12 Oktober 2015

Parenting : P R I V A S I

Suatu kali, Kakak bertanya pada saya “Mak, why do you trust me?”


Spontan saya menjawab. “Because you trust me.”


Kakak tertawa dan menganggap jawaban itu hanyalah candaan seperti biasa. Apalagi terdengar seperti syair lagu. Maka saya pun balik bertanya, “Then why don’t you lie to me?”


Because you never lie to me,” jawab Kakak cepat.


Kali ini kami sama-sama tertawa. Tertawa karena ini jadi benar-benar seperti sebuah syair lagu. Tapi sesungguhnya, saya merasakan inilah buah dari kerja keras selama ini. Meletakkan kepercayaan sebagai dasar hubungan antara saya dengan si putri pertama adalah target penting pertama dalam hidup seorang Emak seperti saya.


Hubungan kami memang tak seperti kebanyakan ibu dan anak lain. Di lingkungan sosial kami, teman Kakak bilang hubungan kami seperti layaknya dua orang sahabat, sementara teman-teman saya melihatnya seperti hubungan kakak beradik. Tak ada seorang pun mengira saya memiliki anak remaja sebesar Kakak. Bukan karena wajah saya yang masih tampak muda (Cieee....!) tapi karena sikap saya menghadapi anak-anaklah yang membuat mereka beranggapan seperti itu.


Kakak memang seringkali ‘lupa’ kalau saya ibunya, terutama ketika dia sedang dalam masa ‘sulit’. Ia akan menangis, dan saya pun akan menangis bersamanya. Ketika dia gembira atau sedang ingin bergosip tentang sesuatu, ia lebih nyaman membicarakan dengan saya. Karena memang sejak ia dilahirkan, saya merasa mendapatkan sahabat sejati dan memperlakukannya lebih sering seperti sahabat dibandingkan anak. Hanya karena saya ibunya, bukan berarti saya pemilik hidupnya. Dia adalah seseorang, pribadi berbeda dengan saya. Seseorang yang dihadirkan Allah SWT untuk menjadi bagian dari hidup saya, yang memiliki perbedaan, yang memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda dari saya.   


Karenanya, sebagaimana memperlakukan sahabat, saya pun menghormati privasi anak-anak. Begitu saya memberikan mereka sesuatu, itu adalah barang pribadi mereka. Setiap kali saya atau orang lain atau bahkan anggota keluarga sendiri, maka harus minta izin dulu pada pemiliknya. Di rumah kami, aturan soal kepemilikan adalah aturan yang amat sangat diperhatikan. Tidak seorangpun boleh melanggarnya termasuk kepala keluarga. Kalau terlanggar, maka si pelanggar akan mendapat sanksi. Penekanan soal kepemilikan saya lakukan sejak anak-anak masih balita dan mereka terbiasa akan hal itu.


Aturan ini benar-benar menguntungkan. Saat bermain, anak-anak tidak berebut mainan dan saling meminta izin ketika ingin memakai mainan milik yang lain. Kalaupun berselisih karena ingin memakai dan ingin meminjam, masalah akan terselesaikan dalam hitungan detik. Begitupun saat membereskan sesuatu, siapapun pemiliknya berkewajiban mengembalikan barang itu kecuali statusnya masih dipinjam. Saat merawat barang-barangnya, sebagai orangtua kami bisa dengan mudah menyuruh atau meminta anak-anak untuk membersihkan tanpa perlu saling melempar tanggung jawab. Ketika hilang atau rusak, anak-anak juga memahami konsekuensinya.


Dalam skala lebih luas, kepemilikan juga menyangkut privasi. Meskipun di era digital dan komunikasi seperti sekarang saya harus memperhatikan pergaulan anak-anak sepuluh kali lipat lebih waspada dibandingkan zaman saya dulu, bukan berarti melupakan status kepemilikan mereka atas privasinya.


Kami membuat kesepakatan. Saya dan Ayah, sebagai orangtua, memiliki hak penuh mengecek isi handphone/ tas/lemari mereka kapanpun ketika kami rasa perlu. Sementara Kakak mewakili dirinya dan kedua adiknya, meminta saya melakukan itu di depan mereka se-mendadak apapun.


Hal inilah yang akhirnya menjadi alasan mengapa handphone Kakak atau Abang tidak berkode rahasia. Malah setiap hari, setiap pagi saat mereka sekolah, ponsel Kakak dan Abang tergeletak di atas meja kerja saya. Meskipun ponsel mereka berbunyi berkali-kali menandakan pesan, notif sosmed bahkan telepon masuk, saya tak pernah tertarik untuk mengangkatnya.


Begitupun anak-anak, saat ponsel saya berbunyi dan meski itu dari anggota keluarga yang mereka kenal (Nenek, Kakek, Mamang, Bibi, Amang atau bahkan Ayah mereka) mereka akan berlari mencari saya sambil membawa ponsel milik saya itu. Ketika saya tidak ada di tempat atau sedang ada tamu, mereka menggunakan ponsel sendiri untuk memberitahu soal itu pada orang yang menelepon selama orang itu adalah anggota keluarga yang mereka kenal.


Dalam Islam, kepemilikan juga hal penting. Bahkan dalam Islam, saudara saudari tidur dalam satu selimut saja tidak diperbolehkan. Itulah mengapa pendidikan modern yang saya serap sesuai dengan konsep pendidikan Islam yang dipegang Ayah.


Karena itu, jangan berharap anak akan mempercayai orangtua kalau orangtuanya melanggar privasi mereka. Juga jangan berharap anak akan mempercayai orangtua ketika orangtuanya selalu berdusta pada mereka.


Kami membicarakannya hal ini semalam, saat Kakak dengan heran bercerita pada saya tentang teman-temannya yang dengan bebas memakai ponsel Ibu mereka dan melihat isi obrolan di grup para Mama. Saya pun akhirnya bercerita tentang beberapa informasi dari para Mama yang sering membaca obrolan di grup anak-anak secara diam-diam. Tujuan saya sebenarnya memberitahu kakak bahwa beberapa orangtua memegang konsep no privacy antara anak dan Ibunya.


Tapi Kakak pun spontan berkomentar, “Kalau gitu gak ada privasi dong, Mak! Iiih, kayak anak bayi aja. Kapan dewasanya? Malu-maluin aja. Kakak juga jadi ga respek sama Mak-mak yang ga percayaan sama anaknya gitu deh, Mak. Kalau memang mau tahu, kenapa gak kayak Emak aja? Nanya terang-terangan dong. Memangnya anak mereka itu maling apa! Itu kan perlakuan polisi sama penjahat.”


Seperti kata-kata bagai syair antara saya dengan Kakak... dan saya tambahkan sedikit... 


Why do you trust me?


Because you trust me...


Why dont you lie to me?


Because you never lie to me...


Why do you always respect on me?


Because you always respect on me...

Tidak ada komentar: