[/caption]Minggu pagi, sama seperti minggu-minggu sebelumnya, meski hujan sempat mengguyur dan cuaca tidak mendukung. Saya membawa anak-anak untuk menikmati pagi yang mendung itu dengan berolahraga sebentar ketika hujan baru berhenti. Biasanya kami berolahraga sekeluarga di jogging track samping apartemen, hanya sekedar lari-lari kecil saja menghirup udara pagi yang masih segar.
Sebenarnya yang berolahraga paling-paling hanya suami dan anak-anak, karena saya sendiri kurang suka berolahraga. Saya lebih suka memotret atau merekam tingkah laku mereka yang sejenak diberi ruang untuk berlari-lari sepuas hati. Setelah itu, sambil membantu suami mengawasi anak-anak agar tidak lari ke jalan raya, saya lebih suka duduk-duduk (dan jelalatan mencari cemilan) sambil tetap memotret dan merekam.
Sama seperti sebelumnya, bukan hanya kami sekeluarga yang berolahraga atau memakai jogging track saat itu. Ada beberapa keluarga lain yang juga sedang memanfaatkannya. Ada yang sekedar jalan kaki, belajar sepeda, sampai bermain bola (bukan main bola ramai-ramai, hanya sekedar tendang tangkap saja)
Di belakang kami, ada beberapa pekerja kebersihan apartemen yang juga sedang membersihkan pohon-pohon di taman sampingjogging track. Pohon-pohon itu banyak yang dahannya hampir patah dan cukup berbahaya kalau dibiarkan, jadi sekalian dibersihkan dan dipotong agar terlihat rapi.
Tadinya saya sama sekali tidak memperhatikan karena asyik memotret tingkah laku putri terkecil yang sedang menari-nari tanpa malu-malu. Beberapa ibu dan bapak yang juga sedang berada di sekitar tempat itu juga ikut memperhatikan tingkah anak saya itu.
Lagi asyik-asyik kami mengobrol dan memperhatikan tingkah si Ade, tiba-tiba terdengar bunyi derak pohon patah. Kepala kami kontan berputar mencari asal suara dan ya Allah, ada orang jatuh dari pohon. Salah satu pekerja yang tadi kami lihat sedang memanjat untuk memotong dahan yang hampir patah, sudah tergeletak di bawah pohon dalam posisi telungkup.
Spontan, hampir semua orang dewasa yang berada di sekitar pohon tempat pekerja tadi jatuh pun mendekat. Dua teman pekerja yang berada agak jauh juga ikut berlari dengan panik. Kami sempat mengira, pekerja itu pingsan dan mengalami luka yang cukup parah. Sambil mengamankan ketiga anak saya agar tidak mengganggu orang-orang yang akan mengevakuasi pekerja yang jatuh itu, saya ikut memperhatikan dari kejauhan sementara suami saya ikut mendekat untuk membantu.
Tapi, sungguh mengejutkan. Pria yang usianya sekitar dua puluhan akhir itu bangun dengan mendadak. Dia duduk sebentar, menggeleng-gelengkan kepala (mungkin karena pusing) lalu berdiri pelan-pelan. Kemudian pemuda itu memandangi orang-orang yang mengerumuninya dengan raut wajah tidak enak dan merasa bersalah.
"Maaf, Pak, maaf Bu. Saya gak apa-apa, saya gak apa-apa kok. Silakan lanjutkan lagi! Maaf sudah mengganggu!" katanya berulang kali sambil mengangguk-angguk meminta maaf.
"Beneran kamu gak apa-apa?" tanya seorang Bapak berkulit putih yang memakai kacamata dan celana olahraga pendek, yang ikut berlutut melihat keadaan pemuda itu tadi.
"Iya Pak, saya bener-bener gak apa-apa. Maaf sudah ganggu!" Pemuda itu masih sambil memegang punggungnya (yang mungkin terasa sakit) dan mundur pelan-pelan. Teman-temannya yang mendekat ikut memegang badannya yang sedikit goyah, tapi dia malah bilang, "beneran, gue gak apa-apa. Lu lanjut aja deh. Gue istirahat sebentar."
Walaupun saya tidak yakin, dan mungkin juga demikian dengan orang-orang yang ikut menyaksikan peristiwa itu, kalau pemuda itu baik-baik saja. Tapi karena melihat dia bisa berjalan meski sedikit terpincang-pincang dan menjauh dari kami, yah saya pikir mungkin benar, dia memang baik-baik saja atau mungkin sudah terbiasa (barangkali) karena pekerjaannya.
Saya juga masih sedikit penasaran dan terus memperhatikan kemana si pemuda yang jatuh tadi pergi. Maklum saja, ini peristiwa aneh yang baru saya alami. Kalau jatuh terpeleset saja bisa sakit bukan main, masak jatuh dari pohon kok masih bisa jalan? Terus terang saat itu, saya berpikir jangan-jangan tukang kebun itu punya ilmu kekebalan sakti yang tidak mempan luka walaupun jatuh dari pohon.
Pemuda itu berjalan menuju rerimbunan pohon yang sedikit lebih lengang, dan agak jauh dari tempatnya jatuh tadi yang memang cukup ramai dengan orang-orang. Kami masih sedikit bingung dan merasa agak ajaib melihat orang yang jatuh dari ketinggian lumayan tinggi (sekitar 2-3 meter) masih bisa berjalan dan tidak pingsan.
Karena masih penasaran, saya dan beberapa orang lain masih sesekali menengok ke arah pemuda tadi menghilang. Belum lama saya duduk lagi di bangku yang memang ada di situ, tiba-tiba terdengar suara orang mengaduh-aduh dari balik pohon tempat pemuda tadi menghilang. Suami saya dan bersama Bapak-bapak yang lain pun kembali berlarian ke arah pohon itu.
Dari jauh saya bisa melihat saat Bapak-bapak itu menemukan penyebab suara itu, wajah mereka kelihatan campur aduk antara bingung, kasihan dan geli yang jadi satu. Pemuda yang jatuh tadi ternyata bersembunyi sambil duduk di situ dan mengerang sambil memegangi bagian-bagian tubuhnya yang sakit. Dia bahkan sampai menangis. Ya ampun, ternyata dia tadi merasa malu karena jatuh dari pohon dan dilihat orang banyak.
Kali ini tanpa banyak bertanya lagi, Bapak-bapak pun berinisiatif membawa pemuda itu ke rumah sakit terdekat. Saya harus mengakui pemuda itu benar-benar kuat karena ketika dibawa ke rumah sakit baru diketahui kalau tangan kirinya terluka parah. Untunglah ada seorang Bapak baik hati, saya rasa beliau ini salah satu penghuni apartemen, yang mau mengurusnya bahkan membayarkan biaya rumah sakit.
Yang jadi catatan saya melihat sendiri kejadian itu adalah, dia hanya seorang tukang kebun biasa yang tanpa sengaja jatuh dari pohon. Sakit loh. Benar-benar sakit, tapi dia malu menunjukkan rasa sakitnya yang sudah sangat jelas. Dia memilih bersembunyi dulu baru mengerang kesakitan, dibandingkan pamer di depan orang-orang yang sebenarnya saja sudah kasihan melihatnya jatuh begitu.
Sementara di kehidupan lain, ada seseorang yang jatuh dari kedudukannya karena kesalahan atau kejahatannya sendiri. Tapi boro-boro punya rasa malu, mereka malah mengemis-ngemis rasa kasihan dari orang lain hingga crying show di media massa tanpa peduli kalau orang-orang inilah yang merasakan akibat perbuatan mereka. Tak ada luka berarti di tubuh mereka, tapi sepertinya satu hukuman kecil yang dijatuhkan seperti orang mau dipenggal saja. Terpisah dari keluarga mereka karena harus dipenjara saja, sudah airmata terus yang dijual.
Kita harus belajar punya malu seperti si tukang kebun, ya tak perlu seekstrim itulah. Tapi terus terang saya sangat salut melihat ketabahannya menghadapi rasa sakit. Dia masih bisa meminta maaf karena merasa telah mengganggu kami yang sedang menikmati hari minggu itu, padahal itu kan kecelakaan. Semua orang bisa mengalaminya.
Kalau jatuh beneran, ya jangan malu kalau sakit. Kalau 'jatuh' karena perbuatan yang salah, baru deh boleh malu...
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar