23 Mei 2013

Behind Baby Sitter

Kayak judul film ya?

Ya, ini memang seperti sebuah film. Bukan mau menakut-nakuti para ibu yang menggantungkan pengasuhan putra-putri mereka ke tangan para Baby Sitter, sama sekali bukan itu niat saya.



Tapi rasanya seperti tulang ikan yang nyangkut di tenggorokan, sangat tidak enak kalau tidak mengeluarkannya. Setidaknya semoga ini bisa membuat ibu-ibu itu (yang pakai pengasuh) mau lebih waspada saat memilih baby sitter.


Saya pernah bekerja, saya juga memahami betapa banyak pertimbangan yang harus diambil seorang ibu sebelum memutuskan berhenti atau tetap bekerja setelah memiliki putra atau putri dan bahwa meninggalkan seorang anak di rumah dengan pengawasan orang lain meskipun yang menjaga itu masih ada hubungan keluarga sangat sulit dilakukan oleh para ibu. Bahkan saya juga tahu beratnya berusaha memisahkan gejolak emosi antara perasaan pribadi dengan jiwa profesional saat mendengar putra-putri sakit sementara kita sedang sibuk.


Capek ngerasain semua itulah yang membuat saya memilih stay at home. Awalnya memang berat tapi alhamdulillah, tanpa mengurangi pemasukan di rumah, toh saya, bisa tetap berkarya meski berada di rumah.



Kembali ke soal baby sitter. Karena saya memiliki tiga anak yang berbeda usia lumayan jauh 3 dan 4 tahun, maka di rumah saya selalu ada teman-teman mereka dari segala usia. Dari yang ABG sampai balita. Dari dalam rumah sampai depan rumah, tiap hari selalu dipenuhi oleh anak-anak berganti-gantian tergantung jam sekolah mereka. Anak-anak tetangga memang menjadikan halaman rumah saya sebagai tempat mereka bermain dan sekaligus berkumpul. Karena itu juga, sering kali Ibu-ibu lain atau para Mbak-mbak ikut-ikutan nongkrong di depan rumah saya. Biasanya sambil memberi makan, atau sekedar melihat anak-anak yang lebih besar bermain.


Saya sendiri sebenarnya tak terlalu sering berkumpul dengan para ibu itu. Kesibukan membuat saya lebih sering berada di depan lappy dibandingkan ikut duduk merumpi. Tapi ada yang menarik perhatian saya kemudian. Yaitu saat melihat para Mbak-mbak Baby Sitter itu ketika mengurus 'titipan' mereka.


Duh, bukan sekali dua kali saya melihat kekasaran mereka saat memanggil atau memaksa anak asuhnya untuk melakukan tugas. Misalnya menyuruh mandi. Anak-anak memang kalau sudah asyik main biasanya susah disuruh mandi. Nah, ini ketidaksabaran mereka seringkali berujung kekasaran dan jujur, menurut saya tak perlu sampai sekasar itu hanya untuk menyuruh mandi. Belum lagi teriakan-teriakan di jalanan yang akhirnya membuat si anak asuh menjadi anak yang kasar. Jangan tanya lagi bagaimana cara mereka menarik-narik si anak. Pokoknya bikin bergidik.


Ada lagi yang bikin saya terenyuh. Pola asuh para baby sitter yang selalu sama, menurut ibu-ibu majikan mereka ini berasal dari Yayasan yang dididik khusus, kok memberi makan malah di jalanan seperti itu? Bukankah dalam pendidikan agama dan sekolah, ada tercantum kalau makan dan minum harus duduk dengan tenang? Nah... ini tidak, dengan alasan biar gampang memberi makan mereka pun menyuapi si anak meski piring dibawa ke sana kemari dalam keadaan terbuka. Itu belum apa-apa. 
Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang baby sitter mengambil lagi lauk telur yang sudah jatuh di jalanan yang kotor itu dan dengan tenang menyuapkan pada si anak. Tanpa sedikitpun rasa canggung, ia berkata "Belum lima menit, De. Masih aman..." !!?#$%^&?!*

Tak hanya itu, sepiring nasi itu tak utuh masuk ke perut si anak karena sebagian sudah masuk ke perut si baby sitter kalau mereka juga sedang ingin. 


Dan kebanyakan mereka menggunakan pola pengasuhan yang menurut saya pasti jauh dari standar orangtua kandung si anak, seperti dengan mengancam, makan dan jajan sembarangan, menuruti semua kemauan anak, tidak waspada, dsbnya.


Sebenarnya masih ada beberapa peristiwa yang saya lihat sendiri berkenaan dengan tingkah polah para Baby Sitter ini. Tapi saya berusaha juga melihat dari sisi mereka. Karena ada beberapa majikan yang tidak kira-kira saat memberi tugas pada mereka. Mereka ini orang-orang yang pendidikannya mungkin tak setinggi si Majikan, hingga kadang-kadang berpikir yang praktis-praktis saja. Daripada si anak asuh menangis, mereka menghalalkan segala cara  untuk menenangkan bahkan ketika itu bisa membahayakan diri mereka sendiri atau malah si anak asuh. Tak perlu detil saya ceritakan, tapi kalau saya menjadi orangtua si anak dan melihat kejadian itu, pasti langsung saya pecat.


Jadi, saran saya sebaiknya berhati-hati memilih Baby Sitter. Kami, para ibu yang menjaga sendiri anak-anak kami, pernah bercanda tentang kesan kami terhadap para pengasuh anak bayaran itu. 



"Kalau ingin belajar berbohong, belajarlah dari para Baby Sitter atau pembantu."


Maaf ya, bukan ingin menyalahkan atau berkesan meremehkan. Sungguh saya memahami beratnya menjadi wanita karier yang memiliki anak. Hanya berharap mudah-mudahan sekilas kesaksian tentang para Baby Sitter di sini bisa menjadikan ibu-ibu yang bekerja lebih waspada saat memilih sahabat putra-putri mereka di rumah.



*****