24 Oktober 2012

Mimpi Kami Berhaji

 


google


Dari pertama kali aku mengenalnya, sampai kemudian menikah dan menjalani kehidupan berkeluarga bersamanya, ia selalu mengatakan satu mimpi yang ingin sekali dilakukannya dari dulu yaitu Naik Haji. Berulang kali aku bertanya, mimpi itu tak pernah berubah. Bukan memiliki rumah, juga bukan memiliki banyak harta. Hanya satu, naik haji bersamaku.


Tadinya aku tak terpikir sama sekali, dan hanya menertawakan keinginannya yang konyol. Jangankan berhaji, hutang kuliah adik-adik kami saja belum terlunasi hingga pernikahan kami berjalan lima tahun. Boro-boro menabung untuk haji, rumah saja kami masih mengontrak. Mending kalau kontrakan yang besar, rumah yang kami tinggali hanya dua kamar dengan dapur supermini serta satu ruangan yang menjadi ruang tamu, ruang keluarga sekaligus ruang makan kami sekeluarga.


"Mbok ya kalo mimpi itu gak usah tinggi-tinggi toh, Mas! Sakit loh rasanya kalau bangun dari mimpi itu," candaku saat ia sibuk menghitung kemungkinan untuk menabung kenaikan gajinya yang tak lebih dari 100rb untuk setoran haji.


Dia hanya tersenyum, tanpa peduli candaanku dan terus mengkalkulasi. Suara helaan nafas beratnya setelah itu membuatku tersenyum meringis, iba melihat sorot matanya yang penuh rasa kecewa.


"Sudahlah, Masku sayang. Haji kan kewajiban bagi yang mampu. Buat makan aja kita masih sering ngutang, gimana mau nyetor?" sergahku sembari melipat pakaian yang berserakan di hadapan kami.


"Yang namanya naik haji itu kan hubungannya langsung ke Allah, De. Segalanya hanya tergantung pada panggilan Illahi. Mana kita tahu kapan Allah berkata Kun Fayakun. Everything could be happen in one night," balasnya. Tangannya juga mulai sibuk membantuku melipat pakaian.


Aku hanya menggeleng sambil tersenyum-senyum. "Tapi kan harus usaha kan, Mas?"


"He eh, itu sebabnya tiap malem saya nelepon sama Allah. Ade juga bantu dong! Supaya telepon-telepon kita didengerin," jawabnya.


'Telepon' yang dimaksud dirinya adalah sholat malam yang ia kerjakan hampir tiap hari hingga subuh menjelang. Terkadang seringkali tanpa sengaja aku melihat matanya yang basah. Dan perlahan-lahan hatiku pun mulai tergerak. Cinta suamiku terhadap Allah menulari hatiku juga. Rasa haru melihat suamiku yang begitu tegar dan tabah menjalani kehidupan yang sulit, namun bisa menangis tersedu di hadapan Allah karena kerinduan yang teramat sangat perlahan-lahan membuat aku pun jatuh cinta pada Dzat yang sama. Keinginan berhaji agar bisa mewujudkan keinginan suamiku itu pelan-pelan berubah menjadi mimpi untuk diriku sendiri.


Cinta itu, membuatku mulai ikut-ikutan mendirikan sholat malam. "Biar cepet dikabulkan!" kataku beralasan dengan wajah merona malu ketika menggelar sajadah di belakang suamiku yang menatap dengan heran.


Bertahun-tahun, pelan-pelan kehidupan rumah tangga kami mulai membaik. Akhirnya kami bisa mulai menyetor untuk naik haji, sekaligus untuk dua nama. Airmata kami tak berhenti berderai saat pulang memakai motor usai menyetor untuk pertama kalinya. Dalam hati berbisik berulang kali "Labbaik Allahuma Labbaik..."


Benar katanya dulu, kalau Allah sudah berkata Kun Fayakun, everything could be happen in one night. Sejak tiga tahun terakhir, kantor suamiku memberlakukan sistem bonus berlipat hingga 10x dari gaji pokok. Tabungan kami meledak seketika, dan kami bisa melunasi setoran haji hanya setelah dua tahun itupun setelah membeli rumah dan menyiapkan satu tabungan khusus untuk anak-anak. Kemudahan-kemudahan seakan sudah disiapkan Allah Yang Maha Kuasa, kami tak perlu menunggu karena salah satu sahabat berbaik hati untuk mengikutsertakan kami naik haji menggunakan ONH Plus dengan tambahan dana yang masih bisa kami tutupi.


Tak henti rasanya hati ini mengucap syukur pada Illahi. Panggilan itu seperti nyanyian yang hampir setiap hari kami dengar. Sebentar lagi, tahun ini juga, kami akan pergi bersama. Menunaikan kewajiban kami, menjawab panggilan terindah dalam hidup kami.


Lalu... telepon tengah malam usai kami sholat berbunyi nyaring mengagetkan. Tak seperti biasanya, Ayah menghubungi dengan suara panik. Ibu jatuh pingsan.


"Gimana Mas?" tanyaku tak sabar, menanti keputusan suamiku yang menatap bingung buku tabungan di tangannya. "Cukup gak?"


"Kalau operasi sih cukup, tapi kan usai operasi ibu harus menjalani check up rutin. Yaaah, terpaksa harus cari dana yang lain, De."


Kami terdiam. Berpikir keras untuk mengatasi kebingungan ini. Ibuku sakit keras, operasi harus segera dijalankan. Uang tabungan kami yang ada hanya cukup untuk menutupi biaya operasi dan sekarang kami mencari celah dana untuk pasca operasi. Memakai tabungan anak, suamiku dan aku sama-sama menggeleng. Tidak, tidak... itu adalah option terakhir. Dan entah mengapa, tatapan kami sama-sama tertuju pada buku setoran haji yang sudah siap.


Tanpa bertanya, suamiku mengambilnya dan berusaha keras tersenyum padaku. "Maaf, ini terpaksa... " suaranya terputus, ia menunduk dan kulihat dua titik airmata jatuh di tangannya yang memegang buku itu. Aku juga menangis, tanpa suara.


***


"Haji itu adalah ibadah puncak untuk menyempurnakan cinta kita pada Allah. Puncak pelajaran keikhlasan. Kita belajar ikhlas dari mulai berniat melakukannya, menabung satu demi satu lembar uang, sampai meruntuhkan semua ego dan keinginan duniawi, merelakan materi, menyiapkan fisik dan mental, bahkan menyiapkan hati untuk melepaskan segala yang kita miliki di dunia. Untuk melakukan ibadah yang hanya 40 hari itu, kita harus benar-benar ikhlas lahir dan batin."


"Kalau kita pergi, tanpa bisa mengikhlaskan sedikit saja untuk orang yang selama ini telah mengurus kita penuh kasih sayang dan hati ikhlas tiada tara berarti kita belum sepenuhnya berhasil menjadi manusia yang ikhlas. Mas tak yakin Allah akan menerima haji kita. Demi Ibu, biarlah kita mengalahkan kepentingan kita. Juga jangan ceritakan padanya darimana uang itu. Biarlah ini rahasia kita dan Allah saja. Allah tahu yang terbaik untuk kita. Mungkin inilah cara kita beribadah padaNya, sayang."


Aku masih menangis. Menangis haru membayangkan satu hal. Karena mimpi itu, aku dan suamiku berkeras menabung, menahan diri dari segala hal untuk memakai uang berlebihan. Kalau kami tak menabung, aku tak bisa membayangkan darimana kami bisa memperoleh dana 'dadakan' untuk ibu.


"Sudah dong, jangan nangis terus. Saya jadi sedih juga niih," ulang suamiku lagi. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya sedikit tersenyum. Aku hanya mengangguk.


Sulit sekali suamiku, sulit sekali melepas mimpi ini sekali lagi justru ketika hampir terbangun dengan tubuh hampir terbungkus ihram. Ah, dulu aku pernah berkata bangun dari mimpi itu menyakitkan, dan aku sendiri mengalaminya. Biarkan aku menangis malam ini suamiku, biarkan aku menangis di pelukanmu, tapi besok aku akan tersenyum penuh syukur karena bisa melihat Ibu, tersenyum manis padaku lagi.


 

Tidak ada komentar: