06 September 2014

Kurikulum Baru : Dilema Orangtua & Guru

Mengawali tahun ajaran tahun ini, banyak chaos yang terjadi. Setidaknya itu mewarnai status-status sahabat-sahabat saya, yang berprofesi guru menyalahkan sistem baru ini belum siap untuk dipraktekkan karena kurangnya pelatihan buat mereka. Sebaliknya, para orangtua kebingungan mengikuti sistem yang berbanding jauh dengan kurikulum sebelumnya.


Baru tiga bulan berlangsung, saya berkali-kali diajak teman-teman sesama orangtua murid untuk memprotes pada pihak guru. Katanya PR dan tugas-tugas telah membuat anak mereka kehilangan waktu main.


Dan saya hanya berkata "Lalu, mau protes ke mana Bu kalau Miss-nya bilang kalau ini sudah aturan pendidikan dan harus dijalankan? Apa kita harus protes ke Depdiknas?"


Mereka tetap ngotot. Harus. Walaupun harus ke Depdiknas. Biar didengar, biar diubah.


"Terus? Berubah lagi menjadi seperti dulu? Padahal kurikulum sebelumnya itu ibarat kata sudah kadaluwarsa. Lihat hasil anak-anak nanti, paling tidak sampai semester ini. Kalau kita tak bisa percaya pada orang-orang yang kita pilih untuk mewakili mencari sistem yang tepat, lalu siapa yang harus kita percayai? Tidak mungkin sembarang orang membuat kurikulum ini, pasti banyak unsur-unsur yang dilibatkan untuk membangun sebuah kurikulum yang baik. Mereka pasti lebih pintar dari kita dalam menilai sisi negatif dan positifnya."


"Pokoknya saya gak mau paksa anak saya terus-terusan belajar..."


Mungkin ini cara pandang saya yang sedikit berbeda. Tapi saya ingin menjelaskannya, pelan-pelan agar paham.


Setiap anak selalu belajar, setiap detik, setiap menit bahkan setiap kali ia bernafas seorang anak sedang mempelajari bagaimana dunia ini bekerja dan bagaimana ia agar bisa hidup di dunia. Hanya proses belajar itu macam-macam. Tanpa kita sadari, bahkan ketika ia bermain seorang anak sedang belajar.


Belakangan ini banyak kekuatiran kalangan pendidik terhadap perkembangan anak-anak Indonesia yang cenderung menyukai gadget tapi bukan untuk memajukan dirinya, justru sebaliknya. Timbul kecanduan merusak yang akhirnya mengganggu sistem sosial di masyarakat. Ini hanya satu sisi negatif dari perkembangan di Indonesia. Hanya satu dari jutaan masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan zaman.


Saya ingat... dulu setiap pulang sekolah, saya bermain bersama teman-teman. Mainnya main jorok, itu istilah orangtua saya. Karena itu pasti berhubungan dengan tanah, rumput dan bahkan air sungai. Kadang-kadang ketika lapar, tanaman merambat dan buah dari berbagai pepohonan pun jadi santapan saat main. Ini yang membuat kita mengenal tanaman seperti putri malu, bunga sepatu, buah seri, bunga mawar, melati dsbnya. Bahkan saya tahu cara mengayuh perahu bersamaan, karena saat istirahat mengaji kami bermain di tepi sungai Mahakam memakai perahu kecil dan berlomba. Is it fun to remember your childhood, isnt it?


Nah, kemarin.. putri saya ditugaskan membawa tanaman putri malu. Dia sudah kelas 8 di SMP dan sayangnya belum pernah tahu seperti apa tanaman itu karena di sekitar rumah kami semuanya berlantai tembok dan beraspal. Yang mengagetkan, hampir separuh teman-teman sekelasnya pun tak tahu secara nyata. Saya dan suami sampai keheranan. Ternyata untuk menemukannya pun susaaaah sekali. Bahkan tak ada yang jual di tukang tanaman pinggir jalan. Kami baru menemukannya di salah satu mesjid dekat rumah. Itupun karena Ade yang punya ingatan sangat baik, mengingat dengan jelas tanaman yang bisa bergerak sendiri itu.


Di situlah saya menyadari, there is something to learn. Saya melupakan alam yang membesarkan saya dan proyek kurikulum yang mengharuskan banyak praktek langsung membuat anak-anak mengenal alam secara langsung.


Lalu, ada lagi hal menarik. Karena setiap hari Abang ditugasi untuk menjawab pertanyaan menggunakan alasan, ia melakukan sebuah perubahan besar. Setiap pulang sekolah, ia duduk di depan komputer dan mulai searching. Bukan searching games, tapi mencari penjelasan mengenai berbagai hal yang membuatnya penasaran. Baru-baru ini ia mengecek tentang produk-produk yang dihasilkan tiap pulau di Indonesia. Terkadang ia juga membuka video-video yang menjelaskan berbagai hal tentang benda dan perubahannya. Link-nya didapat dari Miss-nya. Ia begitu menikmati menonton proses sederhana itu. Bahkan adiknya yang masih di TK pun ikut-ikutan duduk manis di depan monitor. Mereka tidak merengek minta ditambah jam siaran kartun yang sangat saya batasi seperti biasanya. Ketika saya mencoba mengujinya, it is amazing to know that he can answer it so detail. Untuk anak yang selalu mendapat rangking 10 terbawah, itu benar-benar mengejutkan.


Ini proses belajar interaktif yang sejak dulu ingin saya lakukan. Proses belajar langsung tanpa harus menghapal berbagai teori yang membosankan. Have fun with the world and learning with freedom. Tidak terpaku pada nilai dan mempelajari dunia dengan cara bermain.


Meski memang harus diakui, ini juga tidak mudah bagi para guru. Mereka dituntut harus kreatif menyampaikan semua materi pelajaran walaupun temanya sama. Kreatifitas inilah yang sayangnya tidak dimiliki semua guru yang mungkin telah terbiasa belajar dan diajari dengan sistem lama. Sistem baku yang lebih mendorong teori dibandingkan praktek. Mereka melupakan hal-hal penting yang amat krusial bahwa bermain adalah dunia anak yang utama. Apalagi, saya yang sempat ikut mendapat penjelasan dari pihak sekolah mendapat informasi bahwa sistem yang baru tidak membatasi ruang belajar. Waah... itu kesempatan besar membuat anak-anak belajar tak hanya belajar bebas tapi juga belajar dalam arti luas.


Satu yang menarik. Sistem pendidikan sebelumnya lebih mengakrabi anak-anak yang memiliki kepandaian rata-rata karena sistem berulang-ulang untuk menghapal. Sementara anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata justru akan merasa terpenjara dalam sistem tersebut. Itu sebabnya mengapa walaupun Abang memiliki hasil test IQ lebih tinggi dari Kakaknya, ia tak memiliki prestasi sebaik kakaknya yang selalu juara kelas. Sekarang, dengan sistem baru ini Abang sangat menikmatinya dan justru terpacu untuk belajar, sedangkan si Kakak mulai kelabakan dan bahkan akhirnya meminta untuk diikutkan dalam les khusus.


Karena saya ingin suatu hari nanti kembali mengajar, sering saya membagi teknik mengajar ala saya pada teman-teman guru. Seringnya sih malah dapat tertawaan. Tapi ketika saya tanya pada anak-anak dan teman-teman mereka, justru mereka tertarik untuk mengikuti. Aaah, andaikan Tante jadi guru kita, aseek dah!!


Karena iming-iming saya adalah tidak ada PR, tidak ada tugas, as long as they can understand what I teach and reach the target... Bahkan hal sesederhana inipun bisa membuat anak-anak yang saya tahu betul antipati pada pelajaran Bahasa Inggris itu jadi tertarik untuk belajar.


Maka, saran saya untuk para guru kelas yang kini menangani materi pelajaran yang lumayan gemuk, cobalah untuk berpikir kreatif dalam penyampaian, think out of the box sedikit supaya bisa mendapat perhatian dari para muridnya selama masih dalam jalur yang wajar. Mungkin aneh dipandang rekan sesama guru, tapi siapa tahu justru itu yang sedang dicari para murid-murid.


Untuk para orangtua, mari kembali berpikir positif dalam menanggapi hal baru. Renungkanlah proses pembelajaran ini sebagai proses bagi orangtua untuk lebih peduli pada anak. Beberapa tugas yang memang diharuskan mungkin masih dikerjakan oleh orangtua dengan alasan anak tak punya waktu lagi. Coba dicek kembali diminta letak masalahnya. Jika anak lain bisa menyelesaikan sendiri tanpa bantuan orangtuanya, maka seharusnya anak kita pun bisa. Mungkin pengaturan waktu, sifat anak yang manja atau orangtua sendiri yang tak bisa berhenti membiarkan anaknya untuk mandiri yang justru jadi masalahnya.


Kalau kita tidak mendukung proses ini dengan hati lapang, kasihan anak-anak. Merekalah yang jadi korban nantinya. Mereka akan kebingungan menghadapi guru dan orangtua. Guru-guru juga pasti kebingungan kalau orangtua tak bisa diajak bekerja sama. Janganlah terlalu takut soal nilai atau naik kelas atau tidak. Kalah dan menang dalam dunia belajar itu akan menjadi proses pendewasaan buat anak. Biarkan mereka berkembang dengan bebas, tanpa terpenjara oleh tuntutan. Anak akan menjadi apa yang kita inginkan, kalau mereka tahu bahwa kita memahami keinginan mereka.


Apabila ada kekurangan dalam sistem kurikulum ini, maka biarkanlah orang-orang berkompeten dalam bidangnya yang akan melakukan tugasnya. Para pakar pendidikan takkan tinggal diam melihat kekurangan dalam sistem ini, begitupun para Psikolog anak dan Komnas Anak. Belum ada satu semester kurikulum ini berlangsung, belum ada hasil yang bisa dilihat. Tunggulah dengan sabar, lihatlah hasilnya dulu. Yang penting sekarang bagaimana mendukung anak agar bisa segera menyesuaikan diri dengan sistem kurikulum yang baru dan mengatur waktu mereka dengan baik. Kalaupun ada sesuatu yang salah, sampaikanlah tanpa ribut-ribut tidak karuan pada pihak-pihak yang bersangkutan namun jangan membuat hal itu menjadi alasan agar anak tidak mengikuti proses belajar. Itu akan merugikan putra-putri kita sendiri. Jadi berpikirlah dewasa selayaknya orangtua. Pikirkanlah yang terbaik tetap untuk putra-putri tercinta.


 


Salam...

Tidak ada komentar: