30 Oktober 2011

Pembantu juga manusia...



Ini terjadi kurang lebih bulan Januari 2011, catatan ini kayaknya bagus kalo kushare di sini :
Saat Liburan kemarin, saat kami berada di Gelanggang Samudera yang penuh manusia. Kami sedang berjalan-jalan bersama anak-anak dan tertawa bercanda sambil antre menunggu giliran nonton di Teater 4D. Saat itulah ada pemandangan yang sedikit mengganggu keceriaan kami.


Ada seorang ibu hamil dengan kerasnya memarahi pembantunya. Aku melihat si pembantu tampak repot membawa berbagai keperluan si ibu ditambah lagi mendorong kereta bayi berisi anak seusia Fira. Entah apa kesalahannya, yang jelas suara ibu hamil itu terlalu keras karena jarak kami lumayan jauh.


Aku sebenarnya tidak tega melihat ibu itu memarahi pembantunya di depan umum seperti itu. Apalagi di tempat rekreasi seperti Ancol. Terus terang, meskipun tak tahu masalahnya apa kita yang ikut menyaksikan pun jadi merasa terganggu dan merasa tidak enak. Kelihatan sekali kalau si pembantu merasa malu, tetapi ibu itu terus saja marah-marah. Sehingga akhirnya aku tak tahan, kudekati ibu itu. Kuminta ia berhenti mengomel dan sebaiknya diselesaikan di rumah saja. Ibu itu memang berhenti mengomel, lalu ia menyuruh pembantunya duduk di situ menunggu sementara ia masuk ke Teater 4D bersama suaminya dan meninggalkan anaknya bersama si pembantu.

Aku ingin tertawa sekaligus bingung. Apakah ibu tak takut anaknya dibawa lari pembantunya? Apa dia tak takut setelah memarahi pembantunya, lalu sang pembantu kesal dan menculik anaknya? Tak tahukah dia, baru saja ia memarahi orang yang paling berjasa membuat ia bisa merasa nyaman dan senang?

Suamiku cuma tersenyum-senyum saja ketika aku cerita. Mungkin juga ia tahu karena aku tak pernah mau lagi mempunyai pembantu. Aku sendiri kapok mempunyai pembantu karena dari pengalamanku sendiri dan beberapa teman kami memiliki satu kesamaan kesimpulan yaitu jika ingin belajar berbohong, belajarlah pada pembantu... Namun ketidakinginanku memiliki pembantu, karena aku tak ingin anak-anakku jadi anak yang tergantung pada pembantu. Lagipula, untuk apa punya pembantu? kalau aku punya suami dan anak-anak yang sangat sangat mandiri dan rela membantuku.

Tetapi di sisi lain, pembantu adalah manusia. Sejak kecil bukankah kita selalu diajari untuk menghargai orang lain? Tetapi kenapa pada pembantu tidak? Memang tak salah jika kita mengingatkan kalau ada kesalahan, tapi mbok ya lihat-lihat tempatnya. Pantes gak marahin orang begitu. Apalagi waktu kutanya, pembantu itu bercerita bahwa ia dimarahi karena lupa membawa botol minum si anak. Sesuatu yang seharusnya sang ibulah yang mengingatnya. Namanya lagi pembantu, jadi yah tugasnya cuma membantu bukan sebagai pengambil alih tugas wajibnya para ibu.

Buat para ibu, tolonglah hargai pembantu kalian. Kalau merasa tak siap dengan konsekuensinya, ya sudah kerjakanlah segalanya sendiri. Perlakukanlah mereka seperti layaknya keluarga, agar mereka pun memperlakukan anak-anak kalian sebagai keluarga dan melayani kalian dengan keikhlasan bukan karena gaji semata.

Dan satu lagi, jangan marah-marah depan umum di tempat rekreasi donk. Ga enak ngelihatnya, kita yang sedang senang-senang pun jadi ikutan illfeel. Dosa jariyah tuh namanya.

Tidak ada komentar: