Ketika kami masuk ke lorong panas, hawa panas dan sumpek langsung menyambut. Bau tak enak juga tercium oleh hidungku saat berjalan melaluinya. Tapi sepertinya Dea tak merasakan hal itu. Wajahnya masih berseri-seri seperti tadi, saat kami baru keluar dari mobil yang berhawa sejuk.
Mataku beredar mencari pakaian yang kucari. Aku harus membeli baju koko untuk Doni dan celana training untuk Dona, kakak-kakak Dea. Mereka sudah bertambah besar, sehingga baju dan celananya tak muat lagi. Untungnya, tadi saat menjemput Dea, aku lewat pasar ini. Pasar yang cukup lengkap.
Aku menemukan toko yang menjual semua yang kuperlukan. Tak hanya itu, ada beberapa busana muslimah untuk anak-anak seusia Dea. Ah, sekalian saja ia kubelikan satu. Jadi tak ada yang akan iri saat kami tiba di rumah nanti. Adil, semuanya dapat.
Saat aku hampir selesai memilih dan akan menawar harga, aku meminta Dea untuk memilih salah satu busana muslimah yang ada di dekatnya. Dea menoleh padaku tanpa berkata apapun, dan mulai memegang pakaian-pakaian yang berjejeran di depannya.
Aku kembali berbicara dengan si penjual. Sambil bercanda sedikit, akhirnya kami mendapat harga yang sama-sama disepakati. Mataku tak sepenuhnya tertuju pada si penjual, tapi terus melirik si Dea. Ia masih memilih-milih, sesekali aku merasakan tatapannya padaku. Aku tahu, ia pasti bingung.
“Dapet?” tanyaku usai mengambil uang kembalian. Dea menggeleng.
“Mama udah selesai, kan? Udah aja yuk, pulang saja!” sahutnya sambil menarik tanganku.
“Eeh, tunggu dulu! Dea kan belum beli apa-apa. Mama bantu milihin deh.” Aku langsung berdiri di depan jejeran baju muslimah itu dan mulai melihat-lihat. Tapi Dea tampak tidak tertarik. Ia berdiri malas di sampingku.
“Buat apa sih Ma?” tanyanya dengan nada mengeluh.
Aku menghela napas. “Dea, sebentar lagi kan bulan Ramadhan, lebaran juga sebentar lagi. Nah, biar gak repot kalau nanti mau sholat dan bisa dipake kalau ada acara di sekolah, sekalian buat lebaran juga. Makanya beli sekarang aja.”
Dea tertawa kecil. “Aduh, Ma. Baju Dea masih bagus-bagus, kok. Lagian buat apaan sih? Baju muslim baru untuk lebaran itu hanya buat mereka yang setahun sekali ke mesjid. Kalo Dea kan hampir tiap minggu. Udah yuk, pulang aja. Dea cape dan lapar. Dea mohon, Ma!”
Heran dan takjub. Dua kata yang mewakili perasaanku saat akhirnya mengalah pada permintaan gadis kecilku itu. Aku masih tak mengerti hubungan antara baju baru dan mesjid. Tapi Dea sudah tak sabar, jadi aku memilih diam.
Di rumah, saat makan malam bersama, aku dan seluruh keluarga berkumpul. Kami mulai bertukar cerita tentang kegiatan yang kami lakukan hari ini. Sampai akhirnya aku cerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Anehnya, si Papa dan kedua kakak Dea malah tersenyum-senyum.
“Jadi begini, Ma. Maksud Dea tuh mungkin seperti ini. Setiap minggu kan kami ke mesjid, nah di mesjid itu selalu diingatkan tentang ayat yang menyatakan bahwa mereka yang datang ke mesjid sebaiknya mengenakan pakaian yang bagus. Waktu itu Dea pernah nanya, baju bagus itu seperti apa, dan ustadzahnya bilang baju muslimah yang sesuai dengan syariah. Lalu dia sempat tanya lagi, tujuannya apa, ustadzahnya juga sempat jelasin. Mungkin itu sebabnya Dea merasa gak perlu baju baru selama baju lamanya masih sesuai dengan kriteria pakaian yang bagus itu,” tebak Dona panjang lebar menjelaskan apa yang ia ketahui.
Tapi Dea menggeleng, gadis kecil berumur tujuh tahun itu tampak tidak terima. “Bukan! Bukan itu sebabnya, Kak!” Lalu ia menoleh padaku, “Dea kan tiap minggu ke mesjid, pake baju bagus yang lama, jadi Allah pasti udah kenal dan sayang sama Dea. Dea tidak perlu baju baru yang bagus supaya diperhatiin Allah, Ma. Kalau yang perlu baju baru yang bagus, itu untuk mereka yang pergi ke mesjid ya cuma pas lebaran, jadi harus beli baju baru supaya diperhatiin sama Allah, supaya deket sama Allah walau cuma sehari. Buktinya, biar Dea gak minta, Mama, Papa dan kakak-kakak selalu ngasih Dea macam-macam kan? Kata Ustadzah Yuli, itu rezeki untuk anak soleha dari Allah. Anak yang deket sama Allah,” Ujar Dea dengan yakin. Matanya yang besar tampak membulat saat berusaha meyakinkanku.
Hening… semua terdiam. Termasuk Papa yang menatap putri terkecilnya itu dengan tatapan takjub. Dona dan Doni mengangguk-angguk setuju. Doni bahkan mengacungkan jempol pada adiknya. Sementara aku hanya bisa tersenyum bangga.
Di antara ketiga anakku, memang hanya Dea yang jarang meminta sesuatu. Ia hanya minta saat diharuskan oleh sekolah atau memang sangat ia perlukan. Ia juga tak pernah merasa iri walaupun tidak dibelikan apapun seperti tadi siang. Ia anak yang pengertian, membuat aku dan Papanya selalu berusaha menyediakan kebutuhannya walaupun ia tak minta. Begitu pula kedua kakaknya, selalu tak lupa berbagi pada Dea, yang hampir selalu berbagi semuanya pada mereka. Siapapun pasti sayang pada anak sebaik Dea, anak yang lembut hatinya dan selalu penyayang pada orang-orang di sekitarnya.
Banyak orang yang bilang padaku, mengenalkan dan mendekatkan seorang anak pada Allah SWT itu seperti membuka semua keajaiban. Dulu aku tak tahu seperti apa keajaiban itu, dan menggiring anak-anak untuk dekat pada Allah karena aku merasa Allahlah tempatku mengadu saat sulit dan berterima kasih di saat senang. Aku hanya ingin mereka merasakan sepertiku, kenyamanan seorang hamba yang berlindung di balik keesaan Allah.
Siapa sangka, kini aku mengalami banyak sekali saat-saat penuh keajaiban. Aku tak pernah terpikirkan akan hal yang dipikirkan Dea, satu ayat yang sering kami dengar saat berkunjung ke mesjid ternyata menimbulkan pemahaman luar biasa Dea tentang kedekatannya dengan Allah SWT. Sungguh, aku bersyukur menjadi ibu dari anak perempuan ini. Kata-kata Dea membuat aku semakin mengerti betapa besar anugerah bagi mereka yang dekat padaNya. Rahmat yang hanya ada untuk mereka yang selalu dekat denganNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar