Cerita sebelumnya : Ajari Aku Cinta (3)
Kini aku menapaki hari yang lebih menyenangkan. Tiga keluarga baruku menghiasi hari-hariku tanpa Faizal. Setahun berlalu dengan cepat tanpa kusadari. Kesepian tak lagi kurasakan karena selalu ada yang mengisinya. Bunda dengan kebijakannya, Mama yang selalu menghujaniku dengan kasih sayang yang dulu tak pernah ia berikan, Ayah yang selalu melucu meski terkadang garing, kak Amira, Najwa, Restu dan Aisyah selalu membuatku semakin merasa berarti hari demi hari. Aku juga sering bertandang ke rumah Bunda kandungku, menjumpai sebagian saudaraku, menyempatkan diri mengenal beberapa keponakanku dan entah beberapa kali aku mengajak mereka bermain di mal ataupun taman bermain. Hidupku terasa lengkap setelah aku membuka hatiku pelan-pelan.
Suatu hari, ketika aku sedang bertandang seperti biasa ke rumah Bunda Faizal dan mengobrol asyik dengan Ayahnya. Dua telapak tangan menutupi pandanganku tiba-tiba. Hatiku bergetar hebat saat mengenali wangi parfum itu. Benarkah ini Faizal? Aku diam dan membeku. Suara itu, suara yang kurindukan dalam malam-malamku setahun ini, berbisik memintaku menebak. Aku tak berani, sungguh tak berani berharap ini adalah kenyataan. Aku terlalu takut bersuara dan membangunkanku dari mimpi.
Aku menoleh ke belakang. Dia di sana, berdiri di belakangku dengan senyum yang tak berubah. Ada bayang membiru di dagunya yang biasanya bersih, mata teduhnya yang tampak selalu tertawa, rambut hitamnya yang kini agak cepak, senyum tipis mengulas tapi dia tetap Faizal. Faizal, yang memberiku cinta, yang mencairkan hati bekuku sekarang berdiri di sana. Aku tetap diam, menggigit bibir bawahku agar airmataku tak mengalir tapi sungguh sulit sekali. Dan pecahlah tangisku ketika ia memanggilku seperti biasa, "Halo, Angelku sayang!"
Faizal menyongsong, memelukku dengan erat tanpa mempedulikan Ayah dan Bunda serta saudari-saudarinya. Ia tahu aku terlalu emosional saat itu, aku tak bisa mengendalikan apapun saat itu. Aku merindukannya, menahannya dalam-dalam dan sekarang ia hadir di sini, seperti biasa mencurahkan kasih sayangnya. Pertama kali dalam persahabatan kami, aku berbisik di sela isak tangisku, "aku kangen kamu, Zal."
Pelukan Faizal semakin erat. Ada getar saat ia mengucapkan, terima kasih mau menungguku begitu lama. "Terima kasih Angel!" Dan kami mengakhirinya dengan saling menatap penuh kerinduan. Faizal, lelaki bermata teduh itu benar-benar datang. Ia datang setelah membiarkanku memilih. Ia tak pernah menghubungiku karena tak ingin mengikatku. Ia mencintaiku dan selalu menyimpan di hatinya sendiri. Ia memanggilku Angel, karena menganggap suatu hari aku akan belajar jadi malaikat. Paling tidak untuk diriku sendiri.
Setelah beberapa hari ia kembali, penuh semangat aku mengajaknya menemui Mama dan adik-adikku. Tanpa ragu, ia langsung menyalami mereka. Setengah menggoda, ia melamarku pada Mama. Entah apa yang mereka bicarakan waktu aku ke belakang menyajikan minuman. Di belakang aku digoda kedua adikku, sementara pikiranku berulang kali memikirkan respon Mama. Tapi ketika aku kembali, senyum di bibir Mama dan Faizal cukup membuatku tenang kembali. Dan restu Mama yang begitu tulus saat berbisik di telingaku ketika kami berpamitan melengkapi pertemuan itu. Aku menyayangimu Faizal, dan lebih mencintaimu karena kau menghormati serta menghargai Mama.
Lalu aku pun memaksanya bertemu Ayah dan Bunda kandungku. Faizal tak mengatakan apapun saat bersama mereka, malah dengan luwes seperti biasanya ia masuk dengan mudah dalam keluargaku. Sama seperti bersama Mama, iapun menyampaikan hal yang tidak kuketahui. Aku hanya pergi sebentar ke belakang mencari adik-adikku untuk kukenalkan padanya, tapi sesaat kemudian aku melihat pandangan lain di mata Ayah dan Bunda. Pandangan penuh rasa syukur karena aku bisa bertemu Faizal, pandangan penuh cinta dan terima kasih karena aku tetap melibatkan mereka dalam hubungan emosional dengan lelaki lain.
Faizal telah menunjukkan dengan menghormati dua keluargaku tanpa sedikitpun menyinggung masa lalu. Nilainya terus bertambah tanpa aku sendiri mampu menghentikannya. Akupun meyakini kenyataan, aku jatuh cinta pada sahabat dekatku sendiri. Tapi sungguh tak mudah bagiku mengungkapkannya pada Faizal. Biarlah, biarlah rahasia itu berdiam di sudut hatiku tanpa ada siapapun yang tahu. Aku bahagia mendampinginya sebagai sahabat dan biarlah tetap seperti itu.
Lalu akhirnya muncullah pertanyaan dari Faizal. Kenapa aku begitu berubah? Sulastri alias Angel telah berubah. Dia bukan lagi Angel yang dulu, tapi kini dia adalah Sulastri yang seorang Angel. Aku tertawa dan bertanya, jika itu berarti tidak baik apakah itu artinya Faizal akan pergi lagi. Dan dia menjawab, kalau ini berarti jauh lebih baik, maukah Angel menemani Faizal pergi kali ini?
Aku terpaku, tatapan Faizal berubah serius. Aku menunduk dan menjawab, "seseorang mengajariku cara memberi cinta, dan aku justru belajar banyak setelah kehilangan cinta itu. Jika suatu hari orang itu datang padaku, aku bersedia memberi cinta yang tak sempat kuberikan padanya selama ini. Dan aku bersedia menerima cintamu, Faizal." Dan iapun menggenggam erat jemariku, mengangguk dan dalam mata teduhnya kali ini aku melihat masa depan penuh cinta yang indah.
Bawalah aku bersamamu, Zal dan kita akan bersama dalam keindahan cinta. Terima kasih telah mengajariku cinta, belajar memahami dan memberi cinta.Ajari aku cinta yang lebih banyak dan lebih besar, Zal. Ajari aku caranya dan biarkan aku membalasnya pada orang-orang yang kucintai terutama dirimu.
T A M A T
Note :
Menulis ini saat menunggu saat-saat tak pasti, enam jam lebih untuk operasi kanker yang dijalankan Mama.
Kupersembahkan di hari Ibu, sebagai tanda mata buat Mama, wanita kuat yang memberiku banyak inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar