Di negeri nan jauh, tersebutlah sebuah kerajaan yang memiliki keindahan alam luar biasa bernama Uthopia. Di negeri indah nan elok itu, hiduplah seorang raja. Raja itu memerintah rakyatnya dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya hidup tentram, sejahtera dan damai. Dibantu oleh para Menteri dan pembesar kerajaan, Raja membuat negeri indah itu tak hanya kaya akan hasil bumi dan wisata negerinya, tapi juga berhasil membuat setiap orang yang tinggal di negeri itu merasa bahagia.
Sayangnya sudah lama sang Raja selalu merasa gundah. Meski ia memiliki Ratu yang cantik dan baik hati, tapi mereka tidak berputra. Sudah banyak dokter yang berusaha mengobati sang Ratu, namun Ratu tak kunjung hamil. Ratu yang juga sangat sedih pun sempat meminta Raja untuk mencari istri yang lain. Tapi Raja menolak. Raja berkata, “jika Tuhan berkehendak, bahkan dengan hadirnya istri yang lain aku takkan pernah bisa berputra. Tapi aku juga punya kehendak, aku ingin menjadi suami dan pemimpin yang setia. Siapapun bisa menjadi penggantiku, selama ia memimpin dengan baik.”
Sejak itu, Raja dan Ratu memimpin negeri mereka tanpa mengkuatirkan soal keturunan. Mereka tetap memerintah seperti biasanya, memperlakukan setiap rakyat seperti keluarga dan anak-anak mereka seperti anak-anaknya sendiri. Tak heran, berpuluh tahun kemudian sejak mereka memimpin, kehidupan di negeri itu terus membaik.
Namun, usia Raja semakin lama semakin tua. Kesehatannya mulai sering terganggu dan ia sering mewakilkan semua urusannya pada para Menteri. Pertanyaan seputar pengganti Raja mulai merebak, setiap orang ingin tahu seperti apa pengganti Raja.
“Aku ingin penggantiku seorang pahlawan sejati,” sabda sang Raja pada Menteri Kehakiman saat mereka menengoknya.
Menteri Kehakiman bingung mendengar sabda tersebut. Bagaimana mungkin? Kerajaan mereka tak sedang berperang. Sudah lama sekali sejak mereka mengangkat senjata merebut kemerdekaan. Sudah 70 tahun yang lalu. Jika Raja mencari seorang pahlawan, itu artinya ia sedang mencari pahlawan yang lebih tua usianya dari Raja sendiri.
Raja terkekeh-kekeh, sebelum terbatuk karenanya. “Bukan, Menteriku. Tentu saja bukan pahlawan seperti itu yang kucari. Aku mencari pahlawan sejati. Pahlawan sejati yang akan menjadi wakil dari rakyatku. Pahlawan yang berjuang untuk rakyatku.”
“Siapakah dia, wahai Rajaku?”
“Carilah dia! Umumkan pada seluruh negeri, bahwa siapapun bisa menjadi penggantiku asal usia mereka cukup, tapi para Menteriku tidak boleh. Kalian harus menjadi juri yang menilai dan memutuskan bagaimana ujian menjadi Raja ini dilakukan. Pilihlah dua orang terbaik yang lulus dalam ujian negara yang kalian adakan. Kalau sudah ada, hadapkan mereka padaku,” ujar sang Raja dengan wajah lelah.
Menteri pun mengundurkan diri dari hadapan sang Raja dan dengan tergesa-gesa, ia mulai melakukan persiapan bersama Menteri-menteri terkait lainnya. Seluruh kerajaan pun bergolak. Setiap orang yang berusia cukup pun mendaftar. Berduyun-duyun mereka kembali belajar dan mempelajari berbagai hal agar bisa lulus dalam ujian negara. Sementara sang Raja yang mulai sakit-sakitan, lebih sering mengawasi pertemuan-pertemuan para Menteri yang sibuk bekerja mencari raja yang baru.
Ketika ujian negara dilaksanakan, seluruh negeri mengawasinya. Seluruh media massa, mulai jaringan televisi, radio bahkan internet ikut menjadi saksi pelaksanaannya. Begitu ujian selesai, kembali seluruh negeri menanti dengan harap-harap cemas. Berdoa semoga siapapun yang terpilih, Raja baru itu akan sebijaksana dan seadil raja mereka saat ini.
Hingga saat diumumkan, terpilihlah dua orang pemuda yang sama-sama berwajah tampan, gagah dan terkenal pandai. Keduanya menjalani pendidikan di universitas terkenal di negeri itu. Keduanya juga selalu menjadi peraih nilai tertinggi. Tak heran keduanya terpilih sebagai calon raja yang baru.
Kini tinggal menghadapi sang Raja dan menunggu keputusannya. Raja yang tampak sedikit sehat itu pun menemui mereka. Sang Raja meminta mereka untuk bergantian menghadapnya. Ia ingin mendengar jawaban mereka untuk beberapa pertanyaan.
Raja bertanya, “Apa yang menjadi kelebihan kalian, yang penting untuk menjadi seorang raja?”
Pemuda pertama menjawab, “tentu saja kemampuan kepemimpinan yang saya pelajari, tuanku. Saya juga sudah mengunjungi banyak negeri dan mempelajari banyak hal tentang pembangunan. Saya mampu memimpin negeri ini dalam keadaan apapun dan menghadapinya agar tetap menjadi negeri yang sebaik atau mungkin lebih baik dari sekarang.”
Pemuda kedua menjawab, “keyakinan saya pada Tuhan, ya tuanku. Dialah Maha Pengatur alam semesta, hingga tanpaNya, saya bukanlah apa-apa. Saya yakin Tuhan bersama saya dan melindungi saya beserta seluruh kerajaan, kalau saya berusaha sekeras dan sebaik tuanku saat memerintah negeri ini.”
Lalu Raja kembali bertanya, “lalu apa yang paling kalian takuti?”
Pemuda pertama, “tidak ada yang perlu saya takuti, tuanku. Kalau saya takut, maka negeri lain akan mencap saya sebagai raja yang penakut. Saya tidak boleh takut, agar seluruh kerajaan terlindungi.”
Pemuda kedua, “saya takut kehilangan rasa percaya rakyat. Saya kuatir rasa percaya seluruh rakyat akan hilang dari diri saya kalau saya tidak melakukan tugas saya dengan baik.”
Kembali Raja melontarkan pertanyaan ketiga. “Seandainya kau terpilih, apa yang kau perlukan untuk menjadi seorang Raja?”
Pemuda pertama menjawab dengan tegas, “tentu saja barisan tentara untuk melindungi saya dari orang-orang yang berkhianat. Mereka akan melindungi negeri ini, jadi saya akan memperkuat pertahanan kita. Saya juga memerlukan para menteri untuk membantu saya mengurusi negeri ini.”
Pemuda kedua menjawab dengan lantang, “yang saya perlukan hanyalah rakyat, tuanku. Kami akan saling melindungi, menjaga dan membantu untuk membangun negeri ini.“
Mendengar jawaban itu, Raja pun berpikir sejenak. Lalu ia melontarkan pertanyaan lain pada keduanya di saat yang berbeda.
“Wahai pemuda kedua, negeri ini adalah kerajaan dengan berbagai suku bangsa dan agama berbeda. Bagaimana seandainya ada salah satu suku atau agama yang ingin mendominasi sistem kerajaan? Apa yang akan lakukan?”
“Tuanku Raja yang mulia, siapapun di negeri ini, bahkan sang Raja sendiri pasti punya agama dan keyakinan yang takkan bisa ditukar dengan harta apapun di dunia. Karena itu, saya pun akan menghormati apapun agama yang dianut rakyat. Saya akan menjaga dan menyediakan kebutuhan mereka untuk memuja sang Pencipta sesuai keyakinannya, sekaligus melindungi mereka dari orang-orang yang merusak keyakinan tersebut. Saya yakin, bagian penting dari tugas seorang hamba pada Tuhannya, mereka juga harus menghormati aturan negeri di mana pun mereka berada.”
“Bagaimana kalau mereka menganggapmu gagal melindungi mereka dari orang-orang itu?”
Pemuda pertama memotong, “itulah gunanya barisan tentara, wahai tuanku. Mereka akan melindungi dan menjaga saya. Mereka akan menegakkan keadilan untuk pemimpin negeri ini. Rakyat harus patuh pada aturan yang dibuat raja dan jika perlu, tindakan tegaspun harus dilakukan.”
Mendengar itu, pemuda kedua tampak murung. “Saya tidak bisa, Yang Mulia. Saya tidak ingin menyakiti rakyat yang mempercayai saya. Kalau kepercayaan mereka hilang, apalah arti menjadi raja. Saya ingin bersama mereka, melindungi mereka semua. Saya bisa menghukum satu dua orang yang memang benar-benar bersalah. Tapi untuk kehilangan jutaan rasa percaya rakyat pada saya sama saja seperti sebuah kematian bagi seorang pemimpin.”
“Kalau begitu, kau tak memerlukan barisan tentara, bukan?” tanya Raja lagi.
Pemuda kedua mengangkat wajahnya, “Maaf Yang Mulia, saya tetap memerlukan mereka. Saya perlu para tentara untuk melindungi rakyat saya. Mereka perlu pahlawan-pahlawan yang melindungi dan memberi rasa aman, bukan malah menyakiti mereka.“
Raja tersenyum puas. Ia sudah menemukan penggantinya. Lalu dengan satu tepukan tangan, keluarlah para Menteri dan pembesar kerajaan. Mereka tahu raja baru telah terpilih. Senyuman puas terlihat jelas di wajah-wajah mereka. Wajah dari rakyat yang tahu benar bahwa mereka telah berhasil pemimpin sejati.
“Wahai kalian berdua, seorang Raja bukanlah seseorang yang duduk nyaman di kursi singgasananya. Ia bukanlah tuan dari seluruh rakyatnya. Ia justru hamba dari rakyat yang berusaha keras untuk memimpin mereka menuju kebaikan. Raja, adalah seorang pahlawan sejati yang selama akan menjadi penjaga dan pelindung rakyatnya. Bukan seseorang yang memerlukan pahlawan sejati lainnya. Ia tak bisa mempergunakan jabatannya sebagai pemimpin tertinggi untuk berbuat seenaknya, hanya demi melindungi kekuasaannya. Raja, memiliki kekuasaan dan jabatan agar memastikan tak ada rakyatnya yang disakiti atau merasa tersakiti. Kalau rakyat tersakiti, bahkan barisan tentara pun takkan mampu menghentikannya. Karena barisan tentara juga bagian dari rakyat itu sendiri.”
Kedua pemuda dan para pembesar kerajaan menunduk meresapi amanah sang Raja. Raja pun berdiri dan dengan tongkat kerajaannya, ia menunjuk raja baru selanjutnya. Tongkat itu mengarah pada pemuda ke-dua. Pemuda yang ia yakini akan mampu menjadi penggantinya, yang juga adil dan bijaksana, serta yang paling penting, mencintai rakyat dan negeri ini seperti dirinya.
Tak lama kemudian, sang Raja pun mangkat. Raja baru pun dinobatkan. Di bawah kepemimpinan raja yang baru, negeri Uthopia mencapai kejayaannya. Raja baru, raja yang dicintai rakyatnya, yang taat pada Tuhannya, yang mencintai dan menyayangi rakyatnya, yang menghormati barisan tentara pelindung rakyatnya dan tentu saja, yang selalu berusaha menjaga amanah yang dititipkan rakyatnya. Karena ialah pahlawan sejati sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar