berusaha adil dan satu-satunya yang kuinginkan hanya izin Rafika agar aku bisa menikahi Diana.
Tapi… malam ini, Rafika seperti tak mau mengerti posisiku. Aku ingin Rafika mau memahamiku seperti biasanya. Bukannya berteriak, marah dan melempariku dengan berbagai benda seperti ini. Tapi jika itu artinya ya, maka aku bersedia menerimanya. Aku tak mungkin pergi sebelum mendapat kepastian, karena Diana memintanya malam ini juga atau dia akan menggugurkan buah cinta kami yang telah berada di dalam perutnya sejak dua bulan lalu.
“Kalau disuruh pilih, siapa yang mas pilih. Aku atau dia?” tantang Rafika, menatapku penuh emosi.
Aku menatap Rafika ragu dan bergumam pelan. “Maafkan aku, Fika. Aku harus memilih Diana.”
“Baiklah, terserah kamu mas. Nikahilah perempuan itu sesukamu. Tapi ada yang akan kukatakan padamu.”
“Apa itu?” tanyaku bingung.
“Kau takkan pernah bahagia dengannya,” kata Rafika sambil sesegukan. “Kau akan menyesal, kau akan menyesal.”
“Aku menyesal, Fika. Sekarangpun aku sangat menyesal.”
Rafika tertawa pahit. “Penyesalanmu akan berlangsung selamanya, seumur hidupmu. Sampai kau mati.”
Aku menghembuskan napas. Aku ingin memeluknya sebagai tanda permintaan maaf dan penyesalan pada Rafika. Tapi dia melengos, bahunya masih berguncang bertanda ia masih menangis. Tapi aku harus pergi, Diana sedang menantiku. Kehamilan membuat Diana lebih sensitif, aku takut kehilangan jabang bayiku yang sedang tumbuh. Aku tahu nanti Rafika pasti mau memahamiku, seperti biasanya.
Anak-anak marah padaku. Tapi kemarahan mereka tak bertahan lama. Mereka mau memahamiku, memahami kalau Papi mereka memang membutuhkan Diana. Diana pelan-pelan bisa mencuri hati anak-anakku dan anehnya… Rafika membiarkannya. Anak-anak juga tak mempedulikan Rafika yang seperti membangun tembok mengelilingi dirinya, ia seperti tak ingin hidupnya diketahui oleh aku dan anak-anak kami.
Rafika berubah. Dia masih sesibuk dulu, tapi dia lebih sering menghabiskan hidupnya di Villa keluarga di Bogor, tempat kami bersama anak-anak dulu biasa berlibur. Aku sering menengoknya, tapi ia selalu menghindariku. Ia hampir tak pernah berlaku seperti Rafika, istriku dulu. Kebiasaan lamanya merokok dan minum minuman beralkohol sudah kembali, seperti dulu saat kami masih pacaran. Berkali-kali aku menegurnya, tapi ia hanya tertawa dan memintaku pergi.
Dua tahun berlalu, ketika aku sedang memangku Randy, anakku dan Diana, mengobrol di depan rumah baruku, sebuah telepon masuk. Putriku Sandra menelepon sambil mengisak. Suaranya parau memberitahu. “Papi, Mami sakit. Datanglah segera!” Segera aku menghambur ke rumah sakit ke tempat Diana dirawat, ditemani Diana.
Putra-putriku berdiri di depan ruang ICU. Mata mereka semua sembab. Bahkan aku melihat Donny, putraku masih mengenakan pakaian sekolah dan ada darah di dadanya. Darah? Ada apa ini? Ada apa dengan Rafika? Dengan tergesa-gesa, kudekati anak-anak.
Dua anak perempuanku langsung menghambur dalam pelukanku. “Papi, Mami kena kanker!!” jerit mereka hampir bersamaan. Aku terhenyak.
“Kanker?” ulangku tak percaya. Ingatanku kembali pada almarhum mertua yang dulu pernah terkena kanker usus. Tapi beliau sembuh dan bahkan berumur panjang, beliau meninggal justru karena serangan jantung beberapa bulan lalu. Anak-anak mengangguk. Airmata berjatuhan dari mata mereka.
“Kanker apa? Kanker kan masih bisa disembuhkan,” ucapku berusaha optimis.
Tangis anak-anak semakin menjadi. “Tenang! Tenang! Papi juga panik jadinya. Jelasin dulu sama Papi!”
Dan Andrewpun bercerita. Dua tahun lalu, dokter telah memberitahu pertumbuhan awal Kanker Payudara pada Rafika. Dua tahun lalu tepat seminggu sebelum hari pernikahanku dengan Diana. Tapi Rafika menolak pengobatan dan memilih melanjutkan hidupnya seperti biasa. Anak-anak tak ada yang tahu, bahkan diriku juga. Kanker itu bertambah parah hari demi hari. Sampai hari ini, Donny yang menyusulnya ke Villa karena telah berhari-hari Rafika tidak pernah pulang ke Jakarta menemukan Maminya muntah-muntah darah. Setelah dibawa ke rumah sakit di Bogor, Rafika segera dirujuk ke rumah sakit kanker di Jakarta. Setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata kanker itu telah menyebar hampir ke seluruh jaringan tubuh Rafika.
Lututku terasa lemas, mataku langsung berkunang-kunang. Ya Tuhan! Rafika, istriku! Aku tak sanggup berdiri lagi, tubuhku terasa bagai seringan kapas apalagi saat aku mengingat pola hidup Rafika yang buruk selama dua tahun terakhir ini. Dia sedang bunuh diri, dia menyakiti dirinya sendiri dengan membiarkan kanker menyerang seluruh tubuhnya. Dia merokok, minum alkohol dan memakan segala macam makanan agar kematian menjemputnya melalui penyakit ini.
Sepanjang malam aku menangis di depan kamar ICU Rafika. Diana menemaniku, memelukku tapi aku mengusirnya. Ini salahku, ini salah Diana. Tak ada yang paling bersalah selain aku dan Diana. Kematian itu seharusnya merenggutku bukan Rafika.
Anak-anak memohon padaku. Meminta bantuan agar aku membujuk Rafika. Tapi tubuh kurus penuh dengan berbagai jarum di seluruh tubuhnya itu tak bergeming. Rafika terus menggeleng dan hanya matanya yang masih setajam dulu menatapku. “Kau… akan… menyesal… ” hanya itu yang terucap di bibirnya berkali-kali kalau dia sedang sadarkan diri.
Aku menangis meminta maaf, mencium tangan dan kakinya yang menghitam. Rambutnya yang kini beruban, merontok helai demi helai saat aku mengusapnya lembut. Tangan yang tak pernah kusentuh selama dua tahun, sekarang bagai tulang kering yang perlahan-lahan mengerut.
Sungguh, Rafika. Aku mohon ampunanmu. Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku memang kejam, jahat dan tidak setia. Aku melupakan kebaikan hatimu, keteguhan hatimu mendampingiku, aku lupa kau istriku yang mengurus segalanya untukku sehingga aku bisa bekerja dengan baik. Aku memperoleh semuanya karenamu. Aku lupa kalau semua lelaki pasti akan sangat bersyukur memiliki istri yang begitu memahami suaminya sepertimu. Aku egois, mencari cinta lain dan akhirnya menjadi pembunuh cinta istriku yang setia.
Hanya tiga hari Rafika di sana, terbaring dan sadar sesekali mengucapkan kemarahannya. Aku berusaha keras membujuknya, bahkan tak pernah aku beranjak dari sisinya tapi kata maaf tak pernah terdengar dari bibir Rafika. Aku berusaha keras membujuk Rafika menjalani pengobatan di Singapura. Tapi hanya tawa kecil yang susah payah ia keluarkan seakan menertawakan kebodohanku. Aku menangis dan Rafika hanya menatap kosong, hidupnya sudah lama hancur jauh sebelum maut itu merenggutnya. Aku yang menghancurkannya dan aku tak pernah tahu kalau itu begitu menyakitkan untuknya. Rafika meninggalkan aku dengan rasa bersalah, dengan membawa kemarahan dan kebencian pada diriku. Membiarkan aku bagai melompat di jurang terdalam dunia ini.
Donny memberiku selembar kertas yang ia temukan dalam genggaman Rafika. Selembar kertas yang ditulis dengan tangan gemetar.
Kau cinta aku satu kali. Kau janji pada aku satu kali. Tapi kau akan menyesal, lebih dari sekali.
Dan aku memang tak pernah berhenti menyesal hingga detik ini. Aku memiliki segalanya, harta, wanita, kekuasaan, dan anak-anak, tapi aku tak pernah bisa menikmatinya. Tanpa Rafika-ku, aku mati.
(terinspirasi oleh kisah nyata yang diceritakan oleh seorang Ibu penderita kanker usus dari Padang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar