Cerita Sebelumnya
“Bu! Ibu melamun!” pekikan dan tepukan Farah di pahanya membuat lamunan Lestari terpecah berkeping-keping. Ia tersenyum malu di bawah tatapan keempat anak-anaknya. Mereka tersenyum-senyum melihat Lestari.
“Duh, kalian ini. Jadi lupa deh Ibu tadi mau nanya apa? Tadi sampai di mana obrolan kita, Rid?” tanya Lestari sembari memperbaiki letak duduknya agar lebih nyaman disandari Farah dan Farhan.
Mata Farid bersinar. “Sampai Ibu bilang tidak mengerti.”
Lestari mengangguk-angguk. “Ya, Ibu tidak mengerti. Kenapa alasanmu justru karena pernikahan bukan tentang kebahagiaan semata?”
“Sebenarnya berpikir pun tidak untuk menikah secepat ini, Bu. Benar kata Ibu, saya masih punya banyak rencana untuk masa depan saya. Saya juga ingin segera menyelesaikan S2 dan bekerja di tempat yang lebih baik. Tapi itu sebelum saya melihat kejadian dua minggu yang lalu.”
Farid terdiam sejenak. Hening. Lestari dan ketiga adiknya mendengarkannya dalam diam. “Saya ke rumah sakit tempat Nenek dan Ayah Intan dirawat. Tujuan saya hanya ingin menjenguk Nenek dan Ayahnya yang kebetulan saya tahu sedang sakit. Tapi sampai di sana... “ Lidah Farid mendadak kelu. Matanya kembali memperlihatkan sorot kesedihan itu lagi.
“Sampai di sana ada apa, A?” tanya Farhan penuh ingin tahu.
Farid tersenyum miris. “Farhan ingat kan seperti apa Mbak Intan?” Pertanyaan itu dijawab Farhan dengan anggukan. Lalu Farid kembali menoleh pada Lestari. “Intan yang kita kenal selalu tertawa, periang dan suka bercanda kan, Bu? Dia benar-benar sahabat saya yang baik. Saya juga tak pernah melihatnya sedih. Sampai saat itu. Intan terus menangis, Bu. Airmatanya seperti tak pernah berhenti mengalir selama saya ada di situ. Saat itu dokter sudah memberitahu Intan kalau kedua orang yang ia sayangi sudah tinggal menunggu waktu. Intan seperti layang-layang putus. Dia benar-benar terpukul. Saat itulah saya menyadari sesuatu. Saya tak bisa melihatnya menangis seperti itu. Saya ingin menghapus airmata itu, saya ingin menghibur dan menguatkan hatinya. Saya ingin menemaninya, saya juga ingin menjaganya.”
Kali ini ada getar berbeda berdentam di hati Lestari. Matanya mulai terasa penuh dan berkaca-kaca. Ia tahu seperti apa kehilangan orang-orang yang dicintai dan perasaannya yang teramat peka mulai bisa membayangkan perasaan Intan. Tapi sebagai seorang Ibu, Lestari harus tetap berpikir rasional. Membiarkan emosinya terbawa jelas bukan jawaban yang tepat. Ia menghela napas panjang.
“Tapi rasa iba atau kasihan tidak bisa dijadikan dasar untuk menikah, Farid.”
Kepala Farid turun naik, mengangguk setuju. “Ibu benar, tapi bukan pertama kali saya melihat sahabat perempuan saya menangis. Saya kenal Intan, Bu. Airmatanya bukanlah sesuatu yang murah. Dia perempuan dengan hati paling tabah dan pribadinya cukup tangguh. Kalau ia menangis, itu bukan hanya karena sedih tapi karena ia takut tak bisa memenuhi harapan mereka.”
“Harapan? Harapan apa?” selidik Lestari dengan kening yang berkerut.
“Tahukah Ibu mengapa saya memilihnya dan bukan gadis lain?” balik tanya Farid pada Lestari.
Lestari menggeleng bingung.
“Sudah lama saya menyukai Intan, Bu. Seperti namanya, dia sangat berbeda dari teman-teman yang lain. Tapi Intan tahu soal keinginan Ayah dan Ibu agar saya menyelesaikan master. Itu juga yang menyebabkan kami tak pernah membahas kelanjutan hubungan persahabatan kami. Kami menjaga batas itu dan berharap sampai waktunya tiba semuanya berjalan sesuai rencana.”
“Tapi Allah SWT berkehendak lain, Bu. Sekarang Nenek Intan sudah tak bisa bergerak bahkan berkata pun tidak bisa. Ia tinggal menunggu ajal datang. Sementara Ayahnya sudah mengeluh sakit di dadanya semakin lama semakin menyakitkan. Intan ingin sekali memenuhi harapan mereka berdua untuk melihatnya menikah. Tapi ia juga tak bisa membohongi perasaannya. Walaupun ia sangat merasa bersalah, Intan tak ingin menikahi pria yang tidak ia cintai.”
“Intan mencintaimu, Nak? Dia bilang padamu?” Mata Lestari membulat, terbelalak kaget.
Farid menggeleng. “Tidak, Bu. Tidak pernah. Tapi tidak mungkin saya tidak tahu perasaannya. Dia selalu membantu saya, dia selalu membuat saya mengingat Ibu, Ayah dan adik-adik di saat saya sibuk. Buat saya itu cukup memberitahu kalau Intan juga menyimpan perasaan yang sama. Tapi ketika saya bilang saya bersedia menjadi pria yang ia nikahi untuk memenuhi harapan itu, Intan langsung menolaknya. Katanya bukan karena ia tidak ingin, tapi ia takut membuat Ayah dan Ibu marah dan tidak merestui kami berdua. Ia rela menanggung rasa bersalah asal tidak membuat Ayah atau Ibu marah pada saya. Ia akan menunggu saat Ayah dan Ibu ikhlas menjadikannya menantu. Dia sangat sayang sama Ibu, jadi dia tak mau menyakiti hati Ibu. Ibu masih sangsi mengapa saya menyukainya?”
Kali ini titik-titik airmata mulai memenuhi kelopak mata Lestari. Gadis sebaik itu... yang mempertimbangkan perasaan keluarga Farid dibandingkan dirinya sendiri. Kini Lestari paham mengapa Intan selalu tampak kuatir tiap kali berkunjung ke rumah. Ia selalu datang saat Farid sedang bekerja dan pulang sebelum pemuda itu datang. Intan hanya akan bermain bersama adik-adik Farid dan mengobrol dengan Lestari. Berulang kali Lestari mendesak Intan menghubungi Farid agar datang dan mengantarnya pulang, tapi Intan selalu menolak. Katanya, tujuannya bukanlah menemui Farid tapi karena ia kangen pada Lestari dan adik-adik Farid. Lestari tak pernah mengira kalau gadis itu benar-benar ingin membangun hubungan yang baik dengannya.
“Mbak Intan memang sering datang, Aa. Suka main sama Farah, Kak Farhan bahkan ngobrol sama Kak Ferin.” Celoteh spontan Farah memotong obrolan Farid dan Lestari.
Senyum tipis tersungging di bibir Farid. “Ibu... Ibu tahu soal itu?” Lestari mengangguk kecil. “Saya bahkan tidak tahu kalau Intan melakukannya lebih baik dari saya, Bu. Saya hanya dua kali datang ke rumahnya,” gumamnya murung.
Lagi-lagi Lestari menghela napas, menghapus airmatanya dan menyandarkan punggungnya yang tegang. “Ibu pernah bilang kan Rid, menikah bukan hanya sekedar memenuhi keinginan orangtua tapi itu harus datang dari hatimu. Ibu tak ingin pernikahanmu hanyalah topeng untuk membuat orang-orang selain kalian berdua bahagia. Ibu ingin setelah menikah, kau akan merasa bahwa pernikahan adalah kehidupan baru yang lebih indah dari kehidupanmu sekarang. Bukan sebaliknya, Nak.”
“Ibu sendiri bagaimana pada Intan? Apa Ibu tidak suka padanya?”
“Tentu saja tidak, Rid. Ibu suka padanya. Sangat suka. Diantara teman-teman perempuanmu, hanya Intan yang mau datang ke rumah ini walaupun kau tak tinggal di sini. Tapi jangan jadikan perasaan suka Ibu pada Intan sebagai rekomendasi. Ibu tak mau mempengaruhimu.”
“Ayah pernah bilang kalau pernikahan bukan hanya tentang menyatunya dua orang berbeda. Tapi juga tentang menyatukan keluarga. Intinya restu dari orangtua, perasaan orangtua dan doa orangtua sangat penting. Setelah Ummi, Ibu adalah orang penting ketiga dalam hidup saya. Ibu banyak mengajari dan mendidik saya tentang kehidupan. Tentu saya menganggap penting perasaan Ibu. Tapi saya tidak akan bersikap bodoh dengan mengira kalau saya memilihnya hanya karena keluarga. Memang restu keluarga sangat penting, tapi saya sudah bilang berkali-kali, saya menyukai Intan lebih dari sekedar teman.”
“Lalu bagaimana rencanamu kalau Ibu setuju?”
“Saya akan minta tolong Ibu membantu saya membujuk Ayah. Ayah tidak seperti Ibu. Pertanyaan Ayah akan jauh lebih sulit dan Ibulah satu-satunya perempuan yang tahu saat yang tepat bicara pada Ayah. Gimana, Ibu mau?”
“Jadi Ibu Ratu setuju, Aa?” tanya Ferina sembari menatap Lestari dengan jenaka. Matanya masih tampak berkaca-kaca, namun senyum tipis sudah terlihat di bibirnya. Rupanya sepanjang obrolan, Ferina yang peka itu juga merasakan keharuan.
Farid dan Lestari sama-sama tertawa. “Kalau itu gampang saja. Tapi Ibu tahu Ayah akan bertanya soal rencana kuliah dan pekerjaanmu nanti bagaimana?”
“Bukankah dua kepala lebih baik untuk berpikir dibandingkan satu kepala? Intan akan membantu saya, Bu. Kalau untuk ini, saya janji akan tetap menjalankan rencana itu. Tidak akan menundanya. Soal pekerjaan, saya dan Intan akan membahasnya kalau pernikahan kami disetujui. Biar bagaimanapun, pekerjaan saya nanti akan menjadi tiang rumah tangga kami jadi harus dibicarakan agar adil. Benar tidak, Bu?”
“Benar sekali! Jadi bicarakanlah segera!” Sebuah suara terdengar dari ambang pintu ruang kerja Lestari. Lima pasang mata langsung menoleh ke arah asal suara itu dan terperangah. Itu Ayah, berdiri bersandar di pintu sambil tersenyum-senyum melihat seluruh anggota keluarga yang kaget melihat kehadirannya.
“Ayah!!” Farah bangun dan turun dari sofa, menghambur dalam pelukan Ayah. Ayah tersenyum hangat menyambut si bungsu yang manja. Ia mencium lembut kening putrinya sambil berjalan mendekati Ferina, lalu Farhan dan terakhir Farid. Setiap anak dihadiahi elusan lembut di kepala atau bahu mereka termasuk Farid sebelum Ayah duduk di sisi Farid.
“Menikahlah, Nak! Kalau keputusanmu sudah bulat, gadis pilihanmu sudah kau tentukan, menikahlah! Ayah merestui keinginanmu,” ujar Ayah santai.
Mata Farid lurus menatap Ayahnya tanpa berkedip sama sekali. Tak percaya. Bingung.
“Tapi... kenapa?”
Ayah memangku Farah yang sedang memainkan anak kunci mobil. Ia kembali membalas tatapan bingung Farid sembari tersenyum kecil. “Menikah adalah salah satu sunnah Rasulullah. Kau menikah juga dengan semua alasan terbaik yang pernah Ayah dengar. Apalagi yang harus Ayah lakukan? Tentu saja merestuinya. Nikahilah gadis itu dan jadikan ia istrimu, menantu kami, kakak ipar untuk adik-adikmu.”
Ayah mencium ubun-ubun Farah sambil berbisik, “Terima kasih ya Rara sayang, tadi di telepon udah cerita kalau Aa datang. Kalau tidak, berapa lama Aamu dan Ibumu selesai mengumpulkan keberaniaan buat bicara sama Ayah? Seseram itukah Ayah ini? Emang Farah takut sama Ayah?”
Farah tersenyum manja. “Enggalah... Farah paling sayaaaang sama Ayah!”
Tak ada yang berkata apapun. Semua tenggelam dalam keharuan.
Farid juga menunduk. Bibirnya bergetar dan menahan tangis. Perasaan Lestari campur aduk karena bahagia, sedih dan haru. Airmatanya bertetesan tak lagi bisa dikendalikan. Ferina bahkan berusaha keras menyembunyikan airmatanya yang kembali jatuh. Farhan sudah menggosok matanya yang mulai memerah berkali-kali sementara Ayah memandang bangga pada Farid sambil menepuk-nepuk punggungnya berkali-kali. Kecuali Ayah dan Farah yang memandang semuanya dengan bingung, semua mata di ruangan itu basah namun bibir mereka merekah penuh senyum.
***
Acara pernikahan baru saja usai. Sederhana namun penuh makna. Singkat tapi sangat indah.
Saat di mobil dalam perjalanan pulang, Lestari menyenggol bahu suaminya.
“Ada apa?” tanya Ayah.
“Sadar sesuatu, gak?” bisik Lestari.
Ayah menoleh. Tak mengerti.
Lestari tertawa kecil. “Farid menikah di bulan yang sama dengan bulan saat kita menikah dulu.”
“Lalu?”
“Mulai tahun depan kita akan merayakan dengan meriah, karena sekarang kita merayakannya bersama Farid dan Intan. Bukankah makin ramai makin seru, Yah?”
Ayah tersenyum. “Ibu, Ibu... Tahun depan kita mungkin sudah jadi Kakek Nenek. Gak malu masih merayakan pernikahan?”
Tawa Lestari makin lebar. “Ya enggalah, Yah. Kita harus rayakan bahkan sampai maut memisahkan supaya Farid dan anak-anak kita yang lain tahu bahwa pernikahan itu tidak sulit walaupun tidak mudah. Perayaan setahun sekali untuk mengenang semua kesulitan dan kebahagiaan yang kita dapatkan. Istilah Ibu ya Yah... recharge love energy.”
Suara tawa Ayah memenuhi mobil, membuat Ferina, Farhan dan Farah yang tertidur di belakang terbangun. Gumam kesal pun meluncur, namun Lestari hanya tersenyum.
Ibu berdoa semoga kau berbahagia, Farid. Semoga pernikahanmu membuat dirimu menjadi nakhoda dalam rumah tangga yang handal seperti Ayahmu, sehingga mampu membawa istri dan putra-putrimu kelak dalam sebuah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar