27 Oktober 2014

Mark Up Harga atau Dosa

Ting!


Suara pesan BBM masuk terdengar dari ponselku. Ponsel berbungkus casing warna merah hati itu pun kuambil dari dalam tas.


Boss, Cek rekening ya! Gumawo!!


Pesan itu sungguh aneh. Hah? Rekening? Mengapa aku harus mengecek rekeningku? Meski aku memutar kembali obrolan antara aku dan Wina, tak terpikir sedikitpun ada obrolan tentang uang atau rekening. Tanganku cepat-cepat mengetikkan pertanyaan dalam kepalaku ke keypad ponsel.


Rekening? Untuk apa, Mba?


Aku menunggu dengan bingung. Masih sibuk mengingat-ingat kejadian beberapa hari terakhir.


Ting! BBM balasan masuk. Kubuka dengan tidak sabar.


Aah, itu loh hasil penjualan baju kemarin. Kan harganya udah gw MU sesuai kesepakatan. Nah bagian lo udah gw transfer. Jangan lupa entar sore semua pengurus mo makan-makan. Lo hadir ya.



Dadaku serasa berhenti berdetak. MU? Berarti itu artinya Mark-up. Tak ada sedetikpun aku terpikir bahwa teman-temanku sesama pengurus akan melakukan hal yang sudah kularang itu. Wajahku kosong. Menatap layar ponsel dengan perasaan kesal bercampur dengan galau. Bagaimana mungkin mereka melakukan hal yang berlumur dosa seperti ini tanpa beban?

Aku menatap tumpukan pakaian dan jilbab seragam para anggota yang masih ada di sudut rumahku. Tumpukannya masih sangat banyak karena baru beberapa orang yang mengambil dan melunasi pembayarannya. Malah beberapa orang baru akan mengambillnya akhir bulan ini, setelah gaji suami mereka diterima.


Kuhela nafasku berkali-kali. Terasa berat. Ada ribuan beban menumpuk di hatiku. Di kepalaku, berseliweran bayangan wajah-wajah teman-temanku. Silih berganti.


Aku masih ingat, betapa sulitnya untuk bisa merekrut mereka masuk dalam organisasi yang kupimpin. Andaikan aku tak menyebutkan kalau ini untuk kepentingan keluarga mereka, terutama anak-anak mereka, tak mungkin mereka mau bergabung. Setelah aku memaparkan bahwa organisasi wanita ini mampu mengarahkan mereka menjadi ibu dan istri yang lebih baik, membantu perekonomian keluarga dengan berbagai keahlian yang akan diajarkan organisasi dan mengembangkan kebaikan sosial dengan berbagi, barulah mereka mau menjadi anggota organisasi ini.


Untukku, ide mendirikan organisasi wanita ini hanyalah satu dari sekian banyak idealisme yang ingin kubangun untuk membangun kehidupan wanita jadi lebih baik. Susah payah aku meluangkan waktu, meminta dukungan suami dan anak-anakku, semata-mata demi membuat diriku berguna untuk lingkungan yang lebih besar.


Tapi sekarang...


Aku merasa seperti sampah yang berkedok pakaian bagus dan berselimut kata-kata bijaksana. Aku seperti mengenakan topeng wajah yang memiliki wajah asli seburuk setan. Semua yang kulakukan selama ini bukan karena ketulusanku, tapi karena nafsu yang kusembunyikan. Keserakahan akan uang demi kepentinganku sendiri.


Tanganku bergetar. Beberapa hari lalu, seorang anggotaku bahkan terpaksa mengurangi uang belanja demi membeli seragam dan jilbab yang harus kami kenakan saat nanti menghadiri sebuah acara televisi tentang organisasi kami. Tanganku masih bisa merasakan tebalnya tumpukan uang pecahan dua ribu yang ia tabung berhari-hari demi bisa membeli seragam itu. Sekarang tangan yang sama ini pula akan menerima bagian yang mungkin telah membuat ibu itu dan keluarganya berpuasa.


Betapa kejamnya yang kulakukan. Bagaimana kalau orang lain memperlakukan aku dan keluargaku seperti itu? Airmataku mengalir jatuh. Menyesali semua yang kulakukan.


Mah, ada apa? Sentuhan telapak tangan Ayah membuatku mendongak. Dan mengalirlah seluruh beban di hatiku melalui curahan kata-kata dengan derai airmata. Maafkan istrimu, Suamiku. Maafkan aku...


***


Sudah? Sudah siap semuanya? sang fotografer bertanya. Aku mengangguk. Teman-temanku juga mengangguk.


Oke!! Satu! Dua! Tiga!! Klik. Klik. Klik.


Tiga kali lampu flash menyala menerpa wajah-wajah penuh senyum bangga dari seluruh anggota organisasi.


Aku menegakkan punggungku setinggi mungkin, membusungkan dada dengan bangga dan menampilkan senyuman terbaik penuh kebahagiaan dalam foto-foto hari ini. Aku ingin mengatakan dengan seluruh penampilanku hari ini, betapa aku bangga bisa memimpin sebuah organisasi yang berkembang pesat tiga tahun terakhir ini. Hari ini hari terakhir aku duduk di posisi terhormat itu.


Sudah lama beban di hatiku terangkat sehingga aku bisa melakukan segala hal terbaik demi organisasi yang kucintai. Suamiku memberi nasehat dan petunjuk yang benar-benar berhasil membersihkan diriku dari persangkaan buruk.


Ia menasihatiku bahwa memilih untuk melaporkan semua kecurangan hanya akan menghancurkan internal organisasi, apalagi korupsi itu dilakukan secara berjamaah. Pilihan sulit memang untuk bisa mengganti satu persatu pengurus yang bersikap curang. Perlahan tapi pasti, budaya itu bisa kuhilangkan.


Uang yang telah sempat singgah ke rekeningku, telah berganti nama dan kembali ke para anggota dalam bentuk sumbangan tanpa nama. Pengembalian itu kurahasiakan dan hanya kuberitahukan pada teman-teman pengurus yang memiliki kesamaan prinsip denganku. Mereka melakukan hal yang sama. Dan ini membuatku bisa menyaring dengan baik siapa saja yang benar-benar memiliki pemikiran sejalan denganku. Satu persatu, ketika ada celah, aku mengganti pengurus-pengurus yang berjiwa korup secara pelan-pelan.


Tiga tahun berlalu sejak saat itu. Tak sedikitpun aku merasa rugi melakukan semua itu. Justru sebaliknya. Keuntungan tiada henti kuterima. Rezeki seakan bergonta-ganti menyinggahi keluarga.


Ketika aku atau anak-anak sakit, selalu ada sahabat yang menemani dan membantuku. Jangan tanya berapa orang sahabatku, dengan profesi dari ibu rumah tangga biasa sampai wanita pengusaha sukses. Saat aku mengadakan acara keluarga, teman-teman membantuku mulai dari urusan ringan bahkan sampai membantuku menghemat pengeluaran. Semua yang tulus kulakukan untuk mereka, dikembalikan dengan ketulusan yang sama kepadaku.


Kebahagiaanku hari ini, bukan karena rekeningku yang bertambah karena itu tak terjadi sepanjang aku menjadi ketua, tapi karena hari ini senyuman di bibir mereka dan mata penuh airmata yang melepasku. Kebahagiaanku karena tahu apa yang kulakukan berarti buat orang lain. Kebanggaan yang kurasakan bukan hanya untukku, tapi juga keluargaku di rumah. Kebahagiaanku karena bisa membuat keluargaku bangga memiliki ibu dan istri sepertiku, tidak memalukan buat mereka.


Karena itu...




Sekecil apapun korupsi adalah korupsi, berdiri di atas penderitaan dan ketidakberuntungan orang lain.


Sekecil apapun korupsi, tak ada kepuasan di dalamnya selain keserakahan yang akan semakin menggunung.


Satu kali melakukan, seumur hidup akan jadi kebiasaan.


Nama baik seorang Ayah, berarti membawa nama baik anak dan istrinya.


Nama baik seorang Ibu, berarti nama baik anak dan suaminya.


Nama baik seorang anak, berarti nama baik untuk ayah dan ibunya.



*****



Tidak ada komentar: