06 Januari 2013

Cerita di Balik Program Bayi Tabung

 


Satu lagi pelajaran tentang makna kekuatan pasangan suami isteri yang telah saya pelajari. Para pasangan yang pernah atau sedang menjalani program BT atau bayi tabung. Beberapa ada yang berhasil, tapi banyak juga yang gagal. Hanya satu kesamaan mereka yang benar-benar membuat saya merinding terharu melihat dan mendengarkan, mereka benar-benar pasangan yang luar biasa.


 


Jujur, dulu saya pernah menganggap bahwa pasangan yang ikut program bayi tabung hanyalah pasangan yang kurang sabar, kurang subur dan kurang percaya diri. Tapi seketika pandangan itu berubah saat saya mendengarkan kisah-kisah perjuangan mereka dalam menjalani program bayi tabung tersebut.


Untuk memperoleh kesempatan menjadi orangtua sejati, mereka mengorbankan banyak hal. Materi maupun immaterial. Berusaha secara lahir dan batin. Perjuangan yang benar-benar harus diacungi dua jempol. Menghabiskan puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, belum termasuk biaya treatment. Itu masih dibayang-bayangi kegagalan. Satu kegagalan berarti harus menunggu lagi. Satu kesempatan terlewat (jadwal menstruasi), maka itu berarti harus menunggu sampai bulan selanjutnya. Beberapa di antara mereka masih harus mencari rumah sakit yang paling baik, berbekal informasi dari para pasangan yang berhasil. Padahal tak jarang rumah sakit itu berbeda daerah, propinsi bahkan negara. Dan akhirnya membuat mereka terpaksa mencari tempat tinggal sementara di sekitar rumah sakit.


Ketika berada dalam proses penantian hasil, mereka harus rajin mengecek dan bersabar. Seringkali para istri terpaksa berhenti melakukan berbagai kegiatan, bahkan hal-hal yang paling mudah. Kalau yang biasa berdiam, mungkin bukan masalah, tapi untuk yang terbiasa aktif jelas sangat tidak mengenakkan.


Terkadang dalam proses penantian itu, harapan pun tumbuh subur dan makin dekat hari, mereka akan semakin harap-harap cemas. Sampai kemudian, waktu yang dinanti tiba. Ketika berhasil, mereka masih harus melanjutkan perjuangan dengan treatment, ada yang masih harus menunggu karena meski positif tapi belum bisa dipastikan keberhasilannya. Tak jarang malah berujung kehampaan dan kekecewaan sekali lagi. Kelompok ini pun saling menguatkan satu sama lain, tak ada tangis berlebihan selain mengembalikan semuanya kepada Tuhan. Tidak mempertanyakan kenapa, hanya mencoba menerima.


Para istri tak hanya berlomba dengan waktu, tapi juga usia. Ketika istri-istri lain sibuk memikirkan 'how to look more pretty' atau 'what item to buy for my style', mereka malah sibuk mengukur suhu tubuh, masa subur sampai kemungkinan kehamilan. Mereka lebih paham istilah IVF, Bhcg, tuba, hiperstimulasi, embrio, telur, laparostomy, PHD dan entah apalagi (mohon maaf kalau saya salah tulis karena berdasarkan lisan saja) ketika saya dan anda semua yang sudah menjadi orangtua justru berkutat dengan jadwal sekolah, rencana pendidikan, les-les dan pertemuan guru.


Untuk suami-suami mereka, boro-boro berpikir untuk mengganti istri demi memperoleh si jabang bayi, mereka malah sibuk membuat istri-istri tetap semangat, merasa nyaman dan tenang apapun keputusan Tuhan untuk semua usaha yang sedang mereka lakukan.


Yang paling menyakitkan adalah saat-saat para istri harus mendengar keputusan dokter untuk melakukan kuret, menjalani terapi jika ada kista dan berbagai masalah lain yang ternyata ditemukan ketika kegagalan terjadi. Inilah yang kadang-kadang masih sulit mereka terima dengan mudah. Tapi sekali lagi, saya melihat betapa hebatnya perempuan-perempuan ini karena masih mau mengulang lagi program ini.


Satu kalimat dari bibir mereka. "Toh buat apa uang, kalau gak bisa menikmatinya dengan anak?"


Saya melontarkan satu pertanyaan pada mereka. Tentang kemungkinan untuk mengangkat anak. Ternyata oh ternyata, mereka pun sudah memikirkan hal itu. Tapi berbeda dengan perkiraan saya, banyak alasan yang membuat mereka tak bisa melakukannya. Meski di antara mereka, sudah ada juga yang sudah mengadopsi. Alasan birokrasi berbelit-berbelit, perbedaan, sampai faktor ketidaksetujuan dari keluarga, kemungkinan ribut di masa depan dan masih banyak alasan lain.


Tapi akhirnya perjuangan mereka tetap harus diacungi jempol. Untuk kesabaran menjalani program ini selama berbulan-bulan, mengulangi kembali ketika gagal, melewati semua cobaan namun tetap membina kekuatan cinta. Ada yang menunggu hingga lima belas tahun, melewatkan tiga kali kegagalan baru berhasil pada percobaan ke empat kalinya. Benar-benar perjuangan luar biasa.


Ini membuktikan sekali lagi, setiap orang berjuang dengan hidup mereka dengan cara berbeda namun sebenarnya sama saja. Para pasangan itu berjuang memperoleh kesempatan menjadi orangtua, mencoba menerima keadaan dan tetap bersabar. Bagi kita, yang sudah diberi kesempatan itu, berjuang untuk bisa mendidik anak-anak dengan baik dan tentu saja tetap dengan kata sabar.


Semoga mereka, orang-orang yang telah teruji kesabarannya ini bisa memperoleh kesempatan seperti saya. Menjadi seorang ibu, dikaruniai tiga dari empat kesempatan, meski meleset dari keinginan mendapatkan sepuluh senyuman. Jika mereka hanya perlu satu untuk melengkapi kebahagiaan, maka itu berarti saya harus sangat bersyukur karena punya tiga pelengkap yang mewarnai hidup saya. Bagaimana dengan anda?


 


*****

Tidak ada komentar: