21 Juli 2012

Fitnah itu Kejam


Mendapatkan pekerjaan di perusahaan swasta besar yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia, memang membanggakan. Tapi resikonya adalah kita harus siap dipindahkan ke manapun apalagi kalau masih menjadi karyawan baru.


Saya mendapatkan pekerjaan tersebut dan ditempatkan di posisi keuangan. Pekerjaan tersebut membawa saya berkeliling di beberapa daerah di Indonesia, bahkan menemukan jodoh saya di belantara Kalimantan.


Pada prakteknya, di semua perusahaan sama saja. Ada tikus-tikus kotor yang berusaha mengambil kesempatan mengeruk keuntungan dari perusahaan. Inilah kesalahan terbesar saya saat itu, meskipun tahu aksi para tikus-tikus kotor itu, saya membiarkan semua itu terjadi karena tak ingin bermasalah dengan orang-orang kuat di belakang aksi tersebut. Saya memilih diam karena tahu kalau terbongkar, maka aksi kejahatan terselubung itu akan menghancurkan hampir keseluruhan karyawan di departemen saya. Walaupun begitu, saya memilih untuk tidak menjadi bagian dari pekerjaan kotor itu dan tetap istiqomah dengan apa yang saya tuju, membina keluarga sakinah ma waddah warohmah bersama istri tercinta. Saya bahkan tak pernah menceritakan apapun pada istri, orang yang paling dekat pada saya saat itu.


Ternyata kebisuan saya itu menjadi bumerang. Dalam satu bulan, kapal kehidupan saya bagai dihempas di lautan terdalam dan karam. Saya mengalami percobaan pembunuhan dan hampir meninggal. Di tengah kemalangan itu, kami dihantam pula sebuah fitnah keji. Bahwa mantan pacar istri sayalah yang merencanakan semua itu. Padahal saya tahu betul, dua hari bahkan beberapa menit sebelum kejadian itu terjadi, sudah ada beberapa hal yang membuat saya tahu siapa sebenarnya di balik percobaan pembunuhan itu. Sayangnya, saya tak sempat mengumpulkan bukti-bukti dan ancaman itu makin jelas ketika saya melihat justru orang-orang itu berusaha keras mengaburkan fakta-fakta selama saya berada di rumah sakit.


Fitnah itu membunuh kami berdua. Karier istri saya hancur dalam sehari, saya dipindahkan kembali ke kantor pusat. Belum lagi akibatnya, karena dugaan itu teman-teman istri saya yang rata-rata laki-laki semuanya diinterogasi oleh pihak kepolisian hingga membuat dia dijauhi teman-temannya. Padahal sebelum menikah, istri saya belum pernah berpacaran dan awalnya kami pun disatukan oleh persahabatan. Itu pula yang akhirnya membuat saya meminta pihak kepolisian menghentikan penyelidikan, karena saya merasa takkan ada gunanya melanjutkan tanpa bukti-bukti dan saya kuatir akhirnya malah membuat keluarga semakin terpuruk dengan fitnah-fitnah yang lebih kejam. Apalagi setelah kejadian yang menimpa saya, karyawan lain juga banyak yang mengalami hal-hal yang hampir mirip dan akhirnya memilih hengkang dari cabang perusahaan tersebut.


Secara tak langsung, fitnah itu juga membunuh karakter saya, mengubah kepribadian saya. Saya sudah merasakan kematian itu sekali, dan saya tak mau suatu hari nanti saat ajal benar-benar menjemput, saya justru berada dalam lingkaran setan. Saya tak mau menyembunyikan fakta penting sendirian, hingga membuat para tikus itu semakin merajalela.


Bertahun-tahun kemudian, saya mulai menyaksikan kejatuhan mereka. Orang-orang yang saya tahu terlibat di balik kejadian yang menimpa saya. Ada yang dipenjara, ada yang dipecat dan bahkan akhirnya duduk di kursi kantor tanpa memiliki jabatan atau fungsi apapun. Tapi entah mengapa tetap saja rasa dendam ini tak bisa hilang dari hati saya. Seseorang menasehati saya bahwa memaafkan orang-orang yang menyakiti kita memang sangat sulit, namun setelah itu insya Allah hati kita akan jauh lebih tenang dan lebih bahagia. Saya tersentuh dengan kata-kata itu, dan berusaha untuk memaafkan orang-orang yang selama ini telah menyakiti saya walaupun mereka tak pernah sekalipun memintanya. Kehadiran anak-anak dan istri serta teman-teman baru akhirnya bisa mengobati rasa sakit itu.


Hikmahnya saya mulai bisa merasakan ketenangan yang selama ini berusaha saya dapatkan. Istri saya juga mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik. Mungkin ini bisa disamakan seperti hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah, karena kami juga melakukannya. Pindah ke kota lain agar bisa menjalani hidup yang baru. Kami memang memulai segalanya dari awal, tapi pelan-pelan kami memulainya dengan meluruskan niat dan menegakkan kebenaran.


Sekarang, setelah bertahun-tahun menghindari departemen yang sama, saya kembali dihadapkan pada posisi yang hampir sama yaitu menyelidiki kebobrokan keuangan. Kali ini dengan niat Lillahi Taala, saya tak lagi merasa takut. Lebih baik mati dengan membela kebenaran, daripada mati konyol karena diam melihat kesalahan. Apalagi saya tahu bahwa iman yang paling lemah adalah saat kita mengetahui sebuah kesalahan tapi hanya menegurnya di dalam hati.


Istri saya hanya tersenyum miris ketika mendengar saya membuat seorang ibu hamil menangis. Saya juga sebenarnya kasihan, tapi ini demi menjaga kelurusan niat saya. Akan lebih baik saya menjaga agar ibu tersebut memelihara dirinya dari uang atau makanan yang haram agar anaknya lahir dengan darah yang benar-benar suci. Ketika saya selesai mengatakannya, istri saya berkata. Ternyata memang benar kenapa fitnah itu disebut lebih kejam dari membunuh ya, sayang. Karena suamiku yang lama sudah mati bersama ketakutan dan kekuatirannya, suamiku yang sekarang adalah suami yang berani menegakkan kebenaran. Entah aku harus berterima kasih atau tidak, tapi yang jelas aku merasakan kebenaran Allah sekali lagi.


Ya, fitnah itu memang lebih kejam dari pembunuhan.


 


 



Ingin berbagi pengalaman hidup yang bisa menginspirasi orang lain? Kirim email ke kisah.ramadhan@yahoo.co.id.


Kisah-kisah yang dimuat akan mendapatkan souvenir cantik dari www.bundaiin.blogdetik.com.

Tidak ada komentar: