Beberapa tahun silam, semenjak resmi menulis di Blogdetik, saya mengalami perubahan dalam hidup. Beberapa kali saya ceritakan di blog ini bahkan blog lainnya. Kebanyakan bersyukur, kebanyakan berterima kasih. Tapi ada beberapa pengalaman buruk yang saya ceritakan secara tersirat, tidak terlalu menjelaskan apa yang terjadi tapi berharap orang lain akan memahami mengapa kemudian saya berubah drastis dari blogger harian yang aktif, menjadi bulanan bahkan kemudian triwulanan. Tulisan hanya satu dua kali muncul dalam sebulan.
Yah, di tengah kesuksesan menulis saat itu, selain hal-hal positif yang saya dapatkan, ada hal-hal negatif juga terjadi. Beberapa hal menyakitkan itu membuat saya sempat down, sangat sedih karena niat baik itu dirusak oleh orang-orang berkedok keramahan.
Jika Blogger lain umumnya senang berkopdar alias bertemu langsung, saya malah memilih untuk tidak melakukannya. Ingin sekali hadir, tapi karena trauma dengan pengalaman buruk, akhirnya mengurungkan niat itu. Saya memilih stagnan, menghabiskan waktu untuk menulis hanya sebagai hobi semata, dan mengambil mata pencaharian dengan bekerja secara profesional di rumah maupun di kantor.
Seperti yang berkali-kali saya cerita, copy paste ke blog lain hanyalah seujung kuku dari hal negatif yang terjadi ketika tulisan sudah publish secara umum. Menghadapi komentar sarkas juga bukanlah masalah yang terlalu perlu dibesarkan. Sudah biasa. Setengah tahun setelah mulai ngeblog, saya sudah mulai terbiasa.
Yang menyedihkan justru terjadi di balik layar monitor komputer. Mereka yang saya temui karena mereka membaca karya dan tulisan saya, tak semua berniat baik. Memang wajahnya semua ramah-ramah, tapi tak semua jujur dan sesuai dengan kata-kata mereka. Kepolosan saya dalam dunia tulis menulis dan publikasi, ditambah anggapan bahwa semua yang telah mereka ciptakan sebelumnya telah mewakili 'kejujuran' itu telah membuat beberapa karya dan tulisan dengan ratusan halaman naskah berpindah tangan tanpa perjanjian hitam di atas putih. Dengan senang hati, saya memberikan tulisan berharga pada orang-orang itu.
Tulisan saya saat itu sangat beragam, rata-rata penuh pesan inspirasi yang sarat dengan pengalaman pribadi dan orang-orang di sekitar saya. Kisah-kisah cinta menarik yang saya kumpulkan dari teman dan keluarga, diramu dalam novel-novel ratusan halaman. Karya Ilmiah dengan gaya pop yang waktu itu sempat menjadi kesenangan saya yang baru mulai kuliah saat itu juga ada, temanya tentang dunia penulisan.
Lalu, semua tiba-tiba menghilang. Membawa karya-karya saya yang kemudian tidak jelas keberadaannya. Membuat saya menganggap mungkin tulisan itu tak sesuai dengan keinginan mereka.
Namun, yang menyakitkan ketika beberapa bulan dan bahkan tahun, tiba-tiba saya menemukan satu dua novel dengan tulisan yang begitu mirip. Kemiripan hingga nyaris seperti copy paste itu terdapat dalam novel-novel di rak toko buku ternama. Sayangnya, nama yang ada di situ bukanlah nama saya.
Belum lagi hilang sakit itu, suatu hari seorang teman yang selalu saya tunjukkan karya-karya sebelum publish untuk dimintai pendapat menghubungi dan memberitahu, ia menonton drama yang plotnya sangat mirip dengan salah satu skrip yang saya tulis dan juga pernah ia baca. Yang lebih mengagetkan dari informasinya, ia bahkan merekam obrolan yang ia tahu ada di skrip saya dengan ponsel. Saya tersentak... kaget. Ya Allah, kenapa mereka begitu berani mengambil milik saya, 'bayi-bayi' saya tanpa izin saya? Di situlah mulai urat kepercayaan saya pada dunia yang berkaitan dengan tulisan di Indonesia menjadi putus total.
Kalau ditanya usaha untuk mengklaim hak, saya pernah mencobanya. Tapi kemudian saya menyerah setelah bertemu seseorang lain yang juga mengalami hal yang sama. Dia malah lebih parah. Meski sempat tak percaya pada orang itu, tapi setelah melihat kualitas tulisannya yang lain, akhirnya saya mengerti. Saya hanyalah salah satu dari orang-orang 'bodoh' yang takkan pernah bisa apa-apa jika menghadapi plagiarism.
Untungnya, setiap pintu tertutup pasti akan membuat kita melihat jendela. Saya menemukan jendela yang kemudian menjelma menjadi pintu rezeki yang lain. Kesempatan yang akhirnya membuat saya mulai relaks menghadapi para perampas hak itu. Biarlah... anggap saja itu karya-karya untuk membayar mata kuliah membaca karakter di universitas kehidupan. Toh, pada akhirnya, saya tetap tak bisa berhenti menulis. Meski kini tak semua karya itu saya lepas bebas langsung publish seperti dulu. Lebih banyak disimpan. Bahkan dititipkan pada anak-anak, yang salah satunya sudah menurunkan bakat dari saya. Cerita-cerita dengan emosi pribadi yang terlibat di dalamnya, saya simpan untuk anak-anak. Ah ya, saya mendadak pelit jadinya.
Bertahun-tahun, saya tak pernah ingin tahu kabar orang-orang itu. Meski di beberapa media sosial bisa dengan mudah menemukan orang-orang terkenal, saya tak tertarik untuk kembali berinteraksi dengan mereka. Toh, meski berlapis dengan topeng keramahan, kebaikan, kelurusan serta tulisan-tulisan penuh pesan penting, mereka sudah pernah mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Bagi saya, mereka tak lebih dari pencuri. Urusan antara kami sudah selesai. Karena saksi saya hanya orang-orang terdekat dan Allah SWT, maka biarlah Allah SWT yang mewujudkan hukuman terbaik untuk para perampas hak itu.
Sampai minggu kemarin...
Iya, sampai minggu kemarin... dan saya hanya bisa bilang. Hati-hatilah berjanji, hati-hatilah saat ada hutang yang belum terselesaikan, hati-hatilah saat kau pernah merampas hak seseorang, sebaik apapun kau menyembunyikan, Allah SWT akan membuatmu membayarnya di dunia dan akhirat. Doa diam-diam dari hati mereka yang kau rampas haknya, kini terdengar oleh langit. Perlahan hukuman itu menanti, meski kini tak ada lagi dendam itu, hanya rasa iba dan kasihan. Tapi maaf, iba dan kasihan, takkan bisa menghentikan hukuman.
Dari kejauhan, saya berharap semoga orang itu, siapapun dia, diberi hidayah agar menjadi pribadi yang lebih baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar