Arisa terlonjak saat suara pintu dibanting keras. Dadanya berdegup kencang. Kakinya yang tadi asyik mengetuk lantai mengikuti irama musik pop Korea yang disetel Cinta langsung terdiam kaku. Ini bukan hal baru baginya mendengar bantingan pintu seperti itu. Tapi tiap kali Cinta melakukannya, ia tetap saja selalu terkejut. Dari kursi yang ia duduki, Arisa menatap Cinta yang masuk ke dalam kamarnya dengan bersungut-sungut.
"Gak boleh, Ris! Papa bilang sudah kesorean. Entar kita kemalaman di jalan," ujar Cinta dengan bibir melengkung.
"Ya sudah, gak papa kok Cin. Besok saja. Kan masih sempat. Waktunya masih lama."
"Iih, tapi aku gak yakin deh. Kemarin aja kata Desi, stok tas MCM tinggal beberapa biji doang. Kalau hari ini gak beli entar kehabisan. Aaah, Papa... sebel, sebel...."
"Yah kita berdoa aja Cin... kalau gak dapet, kan masih bisa pesan inden."
"Iiih mana asyik? Keburu gak in lagi kan?"
Andai Cinta mendengar apa yang dikatakan Arisa di dalam hatinya. Jangankan membeli tas seharga uang makan keluarganya sebulan, bermimpi untuk bisa menyentuhnya pun Arisa tak berani. Kalau bukan karena Cinta pula, manalah Arisa tahu apa itu tas MCM. Buatnya, sudah bisa memiliki tas bekas pemberian Cinta yang masih bagus pun itu sudah sangat terasa mewah.
"Maaf ya Ris, kamu jadi sia-sia deh libur ngajar les muridmu."
"Gak ada yang sia-sia, Cin. Main sama kamu selalu asyik. Sudahlah, kita dengerin lagu barunya Chen aja yuk!"
Cinta mengangguk, matanya yang sedikit sipit dengan kulit pucat itu kembali merona senang. Ia duduk di sisi Arisa, mengangguk-anggukkan kepala seraya bersenandung mengikuti syair lagu. Senang hati Arisa melihat sahabatnya tak lagi sekesal tadi.
***
Tapi, Cinta marah lagi. Setelah mereka benar-benar bisa ke toko tas itu, apa yang dikuatirkan Cinta terjadi. Stok tas itu sudah habis. Kalaupun ingin memesan, ia harus menunggu dua minggu lagi.
Sejak keluar dari toko, kaki Cinta terus menghentak-hentak keras. Arisa, Pak Supir bahkan Mamanya yang mencoba membujuk, mendapat getah tak enak. Omelan terus mengalir keluar dari bibir Cinta, menyalahkan Papanya.
Bahkan saat Papanya pulang kerja, Cinta membuang muka dan berkurung di kamar.
"Biarkan saja deh, Ma. Kalau ditegur nanti dia makin marah. Sudahlah. Papa mau istirahat sebentar."
"Tapi Pa..." Papa sudah berlalu menuju kamarnya, sempat tersenyum sesaat pada Arisa yang berdiri di dekatnya. Mama Cinta menggamit lengan Arisa.
"Arisa tidur di kamar Cinta saja ya.. Temani Cinta dulu. Biasanya kalau ngambek gitu, suka gak mau makan,"
"Iya Bu," jawab Arisa patuh. Ia beranjak menyusul Cinta.
Di kamar, airmata membanjiri wajah Cinta. Arisa langsung masuk dan memeluk Cinta. Menenangkannya.
"Aku benci Papa, benci banget. Terlalu protektif! Kenapa mereka gak punya anak aja lagi sih? Atau.. atau kamu aja deh, Ris jadi anaknya Papa. Jangan aku! Aku capek apa-apa gak boleh. Sebel!!"
"Boleh?" tanya Arisa sambil melepas pelukannya. Ia menatap Cinta dengan serius.
Dengan masih sesegukan, Cinta membalas tatapan Arisa bingung. "Apanya?"
"Papamu buat aku, boleh?" tanya Arisa lagi.
Cinta mengangguk. "Ambil! Bawa pulang sana! Sekalian sama Mama juga. Aku benci mereka semua."
Arisa tertawa kecil sembari duduk di tepi tempat tidur "Beneran ya! Gak boleh ditarik lagi loh. Sekarang Mama dan Papamu jadi milik aku ya..."
"Iyaaaaaaaa!" Dan Cinta menenggelamkan wajahnya ke bantal. Menyambung tangisannya.
"Aku sih mau dikasih Papa yang seperti Papamu. Mau gak boleh beli ini itu, atau gak boleh ke mana-mana, terus aku harus ke sekolah dan rajin belajar. Aku mau aja. Tiap hari harus nyuci piring seratus kalipun aku mau."
Volume suara sesegukan Cinta mulai menurun. Gadis itu sedang menyimak.
"Kamu enak, Cin. Bisa ngerasain iri gak punya tas, tapi kapanpun ada Papa yang bisa beliin kamu tas yang lebih bagus. Lah kalo aku? Tiap hari tiap detik selalu iri sama kamu, punya seseorang yang bisa dipanggil Papa. Sedangkan aku, boro-boro bisa minta macam-macam, mau manggil Papa aja gak bisa."
"Mulai deh, Ris. Kan itu bikin aku gak enak sama kamu jadinya." Tahu-tahu Cinta sudah duduk di sisi Arisa. Arisa tersenyum padanya.
"Jangan sama aku, Cin. Tapi sama Papamu. Papamu kan baru pulang kerja. Masih capek. Bukannya disambut gembira, malah dimarah-marahin gitu. Kan dua minggu juga gak lama, kamu masih bisa nunggu. Lagian, hanya gara-gara tas, masak kamu rela ngasihin Mama Papamu ke aku. Kamu manjanya selangit gini, mana ada orangtua lagi yang mau ngurusin kamu selain mereka."
"Iih, Risa. Tega bener bilang aku manja!"
"Lah ini kelakuan anak manja, tahu! Buat apa sih marah-marah gitu? Mending sana isi perut, kita makan. Kasian kan ibuku capek-capek masakin makanan terus dibuang-buang aja. Kamu boleh gitu sama orangtuamu, tapi kalau bikin kerjaan ibuku sia-sia, besok-besok aku gak mau main lagi di sini," dengus Arisa berpura-pura marah.
"Risaaa... " Cinta merengek. Arisa tertawa melihat wajahnya yang dipasang dengan memelas.
Tak lama, Arisa menuju ruang makan bersama Cinta. Papa dan Mamanya tersenyum berterima kasih pada Arisa. Arisa langsung berlari ke dapur, membantu ibunya menyediakan masakan buat keluarga Cinta. Tapi kali ini Cinta ikut di belakangnya, ikut menyajikan makanan.
Usai meletakkan piring berisi Kakap Asam Manis di meja, Cinta menoleh pada Papa. Wajahnya berubah serius sekali. "Papa, yang tadi itu lupain ya. Delete... delete semuanya! Oke!"
Papa terbahak. "Cinta, Cinta..."
Dari dapur, Ibu menyenggol Arisa. Tatapan ibu seperti melempar pesan tersirat. Tatapan terima kasih karena membuat Cinta tersenyum lagi. Ibu menggandeng Arisa, dan bersama-sama mereka mengambil tempat duduk di salah satu kursi di meja makan keluarga Cinta. Keluarga yang melindungi Arisa dan ibunya setelah Ayah tiada. Ayah memang telah tiada, tapi kehadiran Cinta yang bagai adiknya sendiri dan orangtua angkat yang selalu menganggapnya bagai kakak Cinta, melengkapi kekosongan yang ditinggalkan Ayah.
Meski, dalam lubuk paling dalam. Sampai kapanpun, Arisa akan selalu merasa iri pada Cinta. Karena apapun yang ia lakukan, Arisa takkan bisa seperti Cinta. Memeluk Ayahnya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar