26 Oktober 2011

Berbeda itu indah

[caption id="" align="alignleft" width="247"]Berbeda Berbeda[/caption]

Aku tertawa mendengar lelucon Arta. Anak berambut keriting itu menirukan mimik lucu orang yang baru saja memarahinya. Arta , teman lelakiku yang lucu itu selalu bisa membuat suasana tegang menjadi suasana riang.

Kami baru saja habis mencuri mangga Pak Haji. Sebenarnya mungkin kalau aku yang meminta, pasti dikasih. Tapi Arta bilang, sangat jauh kalau harus minta ijin ke rumah Pak Haji. Padahal aku hanya ingin meminta satu saja. Arta lalu menawarkan diri mengambilkannya untukku. Sayang sekali, penjaga kebun melihatnya tadi. Kasihan dia, dimarahi habis-habisan. Aku ingin menolongnya, tapi takut. Untunglah ketika akhirnya dia dilepaskan, Arta tak terlalu mengambil hati peristiwa itu. Dia malah membuat lelucon tentang kemarahan si tukang kebun.


Aku bertemu Arta, beberapa bulan lalu. Waktu itu, aku sedang duduk di tepi jembatan. Sedang berpikir betapa tidak menyenangkannya desa kecil ini. Tak ada tempat nongkrong, tak ada mall, tak ada cafe. Bahkan jauh dari daerah wisata. Mana daerah ini gersang sekali. Ciri khas daerah pertambangan. Aku ingin kembali ke Jakarta, biarlah aku minta izin sama Papa agar masuk SMA di Jakarta saja, tinggal bersama nenek atau paman. Aku tidak suka bersekolah di tempat pedalaman yang jalannya saja seperti jalanan ala arena off road.

"Hei! Kamu mau apa?"Terdengar suara yang membuatku kaget saat itu. Wajah bulat, berkulit gelap namun bermata bening itu membuatku mundur selangkah. "Kamu mau bunuh diri ya?" tanyanya lagi. Kali ini aku hanya bengong.

"kalau bunuh diri di sini, gak bakal mati. Paling juga cacat." Kata anak itu sok akrab dan duduk di tepi pagar.

"Siapa yang mau bunuh diri? Aku lagi mikir." Jawabku akhirnya. Kening anak itu berkerut.

"Mikir? Mikirin apa?" tanyanya. "Eeeh, tunggu sebentar! Kamu ini anak baru itu ya? Yang baru pindah dari Jakarta?" tebaknya.

Wuiih hebat juga. Ternyata aku terkenal juga di daerah ini. Aku tersenyum bangga dan mengangguk.

Anak itu menatapku seksama dan mengangguk-angguk, "Hebat sekali anak kota ya! Mikir aja harus di jembatan." Katanya sok akrab membuat senyumku langsung lenyap.

Itu awal pertemuan kami. Entahlah mengapa semakin mengenal Arta, aku justru semakin menyukainya. Arta membantuku mengenal banyak tempat yang menyenangkan. Dia mengenalkanku pada sungai penuh udang-udang besar, dia mengenalkanku pada arus jeram yang menyenangkan walaupun kami melaluinya hanya dengan rakit bambu. Dia juga mengajakku ke bukit dan membuatku terkagum-kagum karena pemandangannya.

Arta anak yang polos tapi cerdas. Aku mengajarinya bermain basket, tapi dengan cepat ia mengalahkanku. Aku harus menahan tawa ketika mengajarinya naik sepeda. Bagaimana mungkin anak SMA sebesar dia belum pernah mengenal sepeda. Tapi itulah Arta. Sahabat baruku yang lucu.

Suatu hari, Arta mengajakku ke rumahnya. Sebuah perkampungan suku asli desa itu. Aku ragu menerima ajakannya. Kedua orangtuaku sudah berpesan bahwa lingkungan tempat kami bermukim adalah lingkungan dengan tingkat pendidikan rendah dimana perbedaan suku masih sering menjadi masalah. Tapi Arta berkata, ada pesta di perkampungannya. Entah apa yang dirayakannya, tapi kelihatannya menarik. Akupun mengangguk setuju.

Awalnya aku ragu, apalagi begitu banyak orang berwajah gelap dan bertampang seram menatapku saat memasuki perkampungan itu. Tetapi Arta terlihat cuek dan malah merangkul leherku, memperkenalkanku pada segerombolan anak muda seusia kami. Dengan cepat, mereka menerima kehadiranku. Mereka bercerita tentang babi hutan yang mereka tangkap di hutan, akupun bertanya bagaimana caranya. Mereka bercerita dengan seru. Sesekali mereka juga berjanji akan mengajakku berburu babi hutan. Kata mereka, itu pekerjaan lelaki muda. Mereka juga bercerita tentang buaya-buaya yang sering muncul di sungai, aku langsung terkesiap. Kutanya dimana sungai itu, Arta tertawa terbahak-bahak ketika menjelaskan sungai tempat kami sering mencari udang itulah yang banyak buayanya. Wajah pucatku membuat mereka tertawa geli.

Seorang ibu bertubuh gempal membawa makanan di tampah besar. Saat itu seorang remaja perempuan bertanya apakah aku seorang muslim. Ketika aku mengangguk, mereka langsung mengatakan bahwa apa yang baru saja disajikan adalah makanan yang tidak untuk orang muslim. Ibu itu lalu menarik tanganku, menuju bagian belakang rumah. Dia mengambilkan sepiring nasi dan menggorengkan telur untukku di kompor berbahan bakar kayu. Aku tertarik melihat proses masak itu karena itulah pertama kalinya aku melihat langsung. Ibu itu berbicara dengan ramah bertanya tentang dapur ibuku. Aku pun bercerita tentang dapur Mama yang modern, mewah dan selalu bersih. Ketika ia tampak terkagum-kagum, aku berbisik, "Iya, nanti suatu hari Ibu saya ajak biar bisa ngajarin Mama saya masak seenak ini." Kata-kataku langsung membuat Ibu Arta tertawa.

Setelah makan, kami bernyanyi diiringi petikan gitar. Sesekali kulihat mereka berjoget dan mengajakku ikut bergabung bersama gadis-gadis muda yang berkulit gelap tapi manis. Aku menikmati keramahan itu dengan santai sambil sesekali beristirahat. Mereka sungguh berbeda dari yang kudengar selama ini. Tak ada lagi kesan sangar di wajah-wajah penuh tawa bahagia itu.

Aku menatap rumah-rumah yang berdiri di sekitar perkampungan itu. Tak sebagus dan tak seindah bagian lain dari desa kecil ini. Tapi baru disinilah aku mendengar suara-suara kebahagiaan. Tawa yang lepas, keramahan yang tak dibuat-buat dan hati yang benar-benar mencerminkan persahabatan. Tak ada yang bersikap canggung meskipun kulitku lebih putih, tak ada yang mengatakan perbedaan meskipun rambutku lurus dan mereka berusaha berbahasa indonesia di depanku meskipun mungkin sehari-hari mereka terbiasa menggunakan bahasa daerah.

Ketika pesta usai, aku berkata pada Arta. Dua hari lagi aku berulang tahun. Biasanya mama dan papa memberiku kebebasan mengadakan pesta ulang tahun bersama teman-temanku. Tapi karena aku menyukai teman-teman Arta, aku ingin sekali mengadakan pesta yang sama seperti itu. Arta langsung setuju dan akan menghias tempat itu menjadi meriah bersama teman-teman. Aku suka idenya walaupun aku bilang kali ini aku ingin mereka memasak sesuatu yang bisa kami nikmati bersama. Waktu aku berkata seperti itu, ibu Arta bilang "tapi daging dan ayam itu mahal, nak. Susah mencari itu di hutan."

Aku langsung memotong perkataannya. Aku bilang biar aku yang menyediakan semuanya. Biar aku yang menyediakan daging, ayam, beras atau apapun yang bisa kami makan bersama-sama. Arta langsung bertepuk tangan, ibunya memelukku hangat dan berkata, "Tahukah itu artinya, nak. Itu Pesta Besaaar!!" Hatiku terasa hangat mendengar kata-kata mereka. Amat sangat berarti.

Tapi pesta itu tak pernah terjadi. Sebuah peristiwa besar membalik keadaan kami. Semua menghilang tanpa jejak. Arta, ibunya, kakak perempuannya yang manis, teman-temannya, tetangganya bahkan perkampungan itu lenyap tak berbekas.

Malam itu terdengar suara sirine di mana-mana, terdengar pula suara tiang listrik yang dipukul berkali-kali, sayup-sayup aku juga mendengar suara teriakan, makian dan umpatan kemarahan. Aku juga melihat dari loteng kamarku ada seberkas cahaya api di kejauhan. Lampu mati sepanjang malam dan seluruh keluargaku berkumpul di ruang keluarga.

Aku bertanya pada Papa dan Mama yang berwajah tegang dan bingung. "Ada apa, Pa?"

"Perang suku lagi." Jawab Papa singkat. Aku diam membisu, bertanya-tanya maksud Papa itu apa. Mama tampak sekali ketakutan mendengar kata-kata Papa. Sepanjang malam kami tetap berada di ruang keluarga, menunggu kesunyian datang namun suara-suara penuh ketegangan di luar sana terus berlangsung hingga pagi datang.

Papa melarangku pergi ke sekolah hari itu. Dia juga tidak bekerja seperti biasa. Sesekali kulihat Papa menghubungi teman-temannya, saling bertanya tentang apa yang terjadi. Mama memberitahu keluarga kami di Jakarta tentang keadaan kami. Sementara itu, aku hanya termenung berharap masalah ini cepat diselesaikan. Aku sering mendengar terjadi perang suku dan sebagainya di daerah pedalaman seperti ini, termasuk dari Papa saat akan menerima pekerjaan ini. Tapi baru kali ini aku mengalaminya sendiri.

Baru keesokan harinya, kami mulai berani beraktivitas. Aku kembali ke sekolah dan melihat ada banyak teman-temanku yang tak masuk sekolah. Wajah murung guru-guru membuatku yakin, mungkinkah salah satu dari mereka menjadi korban. Tetapi aku berharap itu tak mempengaruhi acara pesta ulang tahunku di rumah Arta. Sore nanti aku akan menengok si tengil itu, janjiku dalam hati.

Tapi apa yang kujumpai sore itu membuatku menangis. Ya Tuhan, mana perkampungan itu? Mana orang-orang ramah itu? Mana wajah-wajah penuh tawa dan bersahabat itu? Mana temanku yang baik hati itu? Aku berlari memasuki kampung yang sudah berubah wajah itu.

Aku tak melihat lagi perkampungan yang kutinggalkan malam itu. Aku hanya melihat onggokan kayu terbakar merata di seluruh kampung itu. Tak ada satupun rumah berdiri, tak ada satupun orang di sana. Aku melihat ada ceceran darah dimana-mana. Barang-barang rumah tangga berserakan di sana sini. Aku berlari melihat rumah kecil Arta. Rumah itu dimana? Aku memandang berkeliling, mengingat-ingat letaknya. Ya Tuhan, dua hari lalu aku makan di situ, dua hari lalu aku masuk ke rumahnya, dua hari lalu masih bercengkerama dengan ibunya.

Sebuah tiang batu mengembalikan ingatanku, itu dia rumah Arta. Aku segera berlari ke sana. Tapi yang kulihat, hanya abu kayu-kayu yang terbakar. Rumah itu sudah rata dengan tanah. Aku mencari-cari sekeliling dan kakiku tertendang wajan. Kupandangi wajan itu, tak terasa air mataku mengalir membayangkan yang terjadi malam itu. Arta pasti ketakutan, Ibunya dan kakaknya pasti ketakutan.

Apa yang terjadi? Mereka ke mana? Ke mana sahabatku? Apakah dia baik-baik saja? Apakah ibu dan kakaknya selamat? Apa sebenarnya salah mereka? Pertanyaan memenuhi kepalaku.

Seorang Polisi menepuk bahuku, "Nak, cari siapa? Sebaiknya jangan ke sini dulu, masih berbahaya."

Aku segera bertanya tentang apa yang terjadi. Polisi itu menjelaskan bahwa terjadi perkelahian yang berlanjut menjadi penyerangan desa. Banyak korban yang jatuh, dari yang sekedar luka-luka dan bahkan ada yang tewas. Beberapa penduduk desa ada juga yang mengungsi ke tempat lain. Aku langsung bertanya lokasi pengungsian. Ketika Polisi itu menyebutkannya, ia tak lupa mengingatkanku agar tidak ikut campur dalam masalah ini. Apalagi suasana masih sangat panas.

Apa yang dikatakan polisi itu benar. Ketika aku mencoba masuk ke tempat pengungsian, wajah-wajah tegang menatapku penuh selidik. Aku menyebutkan nama Arta berkali-kali pada Polisi yang berjaga-jaga di tempat itu tetapi mereka tetap melarangku masuk. Baru setelah beberapa kali, seseorang yang kukenal keluar dari salah satu tenda pengungsian.

Dia adalah salah satu teman Arta yang kujumpai malam itu. Rupanya ia masih mengingatku. Ia langsung berlari mendekatiku, menatapku sebentar dan berkata pada Polisi kalau ia mengenalku.

Namun berita yang disampaikannya membuatku lemas. Arta ikut menjadi korban malam itu. Ia melindungi ibu dan kakak perempuannya, namun ia tak bisa meloloskan diri dari keroyokan massa. Ia mengalami penyiksaan luar biasa hingga tewas, dibakar dan tubuhnya terpisah-pisah.

Dadaku terasa bagai dihujam sembilu. Arta itu cuma anak remaja biasa. Tak mungkin dia melakukan kesalahan yang sampai harus membuatnya tersiksa begitu. Teman Arta menjelaskan dengan wajah tegang, bahwa malam itu semuanya panik dan hanya ingin menyelamatkan diri tetapi massa datang terlalu banyak dan langsung menyerang penduduk desa.

Aku terdiam dan bertanya tentang keluarga Arta. Anak itu tampak termenung sesaat sebelum berkata bahwa luka-luka yang dialami ibu dan kakaknya juga sangat parah, membuat mereka meninggal dunia keesokan harinya. Aku langsung menggeleng tak percaya mendengar penjelasannya.

Anak itu membawaku ke makam Arta, ibu dan kakaknya. Makam sederhana yang dihiasi batu dan kayu biasa. Airmataku jatuh mengenang kebaikan hati mereka, keramahan dan ketulusan mereka. Mereka orang-orang yang mengajariku bahwa berbeda itu bisa jadi indah. Mereka yang mengajariku bahwa bersahabat itu tak perlu wajah cantik dan ganteng. Mereka pula yang membuatku merasa diterima, merasa menjadi bagian dari keluarga mereka walaupun kami berbeda. Keluarga yang hangat, keluarga yang memandangku sama seperti melihat diri mereka sendiri.

Kenapa mereka bisa melihat perbedaan itu sesuatu yang indah? Kenapa masih ada orang yang menganggap perbedaan itu masalah? Padahal tak ada orang yang benar-benar sama, semua orang pasti berbeda.

Tidak ada komentar: