04 Januari 2018

Serial Emak: Seorang Pemuda Dan Makanan Sisa



Saat itu, Emak dan Ayah duduk menggelosor di lantai depan perpustakaan umum Mesjid Istiqlal. Kami menanti dua putra putri yang masih apel. Mereka sedang berada dalam masa karantina, dan usai apel adalah jadwal mereka bertemu kami.

Adek, sudahlah.. jangan tanya! Si aktif ini sibuk berlari-larian, bermain-main dengan kucing-kucing yang memang banyak berseliweran di lantai terbawah mesjid itu.

Hanya, karena suasana pengunjung sedang ramai, biasanya Adek akan berlari mendekati kami kembali kalau ada orang-orang asing lalu lalang dekat situ. Bukan apa-apa, ini sekedar tindakan pengamanan yang sudah Emak tanamkan sejak kecil pada anak-anak. Jadi kebiasaan saja.

Saat itu, seorang pemuda melewati pintu pembatas lorong umum dengan ruang-ruang tempat kegiatan mesjid, seperti hendak mendekati Adek. Adek pun buru-buru berlari kembali menyongsong kami dan setengah terpeleset saat menjatuhkan diri dalam pelukan Emak yang sedang duduk sambil mengobrol ringan dengan Ayah. Kami sedang berdebat kecil, bercampur sedikit canda. Saling sodor pilihan, masuk ke perpustakaan atau tetap 'melantai' di situ. Hanya saja, kedatangan pemuda itu membuat Emak waspada dan terdiam. Apalagi ketika Adek memeluk Emak. Ayah yang sedang bicarapun ikut berhenti melihat ekspresi wajah Emak yang kaku menatap aneh pada pemuda yang mendekati kami itu. Ditambah lagi, pemuda itu terus berjalan ke arah kami, meski matanya sibuk memandang ke kiri dan ke kanan berpindah-pindah. Seperti orang yang takut ketahuan melakukan sesuatu. Kami semakin curiga.

Bagaimana tidak? Tak seperti pemuda-pemuda lain yang masuk ke mesjid, wajahnya begitu kusam, tak ada atribut muslim menempel di tubuhnya. Yang ada, anting-anting di telinga, rambut gondrong kusut masai, jaket bergambar aneh yang sedikit robek, jins kumal dan robek di sana-sini. Emak tahu, ada jins yang memang sengaja disobek karena fashion, tapi entah mengapa intuisi mengatakan ada yang aneh padanya. Padahal, sebagai mesjid terbesar, sudah biasa sekali Emak melihat para wisatawan dari berbagai penjuru dunia berkunjung. Tak semua dari mereka itu muslim, bahkan mengenakan pakaian lebih terbuka dibanding itu. Hanya saja, sekali lagi... semua karena feeling yang tak biasa.

Kami terdiam, memperhatikan pemuda itu mendekat. Ayah bahkan berganti posisi duduk, posisi siap menyerang. Emak juga, memeluk Adek dan mulai merencanakan segala hal yang diperlukan untuk melindungi si kecil. Pengalaman buruk berkali-kali memang telah membuat kami seperti ini. Everyone knows, Jakarta is one of the dangerous city in the world, even though we are in a mosque.

Namun, pemuda itu berhenti di dekat tempat sampah besar setinggi Adek yang berada tepat di dinding depan kami. Lalu tangannya sibuk membuka satu demi satu bekas kotak makan yang tergeletak di atas tempat sampah besar itu, memindahkan potongan-potongan makanan yang masih ada ke dalam salah satu kotak yang paling banyak tersisa. Emak dan Ayah saling pandang. Kami bisa menduga apa yang akan terjadi, tapi tetap saja... ketika pemuda itu melenggang menjauh membawa kotak berisi sisa-sisa makanan itu sambil memakan salah satunya, kami shock.

Begitu ia berlalu, Emak berdiri melihat-lihat kotak-kotak makanan sisa di atas tempat sampah itu, sementara Ayah mengikuti pemuda tadi.

Emak ingin berbagi fotonya, tapi sungguh... isinya menjijikkan dan akhirnya Emak men-delete foto itu. Tapi sebagai gambaran, isinya tak hanya makanan sisa yang campur aduk tak karuan, ada kulit pisang, genangan air minum yang sengaja ditumpahkan dan gelas plastik air mineral yang sudah diremuk di dalamnya. Yang lainnya malah tampak lebih parah dari itu. Dan pemuda tadi... mengambil serta memakannya tanpa ragu!

Adek, juga melihat kejadian itu, mendongak menatap Emak, "Kok dia gak jijik ya Mak?"

Emak tak bisa menjawab pertanyaan Adek. Emak juga bingung sekaligus miris.

Pemuda itu cukup kuat untuk bekerja dan menafkahi hidupnya sendiri. Tapi mengapa ia memilih menjadi gelandangan? Berbagai sangkaan muncul di kepala Emak, mungkinkah ia sudah terjangkit candu narkoba, atau ia terlalu malas untuk bekerja? Atau karena dunia kerja tak bisa menerima dirinya? Apapun alasannya, Emak hanya tahu... ia masih muda dan kuat.
Batin Emak pun saling beradu, pantaskah pemuda seperti itu kami bantu jika nanti bertemu lagi?

Ini adalah kenyataan. Banyak pemuda kini seperti itu. Menjadi gelandangan di usia produktif mereka. Ini belum apa-apa dibandingkan jumlah anak-anak muda dan remaja yang memilih nongkrong menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk-duduk tak jelas. Padahal di sisi lain, ada banyak kegiatan remaja dan kalangan muda yang justru sepi peminat padahal gratis dan hanya butuh komitmen. Di Jakarta, menemukan berbagai kegiatan seni dan olahraga yang gratis ditawarkan cukup banyak, kalaupun berbayar masih tak sebanding dengan jumlah pulsa dan uang serta waktu yang dihabiskan para remaja untuk sesuatu yang tak berguna.

Kita berada di zaman generasi yang 'mundur' dari sisi akhlak. Bahkan anak-anak remaja Emak mengakui, mereka sempat merahasiakan kegiatan mereka yang positif itu dari teman-temannya. Kalau saja tak ada support orangtua dan para coaches, anak-anak juga sudah lama berhenti dari 'kegiatan yang dianggap sia-sia' oleh teman-temannya. Hingga saat inipun, hanya beberapa teman Kakak yang tahu tentang kegiatannya ini. Ia malas menghadapi komentar sarkas tiap kali ada temannya yang tahu. Bahkan ketika ia bilang masih mengaji, ada salah satu temannya berkata, "Loh bukannya lo udah khatam waktu SD?"

Buat Adek, peristiwa pemuda dan makanan sisa itu akan menjadi pelajaran nyata untuknya. Akan jadi peringatan tiap kali ia merasa malas belajar atau berusaha nantinya. Ia takkan lupa betapa menjijikkannya makanan sisa yang diambil pemuda itu. Saat ia menceritakannya pada kedua kakaknya, mereka pun tak percaya. Tapi Adek dengan cerdas, mengutip penjelasan Emak saat itu, 'Kata Emak, kita gak cuma belajar di sekolah, tapi belajar jadi pinter yang lain juga. Supaya bisa cari uang sendiri, gak ngais-ngais sampah kayak gitu karena gak punya skill.'

Ini sekedar cerita, yang Emak sempat tanyakan dulu ke Ayah. Ayah, punya cerita lain yang jauh lebih dalam setelah berlari menyusul pemuda itu. Tapi kata Ayah, sama seperti yang Emak pikirkan, orangtua adalah awal dari cerita kelam perjalanan hidupnya sampai seperti itu.

Sekarang pilihan itu ada pada orangtua... mau dibawa kemana anak-anaknya? Anak-anak itu, kanvas putih yang menunggu para orangtua, para pelukis untuk menghasilkan sesuatu dalam ruang putihnya. Akankah jadi lukisan yang indah atau sekedar lukisan yang amburadul tak karuan?

2 komentar:

Nita Lana Faera mengatakan...

Moga kita semua, dan juga untuk generasi adek serta kakak-kakaknya selalu dicukupkan rezeki ya, Mak. Kadangkala bukan karena malas, tapi jalan menuju pekerjaan itu memang belum ada. Hidup dan cuma mengenal lingkungan yang sama, solusi pun sulit didapat. Bahkan bekerja pun kadang butuh modal.

Fanny Fristhika Nila mengatakan...

Sedih juga, miris juga bacanya :( . Iya sih aku ga tau alasan kenapa dia ga bekerja.. Ato mungkin semua orang2 di sekitarnya juga males memperkerjakan orang dengan penampilan gini, pake anting dll, yg mungkin lgs dicap preman ato org jahat... Selama ini aku bbrp kali ketemu orang yg ngorek2 sampah utk mencari makanan. Wkt anakku liat, aku cm bilang, "makanya kalo makan kamu hrs abis. Jgn buang2 makanan, itu mubazir. Gimana kalo kita ga mampu beli makan, kamu mau terpaksa hrs nyari dari sampah2 supaya bisa makan?" . Itu krn anakku yg pertama memang susaaah luar biasa diauruh makan. :(

Tp mungkin kalo ketemu hal seperti ini lg, aku bisa tambahin utk lbh rajin belajar dan mau bekerja.