Suara dengung terdengar menyakitkan saat headset menempel di telingaku. Aku menjerit kecil. Kedua putriku tertawa melihatnya.
"Kalian.... " belum selesai aku marah, mereka sudah berlarian menaiki tangga. Suara cekikikan mereka masih bisa kudengar. Mereka pasti puas karena berhasil mengerjai Mamanya lagi.
Ah, putri-putriku yang cantik dan periang. Begitulah mereka. Tadi mereka memanggilku untuk ikut bergabung dengan 'konser' mini mereka di depan laptop. Entah lagu apa yang sedang mereka putar, hingga mampu membuatku mau bergabung bersama dan ikut mendengarkan via headset. Dan sekali lagi Mama bodoh ini lagi-lagi berhasil dikerjai.
Tapi sudahlah, toh sesekali aku juga ingin tahu apa yang mereka dengar. Jemariku mulai bermain, mengecek beberapa lagu yang terdaftar dalam pilihan playlist. Beberapa coba kudengar. Tapi hanya menghasilkan kebingungan. Lagu zaman sekarang, aneh dan terlalu banyak jeritan.
Namun, mataku melihat sebuah judul lagu. Judulnya seperti kukenal. Aku tak yakin. Benarkah ini lagu yang kukenal dulu? Sedikit ragu, tapi akhirnya kuklik juga judul lagu.
Lagu mengalun. Intro musiknya langsung membawaku mundur beberapa tahun sekaligus. Saat di mana kedua putriku belum lahir, saat aku belum bertemu Papa mereka, saat aku belum bekerja, saat aku masih memakai rok SMA. Bibirku tersenyum. Ya, ini salah satu lagu favoritku di masa remaja.
Bibirku mulai mengucap syair-syair. Ajaib, ternyata aku belum lupa sedikitpun. Dengan lancar, aku mengucapkan syair lagu rap yang saat itu baru menghebohkan dunia.
Tiba-tiba aku diam. Syair lagu itu berbahasa Inggris, tapi aku memahami artinya. Lagu yang berisi kemarahan, tumpahan amarah seorang remaja dan pertanyaan yang menyalahkan. Batin ini tersentak.
Masa lalu seakan kembali. Serta merta masa yang tak mudah itu kembali kukenang. Syair lagu itu seperti membawa pesan dari masa lalu, tentang semua kemarahanku sendiri di saat itu. Kemarahanku pada dunia yang tidak adil dan yang tidak memberiku kesempatan. Dan menyakitkan bagiku mengingatnya.
Tanpa sadar, dua tetes airmata mengalir. Inikah aku di saat remaja dulu? Penuh kemarahan, penuh kebencian. Sakit rasanya mengingat kebodohanku mengisi masa-masa itu dengan sesuatu yang tak berguna. Andaikan waktu bisa kuputar kembali, akan kukatakan pada masa remajaku. Berhentilah membenci sekelilingmu, luapkanlah kemarahanmu dengan melakukan banyak hal yang berguna. Agar semua kesalahan remajamu tak membuatmu menyesal di hari tua nanti.
Aku tak bisa berhenti mengingat masa-masa itu. Masa terberat di mana seorang remaja menghadapi perceraian orang tuanya yang amat sangat melelahkan. Bahkan mengingatnya membuatku ingin mengeluarkan isi kepalaku, mencucinya dan membuang bagian di mana masa perceraian orangtuaku itu terjadi.
Aku, bagian dari keluarga, bagian dari rasa sakit itu, satu-satunya yang tak boleh ikut campur dan tak boleh berpendapat. Aku, tempat mengadu Ayah dan Ibu, tapi mereka tak mau jadi tempatku mengadu saat itu. Aku, boneka cantik yang harus diam namun sewaktu-waktu harus menghibur kedua orangtuaku saat mereka sedih atau terluka. Bukan sebaliknya.
"Mama?" Sentuhan Andini, putri tertuaku membuatku mendongak. Kukerjapkan mata. Lagi, dua tetes air mengalir di pipiku. Aku melepas headset, mengusap airmataku.
"Kenapa Mama nangis?" tanyanya sedih. Ia melirik laptop mencari tahu apa yang sedang kulakukan.
Aku tersenyum, "Itu dengerin lagu, jadi ingat masa lalu. Biasalah... terharu."
Putriku tersenyum. "Mama, mama. Sensitif banget sih hati Mamaku sayang ini. Sini Dini peluk."
"Aaah, tadi aja ngerjain Mama. Mama masih kesel nih."
"Yaaah, gitu aja pake ngambek sih, Mamaku sayang," bujuk Andini. Ia memelukku sayang. Aku membalasnya.
Tuhan, terima kasih. Terima kasih untuk masa-masa sulit yang kau berikan padaku dulu. Karena kini, aku menghargai setiap senyum dan tawa milik suami dan kedua putriku. Sesuatu yang dulu tak pernah dihargai kedua orangtuaku karena mereka sibuk memikirkan diri sendiri. Aku tidak harus mengorbankan pekerjaanku, seperti yang Ibu kuatirkan. Dan suamiku tak harus memaksaku tetap tinggal di rumah mengurus putri-putriku, seperti yang Ayah selalu inginkan dari Ibu. Aku hanya harus memahami keinginan anak-anak dan suami. Memberitahu mereka apa yang kuinginkan. Pelan-pelan, meski melalui jalan panjang, aku juga belajar berkompromi. Demi keutuhan keluarga, demi kestabilan yang aku impikan.
"Lagu itu, dapat dari mana? Itu kan lagu lama." tanyaku pada Andini.
Andini menatap sebaris judul yang kutunjuk. Ia tersenyum.
"Kok ditanya malah senyum-senyum?" tanyaku lagi. Sedikit manyun.
"Itu Papa yang upload, Mah. Katanya lagu itu lagu yang mengingatkan Papa pada seseorang." Andini menatapku, sekelebat tanya melintas di bola matanya. "Kupikir Mama juga pasti tahu ini mengingatkan Papa pada siapa. Benar, kan?"
Aku hanya tersenyum. "Ah, sudahlah. Yang penting Mama tahu, lagu itu bukan lagu pilihan kalian. Ayo! Mana Dina? Kita makan dulu yuk!"
Andini mengangguk, menggamit lenganku menuju ruang makan.
Lagu itu masih tertera di antara pilihan lagu-lagu milik putri-putriku. Gangsta Paradise... Masih mengalun... Biarlah, suatu hari Dini dan Dina akan tahu kenapa aku menangis, mengapa Papa mereka mengingat lagu lama itu. Bukan kenangan buruk yang akan kubagi, tapi pelajaran penting untuk mereka. Nanti, saat mereka belajar menjadi orangtua, agar belajar memahami arti anak sesungguhnya.
Anak bukan lagu penghibur. Dia adalah pendengar, yang merasakan ketika lagu kehidupan yang didendang itu indah atau penuh kemarahan. Ia merasakan emosi, entah sedih atau bahagia. Maka aku ingin kelak kedua putriku mendendangkan lagu-lagu indah untuk keturunan mereka. Cukup sampai aku saja yang tahu, rasanya menjadi lagu penghibur.
*****