Duh senangnya mengetahui ada kakak-kakak yang care sama adik-adik kelasnya di SD, SMP atau SMU/K. Pembahasan panjang mereka tentang cerita ringan soal kliping sungguh membuat hati saya lega. Perhatian yang luar biasa untuk para calon pemimpin negeri ini. Bahwa kegundahan para Emak dan Bapak pun singgah di hati mereka.
Mechta menuangkannya dalam bentuk kasih sayang yang salah. Dan Nique yang menjelaskan dari sudut lain.
Pada saat Sea Games, saya ikut duduk menggunting bersama putri saya. Sementara si Ayah bertugas mencari koran-koran bekas di kantor. Lah kok di kantor? Yah, karena kami memang tidak langganan koran. Saya sudah merasa cukup dengan “langganan” buka berita online di rumah. Go Green ala Emak-lah.
Kami duduk bersama, Ayah mengajari kakak (panggilan putri saya) cara mencari berita di koran. Sementara saya duduk menggunting. Terpaksa kami kerjakan karena putri saya sekolah dobel, pagi mengaji dan siang sekolah, waktu luangnya sedikit sekali sementara satu-satunya yang membuat kami membantunya adalah kesehatannya. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Kakak sendirian, dilaksanakan dengan gotong royong seluruh keluarga. Saya terpaksa terus terang, dulu juga saya digituin. Papa saya yang membuatkan hampir semua pekerjaan tangan tugas dari guru.
Lalu apa yang dipelajari kalau semua dibantu? Paling tidak putri saya belajar arti keluarga, dia tahu kalau kami selalu ada untuknya. Kami mengerjakan segalanya bersama, dan semoga nanti perhatian yang sama ia tunjukkan untuk putra-putrinya kelak. Ketika menggunting, kami minta dia meneliti beberapa tulisan menarik seperti siapa yang mendapat medali Emasnya sepakbola, siapa itu Larasati, cerita-cerita tentang para atlit bermodal dengkul namun berhasil memenangkan medali emas dan apa yang mereka lakukan dengan hadiah uang yang diberikan. Dia tak cuma belajar buat kliping, buat kami dia lebih baik belajar arti tersirat di balik tugas itu.
Dan ketika membahas sistem, saya sekali lagi tersenyum karena pasti jika disampaikan kepada anak-anak saya mereka akan bernyanyi nyaring “Itulaaah Indonesiaaa” Karena kami yang sehari-hari bertemu “sistem” itu tak bisa lagi berkeluh kesah. Kami sudah belajar menghadapi kesalahan sistem itu dengan berteman dengannya.
Caranya? Tak ada pelajaran TIK yang benar-benar praktek karena kebanyakan sekolah tak ada media yang mencukupi. Kamipun menyediakan komputer untuk kakak, membiarkan dia online selama beberapa jam tiap minggu agar keingintahuannya terbangun. Paling tidak untuk anak SD, dia sudah mampu menulis dan menge-print. Dulu ketika belum punya, kami menemaninya bermain di warnet. Karena sebagai Emak, kita juga harus belajar teknologi yang bergerak dinamis bukan?
Masalah nilai, terus terang saya tak pernah peduli sepanjang dia naik kelas and feeling happy. Buat apa? saya juga pernah kecewa, kenapa anak yang saya tahu lebih bodoh darinya bisa jadi juara kelas? lalu dari bertanya-tanya itulah saya tahu kalau ada “penilaian” kemampuan dari guru. Nah lo, kalau gurunya gak suka anak saya gimana? Masak saya maksa?
Saya selalu mencoba menikmati tantangan. Ya tantangan menghadapi sistem carut marut adopsi dari luar ini. Ketika ada tugas berjilid-jilid, PR berlembar-lembar atau saat olahraga, anak saya diminta melakukan sesuatu yang berbahaya, saya mengajari satu hal agar dia bicara pada saya terlebih dahulu dan jangan takut menolaknya. Kalau menurut saya itu tidak benar, maka tugas sayalah berhadapan dengan gurunya. Bahkan ketika PRnya tak sanggup dia selesaikan karena capek, saya pun membiarkan dengan memberitahu dia konsekuensinya. Saya suruh dia jelaskan sendiri pada gurunya, kalau gurunya menerima. Jika tidak, itu menjadi tugas saya menjelaskan dan mencari solusi bersama guru mereka. Itu kemandirian di mata saya. Pelajaran kehidupan sesungguhnya, mengajari anak bertahan hidup dengan cara yang benar sedini mungkin.
Satu yang saya pegang, nomor handphone guru-guru putra-putri saya. Meskipun marah akan “penyiksaan” ala guru itu, saya harus tetap berkepala dingin. Menghadapi karakter guru yang berbeda juga tantangan loh. Iya kalau mereka mau dikritik, lah kalau nggak? dan selama tujuh tahun terakhir saya sudah kenyang dapat ujian dari guru. Mulai dari anak saya yang katanya suka nyontek (tapi nyatanya bisa juara kelas setelah diulang), siksaan ala bully dari teman sekelasnya yang kebetulan putranya kepala sekolah, pelajaran olahraga yang anggota polisi saja sudah tak melakukannya (Skotjam) sampai soal mereka yang cenderung pendiam pun dipermasalahkan.
Sekali lagi, saya tak mau menyalahkan siapa-siapa. Sistem, guru atau anak? Tak ada yang salah, tapi bagaimana menghadapinya. Tugas orangtualah mengajarkan anak bagaimana agar anak mampu melewati masa-masa seperti itu. Dan bagaimana kita sebagai orangtua belajar mengerti dari sudut pandang anak maupun dari pihak guru. Kebanyakan justru orangtua menyerahkan sepenuhnya pada sekolah, lalu mencak-mencak ketika melihat ketidaksesuaian dengan bayangan mereka soal sistem yang ideal. Padahal, sistem itu berjalan karena tiga faktor, orangtua, anak dan guru.
Ada banyak hal yang akan dilewati dalam perkembangan anak. Pendidikan itu hanyalah beberapa persen dari keseluruhan pembentukan pribadi anak. Berteman dengan sistem berarti kita belajar menghadapinya, hasil negatif atau positif kitalah yang mengusahakannya.
****