20 Juni 2017

Kabar dari Paman

Begitu peserta rapat lain keluar satu persatu, aku langsung mengeluarkan ponsel. Membaca sms dari paman …

Apa kabar, Nak? Paman lagi sakit. Harus operasi lagi ini.

Mendadak dadaku terasa berat. Sakit lagi? Apa kankernya datang lagi? Aku mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya lagi, mengetik lagi, dan akhirnya menghapus lagi. Beberapa menit aku hanya memandangi layar ponsel. Tak tahu harus menjawab apa.

Pikiranku melayang. Mengingat pamanku yang satu itu. Pamanku yang paling dekat. Paman terbaik di antara semua saudara ibuku. Paman yang pernah mengasuh dan mengurusku saat masih kecil. Paman yang seperti ayah, kakak dan sahabat untukku.

Sudah beberapa tahun ini ia, sama seperti ibuku, berjuang melawan kanker. Setahun lalu, sejak ia mengabariku kalau ia baik-baik saja, tiba-tiba Paman muncul dengan tubuh tegap. Sayangnya, aku masih melihat rokok terselip di jemarinya.

“Sudah sehat pamanmu ini bah, Nak. Janganlah kau kuatir,” ujarnya saat aku menegur. Lalu ia bercerita tentang sasana tinju, lari pagi dan tentang kanker di tenggorokannya yang telah dioperasi.

Aku lebih banyak diam. Mendengarnya berbicara tentang kabar kedua putranya, tentang istrinya, tentang kampung halaman yang nyaris tak pernah lagi kudatangi sejak menikah. Tapi, ia juga bertanya tentang banyak hal padaku. Aku menjawab seadanya. Bahwa keponakannya kini hanyalah seorang ibu biasa, yang masih suka menulis dan masih suka baca komik berjilid-jilid. Ia menambahkan sambil tertawa terbahak-bahak, Iin-nya masih manja, masih cengeng dan masih berbicara apapun yang ia pikirkan begitu saja.

Menjelang tengah malam, di teras lantai dua rumahku, kami melanjutkan obrolan. Saat itu, ia bercerita tentang apa yang ia bayangkan tiap kali menjalani kemoterapi dan perawatan di rumah sakit. Dia memahami mengapa aku berubah banyak setelah merawat ibuku saat sakit dulu. Dia juga mengerti mengapa aku begitu diam dan tak banyak bicara tiap kali ia mengeluh tentang sakitnya. Dia tahu, aku akan mulai menangis dan sulit berhenti tiap kali bicara tentang kanker.

“Paman tahu, In. Kanker itu memang hanya untuk orang terpilih kayak kita. Paman rasakan gimana sakitnya ditinggal dan dicuekin. Paman juga ngerasa banget sendirian terus selama menjalani semua itu. Tapi, kau betul, Nak. Orang boleh cuekin kita, tapi kita gak boleh dendam. Sulit memang ngejalaninnya, tapi kalo ikhlas, insya Allah dimudahkan Allah semua urusan kita. Macam paman ni, alhamdulillah ada ja rezeki bisa ke rumah sakit.”

Saat itu, aku hanya bisa menangis meminta maaf padanya. Aku tak bisa menemaninya mengurus rumah sakit, tak bisa menjenguknya saat ia sakit, tak bisa sering-sering menelponnya ketika ia berjuang. Andai jarak ribuan kilometer antara dua pulau ini bisa kulalui dengan mudah. Paman hanya tersenyum. Ia mengerti diriku, mengerti keterbatasanku, mengerti bahwa aku bukanlah tipe orang yang hanya duduk diam dan menunggu tanpa melakukan sesuatu andai kami dekat.

Esoknya, ia pulang. Meninggalkan pesan yang masih sama, menjaga cucu-cucunya, anak-anakku. Paman sempat berbalas canda dengan putriku yang jahil. Katanya, si sulung itu begitu mengingatkannya pada aku saat masih remaja dulu. Saat itu aku berjanji, tahun depan insya Allah setelah wisuda, aku akan pulang menjenguknya.

Tapi aku belum diwisuda… Ketika ada sms masuk darinya.

Memang kuliah sudah selesai, tapi aku belum mengikuti upacara wisuda. Baru April tahun berikutnya. Atau mungkin suamiku sudah mengabarinya. Entahlah.

Karena aku tak tahu harus menulis apa, kuputuskan untuk langsung menelpon saja.

“Halo, ponakanku sayang!”

Aku tersenyum. Tanpa perlu bertanya aku tahu itu suaranya. Agak sedikit berbeda. Tapi ini benar-benar pamanku.

“Paman tadi nelpon, maaf ya… Iin tadi lagi rapat.”

Ah, ini kebiasaanku yang tak pernah bisa berubah. Setua apapun usiaku kini, aku selalu menyebut namaku sendiri tiap kali berbicara dengan suami atau orang-orang yang kuhormati ketimbang memakai saya atau aku.

“Iya, paman yang minta maaf sudah gangguin. Sibukkah?”

“Engga, pamanku sayang… Eeeng, tadi paman bilang mau operasi lagi?”

“Yah begitulah, Nak. Kumat lagi kanker paman. Ini paman lagi dirawat di rumah sakit, tiba-tiba pengen bicara sama kamu. Kamu gimana, In? anak-anak gimana?”

Mataku mulai berair. “Paman kaan… iin sudah bilang jangan ngerokok. Tuh kan kambuh lagi! Terus gimana? Kapan operasinya?” lalu suaraku menghilang. Kugigit bibirku agar isakku tak meledak. Aku teringat kata-kata dokter yang menangani ibu saat dulu kami berdiskusi panjang lebar soal kanker. Otakku langsung memutar ulang persentase hidup yang pernah dijabarkannya. Ketakutanku muncul.

“Sudah, sudah, tenang saja… gak papa kok. Ini cuma sisa-sisa yang lama. Kau tenang ajalah, Nak. Nanti malah keganggu kerjaanmu. Anakmu bagaimana kabarnya?” tanyanya lagi. Tapi aku tak menjawab.

Aku menekan dadaku, terus menahan isakku. Jangan menangis, In! Jangan menangis, In! Kekuatan mereka yang sakit itu ada pada yang sehat.

“Nangis ya?” tebak Paman dari ujung telepon.

“Enggak, apaan nangis kayak anak kecil aja!” jawabku dengan suara aneh.

Terdengar kekeh tawa Paman dari ujung telpon, “Yaah, sudah tua masih aja cengeng. Tetap sama aja kayak dulu-dulu. Iin-nya Paman ternyata masih sama ya, hahaha… “

Mendengar tawanya, aku tak bisa menahan isakku lagi. Tangisku pecah tanpa menutup telepon. Tawa Paman berhenti. Kubiarkan paman mendengar suara tangisan dan isakanku. Di ujung telepon, Paman terus berbisik, menenangkan, membujuk… seperti dulu, seperti saat aku kecil dulu, seperti saat aku merengek mengadu padanya kalau besok Lebaran dan aku belum punya baju baru.

Telepon berakhir karena pulsa telponku habis. Obrolan hanya satu arah, karena hanya Paman yang bicara sementara aku terus menangis. Tapi, aku mendengar nada riangnya yang begitu yakin, Paman akan melewati semuanya semudah yang pertama.

Sementara aku, kembali menerima kabar duka yang lain. Saat itu, Ayah mertuaku juga sakit keras. Kesibukan mengurus keperluan beliau dari sakit hingga akhirnya berpulang, membuatku melupakan masalah Paman. Sesekali aku mencoba menelponnya, tapi tak pernah dijawab. Dengan pikiran positif, kuanggap Paman baik-baik saja dan hanya sedang sangat sibuk.

Sampai beberapa bulan kemudian…

Pagi hari itu aku bersiap ke kantor dan baru selesai mengunci pagar rumah, saat sebuah sms masuk. Kubuka dengan tangan sebelah. Membacanya dengan cepat. Tapi perlu sekitar 10 menit untuk memahami isinya.

Begitu menyadarinya, aku menelpon ke kantor, meminta izin untuk tidak masuk kerja dan menelpon suamiku, memintanya pulang. Segera. Darurat. Lalu aku duduk di ruang tamu selama setengah jam dengan mata menerawang. Sesekali kembali membuka sms yang tadi kuterima. Membacanya lagi. Lalu teringat sesuatu. Aku menelpon ke nomor ponsel Paman. Tak ada jawaban. Kucoba nomor telepon putranya, tidak dijawab juga. Kutekan nomor-nomor keluarga terdekat yang kutahu, semua tak menjawab. Sampai aku teringat, media sosial yang digunakan keluarga. Kali ini, berita itu tak lagi kuragukan.

Tiba-tiba rasa panas menjalar di tangan kiri, menyebar hingga ke dada. Sakit sekali. Aku teringat penyakitku sendiri, dan langsung menekan angka 1 di ponselku. Tersambung atau tidak, aku tak ingat lagi.

Saat tersadar, aku sudah berada di ruangan yang didominasi warna oranye. Salah satu perawat memberitahu, suamiku sedang berbicara di luar. Tak lama, suamiku masuk dengan wajah murung. Satu anggukannya membuatku tahu kalau semua yang terjadi bukanlah mimpi. Paman tersayangku sudah tiada.

Aku menangis tersedu-sedu dalam pelukan suamiku, membiarkan para perawat dan orang-orang dalam UGD itu memperhatikan kami berdua penuh tanda tanya. Aku kehilangan paman terbaikku, satu-satunya orang yang memahami lebih dari apapun selain suamiku, dan lelaki yang kuanggap sebagai sahabat terbaikku. Duniaku terpotong sebagian. Kini, aku merasa benar-benar sendirian …

Ramadan tahun ini …

Hampir setahun sejak ia pergi. Wisuda telah kulalui beberapa minggu lalu. Suamiku juga sudah mengingatkan tentang rencanaku kembali ke kampung halamanku. Tapi aku membatalkannya tepat setelah wisuda.

Aku tak lagi ingin pulang. Tak ada senyuman lebar, sebutan panggilan ‘Oh, ponakanku sayang!’ dan tatapan yang masih memandangiku bagai anak lima tahun itu. Aku takut merindukannya, aku takut memberatkan langkahnya, aku takut airmataku mengalir mengotori jejak sucinya. Lebih baik aku tetap jauh di sini, dan tetap berpikir, jauh di sana, di suatu tempat, Paman masih ada. Tertawa lebar, sehat walafiat memamerkan otot-otot yang ia latih dengan tinju dan lari, dan masih siap bercanda dengan siapapun. Suatu hari nanti... ketika airmataku telah mengering, ketika sesalku telah berkurang, ketika senyumku mengingat semua yang berlalu telah semakin lebar... aku akan pulang. (iin/2017)


*****

1 komentar:

Maria Soraya mengatakan...

berat memang kehilangan orang yg paling dekat dan tersayang, aku butuh waktu satu tahun untuk benar2 bisa melepas almarhumah anakku yg pergi di usianya yg baru 6 bulan, setelah masa itu lewat aku udah gak secengeng ketika baru kehilangan .. caraku menjaga "komunikasi" dengan anakku, rutin mengirimkan al fatihah tiap kali abis shalat

yg kuat ya mbak iin, al fatihah untuk pamannya mbak iin :)