Emak pengen banget sholat bareng bersama anak-anak dan Ayah. Selama ini sejak Ade lahir, Emak selalu sholat bergantian dengan Ayah atau Kakak dan Abangnya karena mereka tak punya pembantu untuk menjaga Ade.
Tentu saja Ayah senang mendengar niat Emak. Ayah juga kangen mengimami Emak, mengaji bersamanya dan lalu memberi tausyiah buat anak-anak beserta Emak. Ayah langsung mengangguk setuju dan Ayah sangat bersedia membantu Emak.
Pertama kali mengajaknya sholat berjamaah, Ade berteriak menangis karena dicuekin Emak, Ayah, kakak dan abangnya. Saat dibawa ke mesjid waktu Idul Fitri, teriakan Ade justru makin kencang karena banyak anak kecil yang cengengnya sama dengan Ade. Aduuh, Emak malu sekali saat seorang ibu meneriakinya. Niat Emak untuk mengenalkan ibadah justru dijatuhkan oleh Ibu yang berteriak seperti di pasar. Astaghfirullah, bukankah Islam mengajarkan untuk berlaku lembut dan melunakkan suara karena suara paling buruk adalah suara keledai saat memberi nasehat.
Emak mengaku kalau dia salah tak menyiapkan Ade dulu. Tapi Emak tak menyerah. Emak yakin, Allah pasti bantu Emak. Dan Emak terus berusaha.
Dari menyediakan tempat tidur di sisi sajadah Emak, Ade tetap menarik-narik mukena Emak sampai nyaris memperlihatkan rambut Emak. Emak terus mencoba dengan menambahnya dengan boneka-boneka kesayangan Ade beserta segelas air minum yang selalu diminta Ade kalau Emak lagi sholat, tapi jadinya Ade malah “memandikan” para boneka dengan air itu dan malah membuat Emak membatalkan sholat karena kuatir Ade jatuh terkena air yang menciprat lantai.
Ayah juga ikut membantu Emak. Ayah bahkan memindahkan sekotak mainan ke ruang sholat dan meletakkannya di belakang mereka, agar saat sholat Ade asyik bermain. Cara ini ternyata berhasil. Tapi tak lama. Karena Ade memainkan semua mainannya di atas sajadah Kakak, Abang dan Emak bahkan Ayah pun kebagian. Ade memang asyik bermain sendiri dengan menyediakan “gelas minuman” dan “makanan” untuk mereka yang sedang sholat. Hasilnya, mereka terpaksa bersujud dengan kepala tersundul gelas dan piring mainan.
Lebih besar sedikit, Ade makin bertingkah. Ia tak lagi menangis kalau sedang sholat berjamaah, karena sudah tahu bermain sendiri. Yang jadi masalah dia gemar sekali berjoget, bergaya lucu dan makin bertambah saat melihat wajah Emak atau Kakak dan Abang berkerut menahan tawa. Ayah tahan karena begitu khusyuk memimpin sholat. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh juga. Suatu hari, Ayah tak sanggup menahan tawa ketika Ade bergoyang ala penyanyi dangdut lengkap dengan nyanyiannya tepat di hadapannya. Merekapun terpingkal-pingkal dan sholat terpaksa diulangi.
“Aduuh, Emak pusing deh yah. Baru kali ini punya anak yang seperti Ade. Manja tapi cerdas, gak bisa diajarin. Begitu tahu, eh pasti dipraktekin saat sholat, beda banget dengan kedua kakaknya,” keluh Emak suatu hari setelah pusing mencari cara apalagi agar sholatnya tak lagi terganggu.
“Cerdas? Hmm....” Ayah tampak berpikir sejenak. Terus ada senyum mengembang makin lama makin lebar di bibirnya. Belum lagi mata Ayah yang seperti lampu bercahaya terang. Pasti dia dapat ide.
“Kenapa, Yah?” tanya Emak penasaran.
Ayah menatap Emak. “Kita ajarin saja Ade sholat, Mak. Gimana?”
Kali ini Emak yang menatap Ayah. “Ayah yakin?”
Ayah mengangguk mantap, membuat Emak pun akhirnya ikut mengangguk. Siapa takut? Ngajarin sholat aja kok apa susahnya sih? Apalagi dulu Emak juga ingat betapa mudahnya mengajarkan sholat pada Kakak dan Abang. Dan sekali lagi Emak yakin, Allah pasti meringankan kesulitan untuk semua niat baik.
Emak mengeluarkan mukena warisan Kakak yang sudah kekecilan untuk dipakai Ade. Ayah memang benar, Ade mau mengikuti mereka berdiri sholat walaupun tak sampai selesai. Tapi perkiraan mereka salah, Ade tak mau pakai mukena. Ia meminta “topi” seperti Abang dan berdiri sejajar Abang.
“Gimana dong yah?”
“Ya sudah gapapa. Yang penting dia mau ikut saja sudah syukur,” jawab Ayah.
Mulailah mereka melakukan sholat berjamaah bersama. Satu dua kali mulus berjalan karena Ade mau ikut sholat sampai selesai. Tapi sesekali Ade malah asyik bermain sendiri. Terkadang malah kembali menggoda Kakak dan Abangnya. Tentu saja, mereka berdua tak bisa menahan tawa, dan harus rela disuruh Ayah mengulang sholatnya.
Berakhirkah perjuangan Emak? Belum dan takkan pernah.
Ade membuat ulah yang kali ini benar-benar tak bisa menghentikan tawa Emak dan Ayah. Setelah berkali-kali mendengar Abang berqomat, Ade rupanya menghafal nadanya dan iapun mengikutinya. Ia berqomat mengikuti Abang meskipun dengan kata-kata yang tak jelas namun iramanya sama. Tak cuma itu, saat Ayah membaca Al Fatihah dengan keras sebagai imam sholat, Ade juga ikut membaca nyaring lagi-lagi dengan suara lantang. Sekali lagi, sholatpun terpaksa diulangi lagi karena para peserta tertawa geli.
Setahun berjalan lewat tanpa terasa. Emak harus menghadapi beraneka tingkah Ade saat sholat berjamaah. Kakak dan Abang makin terlatih mengontrol emosi mereka saat sholat, sehingga walaupun Ade menari-nari di depan mereka, mengajak mengobrol dan menggoda mereka sudah terbiasa. Jarang sekali mereka tertawa lagi saat tengah sholat.
Emak dan Ayah juga tak luput dikerjain Ade. Saat Emak sujud, Ade pernah duduk di kepalanya membuat Emak terpaksa tetap bersujud sampai Ade berdiri. Ayah yang sedang melakukan tahiyatul awal juga pernah diduduki Ade, juga terpaksa menunggu sampai Ade menyingkir.
Belum lagi daya khayal Ade yang luar biasa, saat melihat mereka semua asyik berdoa dengan menengadahkan tangan, Ade sibuk mengisi tangan-tangan Ayah, Emak, Kakak dan Abang dengan uang-uang mainan. Emakpun teringat, Ade mungkin melihat Emak waktu memberi sedekah pada pengemis di pasar. Ia pasti meniru cara Emak itu saat melihat mereka berdoa dan duduk bersila.
Sampai suatu hari menjelang ulang tahun ketiganya yang tinggal beberapa bulan lagi, akhirnya Ade mau mengenakan mukenanya setelah sehari sebelumnya mukena Ade dipinjam oleh sepupunya. Emak begitu bersyukur sampai menangis terharu. Mata Kakak juga berkaca-kaca karena tahu benar betapa lamanya mukena itu telah tersimpan dalam keranjang tempat alat sholat, terkadang meski tak pernah dipakai Emak tetap mencucinya. Emak tak pernah menyimpannya di lemari, karena Emak yakin suatu hari Ade pasti mau mengenakannya. Dan Emak memang benar.
Perkembangan baru selalu diikuti masalah baru. Mukena baru itu membuat Ade mau sholat tapi sekali lagi tapi, Ade malah bermain-main dengan mukenanya. Ia bergaya bak seorang model berkeliling sambil memamerkan mukenanya. Yang anehnya lagi, Ade menutup sebagian wajahnya dengan mukena lebarnya, lalu memainkan seakan-akan dia robot. Sekali lagi Ade berhasil membuat Emak melongok.
Sampai suatu ketika saat seorang sanak saudara datang. Seperti biasa, Ayah mengajak sholat bersama di ruangan mushola rumah mereka. Anak-anak ikut tanpa terkecuali. Kebiasaan Ade yang “berkeliaran” saat sholat ternyata aneh bagi saudara Ayah. Namun untunglah ia tak sampai tertawa.
Setelah selesai. Saudara Ayah bertanya pada Emak. “Kak, gimana caranya ngajarin anak-anak sholat? Kok mereka tahan sih digoda Adenya begitu? Saya aja hampir tertawa.”
Emak tersenyum. Bingung harus menjawab apa. Lalu Ayah menjawab sambil bercanda. “Yah tiap hari dijejali OVJ ala Ade, akhirnya ya tahan jugalah mereka.”
Canda Ayah merasuki Emak. Emak sadar ada hal lain yang ia dapatkan saat berupaya keras mengajari Ade sholat. Tanpa sadar, Emak melatih kekhusyukan Kakak dan Abang. Tanpa sadar, Emak melatih kebersamaan dengan “memaksakan” kegiatan bersama untuk keluarga. Tanpa sadar, Emak belajar banyak dari mengajari Ade.
Emak belajar menganalisa apa yang tak boleh dan apa yang boleh, Emak belajar teknik mengajari sholat, langkah demi langkah demi Ade. Dan yang paling penting Emak belajar menulis di atas batu seperti pepatah lama, dengan kesabaran dan keikhlasan.
Sekarang Emak juga baru sadar, kini Ade bahkan membawa sholat dalam permainan bonekanya. Ade terbiasa mengucapkan Ya Allah, bismillah, masya Allah dengan fasih. Ade membaca doa Al Fatihah dengan baik meskipun hanya sama di ujung ayat-ayatnya. Emak baru sadar, Ade selalu sholat walaupun satu rakaat dengan gerakan yang lancar bahkan sering sekali Ade yang menjadi pengingat waktu sholat. Emak baru sadar, tak semua anak seumur Ade bisa selancar itu melakukan gerakan sholat.
Semangat Emak bertambah setelah ia sadar kalau kesabarannya telah berbuah.
“Emaaak!! Ade nih, mak!” Abang mengadu saat naik memberitahu Emak. Saat itu Emak tak sedang sholat karena datang bulan.
“Ada apa, sayang?”
“Ade tuh, Mak. Masak kita lagi sholat tadi, hidung Abang dicolok-colok Ade,” kata Abang mengadu.
Emak tersenyum, sementara yang sedang diadukan santai-santai saja dalam gendongan sang Ayah. Lalu Emak menatap Abang.
“Bang, tahu gak kalau mengajari sholat itu adalah amal jariyah?”
Abang mengangguk. “Iya, bu guru pernah bilang.”
“Nah itu dia, sayang. Ade lagi belajar sholat sama Abang. Wajar kalo dia pengen tahu, apakah Abang tahan kalau digoda atau tidak. Abang gak boleh marah, abang kasih tahu aja Ade baik-baik.”
“Tapi sakit kalau digituin, Mak.”
Emak menatap Abang. “Tadi sebelum sholat setelah berwudhu, Abang main sama Ade ya?”
Abang mengangguk.
“Nah itu dia. Begitu berwudhu, seharusnya abang duduk diam dan jangan mengajak Ade main lagi. Kalau tidak, Ade pasti minta main terus-terusan kecuali dia bosan. Lain kali jangan diulangi lagi, supaya Ade mengerti kalau setelah berwudhu adalah waktunya untuk sholat dan menenangkan diri tanpa bermain. Mengerti nak?”
Abang diam, lalu mengangguk. Emak pun tersenyum. Ia tetap memanggil Ade dan memintanya untuk minta maaf. Walaupun menuruti keinginan Emaknya, tapi Ade tak terlihat merasa bersalah atau kuatir. Dengan cueknya, ia mencium tangan Abang dan kemudian kembali berlari masuk mencari mainan. Emak menggeleng-geleng.
I will never stop to teaching my children pray for Allah. Mengajari beribadah pada anak tak dilakukan satu hari, dua hari, sebulan atau setahun, tapi seumur hidup setiap orangtua.
*****
Ide : dari Afifa Firadhatul Jannah, Si lucu yang manja.
Selamat ulang tahun, Ade Fira...
Semoga panjang umur, sehat selalu, makin pintar dan semakin suka sholat ya sayang.
I love you, my lovely baby :)