[caption id="" align="aligncenter" width="359" caption="google"][/caption]
Suara istriku Dina memarahi Aji, anak kami yang baru berumur tujuh tahun terdengar hingga ke kamar. Entah apalagi masalahnya sampai Dina harus memarahi Aji seperti itu. Kalau tidak kulerai, bisa-bisa Dina tambah marah. Akupun bangkit dari kursiku, keluar untuk melihat apa yang terjadi.
"Ada apa sih, Ma?" tanyaku. Dina dan Aji yang sedang berdiri berhadap-hadapan sama-sama menoleh padaku.
"Ini loh, Pa. Si Aji ngambil uang mama gak ngomong dulu." adu Dina dengan nada tinggi.
"Engga, Pa. Aji tadi cuma lupa. Mama nih langsung main marah aja." Ganti putraku yang membela diri.
Dina masih ingin membuka mulut, tapi ketika melihat tanganku teracung ia lantas terdiam. "Sudah, sudah. Biar nanti Papa yang kasih tahu. Aji sini ikut Papa yok!" Tepat ketika itu ada telepon berbunyi. Mulai kemarin memang selalu ada telepon dari keluarga istriku yang sedang mengalami musibah. Mungkin karena masalah itu juga hingga membuat emosi Dina gampang sekali meledak.
Aji tampak enggan, "Aah, Papa. Aji mau main bola nih!" katanya.
"Eh, kamu sudah lihat foto jembatan runtuh gak? Seperti filem lo bang. Tuh Papa sudah ngumpulin foto-fotonya. Mau lihat?" Putraku langsung mengangguk dan mengikutiku ke kamar.
Kami duduk berdampingan di depan laptop. Membuka website koran online daerah yang menayangkan tentang berita-berita jembatan yang runtuh.
"Loh ini kan jembatan yang kita lewati waktu ke tempatnya kai, ya Pa?" aku mengangguk.
"Kok bisa? Padahal kan jembatannya keliatan kuat. Dari besi semua lagi." Berulang kali putraku bertanya tak mengerti padaku. Dan aku hanya membiarkannya memandangi foto-foto itu satu persatu.
"Ini akibat ngambil uang gak ngomong nih, nak." kataku setelah Aji terlihat asyik melihat perbedaan jembatan sebelum dan sesudah runtuh.
Aji menatapku bingung, "Hah? Kok gitu? Apa hubungannya Pa?"
Aku tersenyum, "Ini jembatan dibangun pakai uang yang banyaaaak sekali. Uangnya itu dikumpulkan oleh Pemerintah dari rakyat. Sayangnya ada orang yang memakai uang itu untuk dirinya sendiri, seperti Aji ngambil uang Mama tanpa ijin untuk jajan tadi."
Putraku terdiam, "Pa, berarti itu nyuri dong. Tapi kan Aji anaknya Mama. Masa anak gak boleh ambil uang Mamanya?"
"Eh, bang. Dengerin, walaupun Mama itu Mama Aji, tapi semua uang Mama kan harus dipertanggungjawabkan ke Papa. Nah nanti Papa bertanggung jawab ke Allah. Kalau ngambil ga ngomong sama aja nyuri, sama aja korupsi."
"Beda dong sama orang yang bikin jembatan." sergah Aji.
"Weei siapa bilang?? Orang itu ngambil dari uang milik pemerintah, nah pemerintah ini tanggung jawabnya ya ke rakyat. Orang-orang seperti kita."
Aji terdiam dan menatap foto-foto itu lagi. Aku menunjuk ke layar monitor, "Aji lihat ini, entah berapa korbannya yang sudah meninggal. Karena orang yang mengambil dana pembangunan tanpa ijin maka biayanya pun jadi terpotong banyak dan mungkin dana itulah yang seharusnya untuk membeli perlengkapan yang membuat jembatan lebih aman. Aji mau kalau kebiasaan Aji ngambil uang mama nanti berlanjut sampai dewasa? Nanti misalnya nih Aji jadi orang yang membangun jembatan ini lalu karena Aji sudah biasa ngambil uang tanpa ijin, eeh Aji ambil deh uangnya sedikit dan akhirnya membuat orang-orang meninggal dan luka-luka. Aji mau membuat orang lain susah?"
Aji menggeleng cepat. "Tidak Pa, Nggak mau. Aji janji Aji belajar meminta ijin dari sekarang. Aji gak mau jadi orang jahat!"
Aku mengangguk setuju, kurangkul bahu putraku. "Ya, belajarlah jadi orang jujur nak. Dari kecil harus dibiasakan. Jangan belajar korupsi walaupun pada Mamamu sendiri. Kasihan Mama kan sekarang lagi stress mikirin ommu. Sekarang minta maaf sama Mama sana."
"Ya Allah! Cil, yang benar?" suara Dina membuat aku dan Aji segera berlari keluar. Kulihat istriku menangis di telepon, "Acil, jangan sedih. Nanti kita tunggu dulu kabar dari Polisi. Acil yang sabar ya." katanya sebelum menutup telepon.Dina menoleh padaku, matanya berurai airmata, "Kak Gusman hilang, Bang. Acil tadi sudah memastikan mobil Kak Gusman berada tepat di tengah jembatan saat kejadian." katanya sebelum menangis pilu. Aku menghampiri dan memeluknya. Kulirik putraku Aji, ia mengeluarkan selembar uang lima ribuan dari kantongnya dan mengembalikannya ke dompet Dina.
Catatan :
Kai = Kakek
Acil = Tante
Tidak ada komentar:
Posting Komentar