Gadis Pembawa Misi
Buku kecil itu lagi. Joan sampai tak sadar kalau Luthfi sudah ada di sebelahnya. Mata Luthfi berpendar, iseng. Ia mengendap-endap mendekat, untuk bisa mengetahui yang sedang ditulis Joan.
“Hayooo! Apa itu?”
Joan terlonjak. “Aarrggh, Chang! Bikin aku kaget saja.” Tangan Joan sibuk menyembunyikan buku itu, dan memasukkannya ke saku baju dengan gerak cepat. Luthfi jadi penasaran.
“Apa sih itu?” tanya Luthfi penuh selidik sambil melirik ke saku baju Joan.
Joan mengangkat bahu. Dengan santai ia berpindah ke tempat tidurnya. Berbaring. “Misi dari Tuhan. Rahasia.”
Mendengar kata-kata itu, kening Luthfi berkerut. Dadanya sedikit terasa sesak. Tema seperti ini selalu mengingatkan pada hal yang paling tidak disukainya. Harapan hidup Joan.
“Selama aku keluar masuk rumah sakit. Aku belajar sesuatu,” kata Joan ketika Luthfi masih memandanginya.
Luthfi berusaha tenang, ia duduk di kursi samping tempat tidur Joan dan bertanya lembut, “Apa yang kau pelajari, Joan manis?”
“Umur,” jawabnya singkat. “Kita tak pernah bisa menebak sampai umur berapa kita hidup. Bahkan aku yang kata dokter hanya akan hidup singkat waktu kecil, ternyata bisa berumur lebih lama dari dokter dan perawat yang merawatku. Setidaknya ada beberapa dokter dan perawat yang telah meninggal dunia sebelum aku. Ada juga keluarga dari teman-temanku sesama pasien. Dan tak satupun dari mereka yang tahu kalau umur mereka ternyata lebih singkat dari aku atau para pasien di rumah sakit ini. Hebat kan pelajaranku?” lanjut gadis itu sambil memandang ke langit-langit kamar, mata beningnya tampak menerawang jauh.
Luthfi terdiam. Benar dugaannya. Lagi-lagi Joan mengingatkannya alasan gadis itu harus selalu tinggal di rumah sakit ini. Tangan Luthfi meraba kantong celananya, mengambil ponsel dan berpura-pura sibuk. Ia sungguh tak mau memperpanjang obrolan seperti ini.
“Tapi, aku juga belajar. Bahwa setiap orang pasti punya misi di dunia sebelum mereka mati. Bahkan termasuk aku. Setiap kali aku bangun dari koma, aku selalu mendapat satu misi baru. Misi dari Tuhan. Dan aku menulisnya dalam bukuku itu. Hanya saja karena itu dari Tuhan, misinya rahasia.” Gadis itu tersenyum penuh arti, lalu menoleh pada Luthfi.
Kali ini perhatian Luthfi kembali tertuju pada gadis bermata jernih itu.
“Misi dari Tuhan?” tanya Luthfi.
“Ya, seperti misi yang didapatkan setiap orang.”
“Aku tak punya misi.”
“Benarkah? Kalau begitu, kau harus membuat misimu, Chang!”
“Hmm... membuat kue?” Luthfi mencoba melucu. Tema seserius ini benar-benar membuat dadanya makin lama makin sesak.
“Hahahaha.... itu bukan misi, itu pekerjaan. Bagaimana kalau kubuatkan misi untukmu?” Joan menegakkan punggungnya, duduk setengah berbaring, namun tubuhnya condong pada Luthfi.
“Boleh, apa misiku?” tanya Luthfi ingin tahu, tersenyum.
Bibir Joan membentuk garis lurus,“Hmm... bagaimana kalau membuat kue yang akan memberikan kebahagiaan buat semua orang termasuk orang-orang sepertiku?”
“Misi yang bagus. Aku mau. Akan kubuat itu jadi misi pertamaku. Selanjutnya?” Luthfi menatap Joan lurus. Tidak buruk. Malah misi yang bagus. Hanya saja Luthfi sudah melakukannya belakangan ini. Ia tak hanya membuatkan kue khusus untuk Joan, tapi juga menawarkannya sebagai salah satu menu khusus untuk para penderita diabetes di toko kuenya.
“Hmm... apa lagi ya?” Sorot iseng terlintas di mata Joan. “Bagaimana kalau misi mencintai Joan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Hihihi...” ujar gadis itu sambil membentangkan tangannya lebar-lebar ke depan, ke samping lalu ke atas.
Luthfi menatap Joan. Menghembuskan napas kuat-kuat. “Misi mencintai Joan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya dan setinggi-tingginya akan dilaksanakan, Miss Misi,” ucapnya yakin seraya memberi salam seperti seorang tentara.
“Benarkah?” Mata Joan membulat dan ia tertawa terbahak-bahak.
Tawa itulah yang sedari tadi ingin Luthfi lihat. Joan yang ceria. Joan yang penuh tawa. Joan yang tampak normal dan sehat.
Bersambung ...
Cerita selanjutnya: Misi Manis untuk Chang (5) - Karena Dia Untukku (Publish date tanggal 07 Agustus 2017)
1 komentar:
[…] Cerita Sebelumnya… […]
Posting Komentar