Abang, mungkin anak yang paling jarang saya ceritakan di blog. Bukan karena dia bandel atau bermasalah, justru karena Abang-lah anak yang paling baik di rumah. Semua anggota keluarga tahu benar, betapa penurutnya si Abang ini pada saya, bahkan ketika saya tak melihatnya.
Dulu, waktu ia masih SD, sekitar kelas 3-4 saat ikut kunjungan wisata dengan teman-teman sekelasnya, saya tak mendampingi. Abang, yang saat itu sudah saya wanti-wanti untuk tidak berenang karena kondisi tubuhnya yang kurang sehat, dengan patuh mengikuti perintah itu. Padahal, saat itu saking inginnya, dia menangis sendiri. Ibu-ibu lain yang ikut sudah menjamin kalau saya takkan marah dan mereka berjanji akan ikut membujuk saya. Tapi, Abang tetap tak bergeming. Ia tetap tak berenang hingga pulang.
Saya jelas merasa bersalah padanya karena itu, setelah mendengar cerita ibu-ibu lain. Esoknya saya ajak dia berenang ke hotel dekat rumah. Abang senang sekali. Di situ dia berjanji akan selalu menuruti apapun yang saya minta. Dia tahu, larangan saya selalu ada maksudnya. Dan janjinya itu dipenuhi Abang hingga saat ini.
Di rumah, dia anak yang tak pernah berkata tidak atas permintaan apapun dari saya. Bahkan, kedua saudarinya yang sering membantah menjulukinya 'anak sempurnanya Emak'. Saya bahkan diinterogasi suami karena mengira Abang itu menurut karena takut dipukul atau disiksa secara fisik. Saya hanya tertawa, dan memintanya bertanya sendiri.
Jawabannya singkat saja. Anak saya yang paling pendiam itu berkata, "takut sama Allah, Yah, ucapan ibu itu doa dan airmatanya itu api neraka. Abang juga bukannya takut, tapi gak tega kalo liat Mak nangis. Mak kan cengeng."
Hehehe... iya sih, saya memang cengeng. Kalau sudah sedih menghadapi tingkah anak, saya bukannya marah malah menangis. Meski ini sangat jarang, saya memang pernah menangis saat kebingungan mencari kakaknya Abang yang pulang sore dan lupa minta izin.
Tapi, dunia saya serasa runtuh mendengar anak sempurna ini mengatakan Tidak! dengan tegas ketika saya meminta terus mengikuti satu kegiatan ekskul sekolahnya. Abang keluar dari kegiatan itu tanpa izin saya dan baru saya ketahui melalui gurunya. Itupun, setelah saya heran karena nilai eskulnya tidak tercantum. Padahal kurikulum yang baru mengharuskan setiap anak mengikuti kegiatan eskul. Abang tetap ngotot tak mau lagi ikut karena dia lebih memilih kegiatan lain di luar sekolahnya (Kegiatan Remaja Mesjid).
Saya paham keinginannya, tapi bagi saya sekolah itu penting dan semua kegiatan yang wajib harus diikuti untuk menjamin ia lulus sekolah. Saya tak pernah membahas masalah ranking atau nilai-nilainya. Saya hanya ingin ia mengikuti semua aturan yang ditentukan sekolah. Tapi Abang tetap menggeleng. Bahkan ketika saya menangis, dan ia pun menangis.
Baru setelah Ayah turun tangan, saya putuskan untuk memintanya memikirkan solusi lain. Saya juga merasa perlu menenangkan diri. Ayah sempat menegur sikap saya, yang sepertinya terlalu membela pihak sekolah.
"Kita ini orangtuanya, kalau bukan kita, siapa lagi yang membela anak? Jangan menyudutkan anak. Kita ini pendampingnya. Kita juga pendukungnya. Kalau ia tak naik kelas, hanya karena tak ikut eskul, kita pindahkan saja ke sekolah swasta. Tak perlu menekannya karena persoalan sepele seperti itu."
Kata-kata Ayah menyadarkan saya, kalau saya sudah bersikap keterlaluan. Abang memang pendiam, tapi ketika ia tak suka ia akan mengatakannya. Sejak kapan di rumah, kami memaksakan kehendak?
Saya pun memanggil putra saya yang kini sudah tenang usai sholat dhuhur. Kami duduk bertiga dengan Ayahnya. Saya tahu benar Abang pandai mengaji, bahkan dikenal selalu menjadi imam sholat di antara teman-temannya. Saya menanyakan kemungkinan ia bisa pindah eskul lain, rohis misalnya. Kali ini Abang tidak menggeleng atau berkata tidak lagi. Ia mendengarkan.
Saya memintanya untuk bertemu dengan kakak atau guru pembina eskul rohis, atau kegiatan lain yang dia mau selain eskul yang telah ia tinggalkan. Nanti jika ia kesulitan, barulah saya ke sekolahnya dan membicarakannya bersama gurunya. Saya ingin ia belajar bertanggung jawab atas keputusannya. Tapi saya ingin ia tahu, saya ada untuknya dan bersedia memahami keputusan itu.
Hari Senin itu, saya sibuk mengajarinya cara berbicara nanti, dan Abang menjawab singkat seperti biasa. "Abang udah gede, Mak." Lembut dan santun, dengan suaranya yang semakin berat.
Ketika anak-anak sudah di sekolah, sebuah pesan masuk. Mak, udah beres.
Pagi itu, sambil mencicip segelas teh hangat, saya tersenyum sendiri. Tak ada anak yang benar-benar sempurna. Sebuah hubungan orangtua dan anak yang sempurna, terbentuk karena sebuah proses yang tak hanya melibatkan masa gembira dan senang, namun juga masa sulit dan penuh gejolak.
Sorenya, kami makan di meja menyantap semangkuk pao mini. Saya mendengarkan cerita Abang tentang ia yang menghadap gurunya, menanyakan jadwal eskul yang tak lagi bertabrakan dengan jadwal lesnya dan eskul yang ternyata paling nyaman dirasakannya.
Abang minta maaf telah mengambil eskul tanpa minta pertimbangan saya dulu, demikian juga waktu ia keluar diam-diam. Saya malu mendengarnya. Harusnya saya yang minta maaf karena memarahinya tanpa mendengar alasannya dulu.
Tapi saat saya bilang maaf padanya, Abang justru bingung.
"Kenapa Mak minta maaf? Kan itu tugas Emak ngingetin. Abang juga gak tau Mak kalau harus ikut eskul. Gak papa kok, Mak."
Duh, Bang... bagi Emak, Abang benar-benar anak sempurna Emak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar