22 Februari 2017

Ibu Bekerja, Mereka yang Tersudutkan.


Sudah lima belas menit sejak pesawat meninggalkan landas pacu Bandara Internasional Soekarno Hatta. Mata yang mengantuk dan tubuh yang lelah akibat lembur mengerjakan presentasi untuk proyek ini selama beberapa hari membuat saya langsung tidur begitu duduk di kursi penumpang.


Tak seperti tiga perjalanan internasional sebelumnya, pagi ini saya berangkat terlalu terburu-buru untuk menikmati perjalanan. Mungkin karena mulai terbiasa, anak-anak juga hanya menggumam tak jelas saat dini hari tadi saya berpamitan. Mereka sudah menitipkan oleh-oleh dan foto tempat yang diinginkan semalam, ketika saya menge-pack barang. Hanya Ayah, suami tercinta yang mengantar hingga pintu keberangkatan. Bertahun-tahun bersamanya, satu hal yang tak pernah berubah adalah satu hal itu. Ia selalu terlihat kuatir tiap kali saya pergi sendirian dan mengantar hingga pintu keberangkatan.


Dengan mata mengantuk, saya melirik ke sebelah. Seorang wanita cantik berjilbab merah muda dengan motif bunga-bunga tampak tengah duduk tegak menatap keluar jendela. Sorot matanya begitu sedih. Seperti menyimpan sejuta masalah. Kantuk saya mendadak sirna. Saya menegakkan punggung, masih sambil memperhatikan wanita itu.


Perjalanan kerja kali ini memang mendadak. Hanya kurang dari tiga hari, kami harus berangkat. Itupun setelah saya bernegosiasi dengan Manajer, karena tiga dari anggota tim adalah ibu rumah tangga termasuk saya. Kami harus mengatur urusan rumah sebelum bekerja. Sempat terjadi adu argumen antara saya dan Manajer saat itu. Dan saya memenangkannya dengan satu kalimat, “Ya sudah, kalau memang dipaksakan, silakan berangkatkan tim lain. Saya dengan tim saya yang sekarang atau tidak sama sekali.”


Kata-kata itu begitu mujarab karena akhirnya Manajer hanya bisa mengangguk pasrah. Mengganti saya sama seperti mengganti keseluruhan ide kreatif dalam proyek ini karena meski ini pekerjaan tim, tapi hampir seluruh rencananya hanya ada di otak saya.


Saya menyenggol wanita itu. Ia sedikit terlonjak tapi tetap berusaha tersenyum.


“Ada apa?” Penting bagi seorang kepala tim untuk mengetahui masalah anggotanya. Di luar negeri kami adalah satu keluarga yang saling mengandalkan. Kalau terjadi sesuatu, sayalah yang harus bertanggung jawab.


“Maaf, Mbak. Mungkin ini perjalanan terakhir saya bersama tim. Saya ingin berhenti,” bisik wanita itu sambil menunduk. Bisikan itu bagai bom di telinga saya.


“Jadi ibu bekerja itu serba salah, Mbak,” bisiknya. Kami saling menoleh dan saya bisa melihat bola matanya berkaca-kaca. “Dan itu makin lama makin berat.” Airmatanya mengalir pelan. Lalu bibirnya mulai bergetar bercerita.


Sudah bukan rahasia lagi, seorang wanita bekerja dituntut untuk bersikap profesional selama ia di kantor. Tak ada dispensasi atau kompensasi khusus dalam keadaan apapun, meski ada cuti haid tapi tak semua perusahaan memberikannya. Tapi juga bukan rahasia lagi, peningkatan karir seorang wanita akan langsung tertahan ketika ia memutuskan menikah. Rekan-rekan kerja pria akan langsung menyikapinya dengan ancang-ancang mengambil alih pekerjaan yang sewaktu-waktu akan segera ditinggalkan si wanita bekerja.


Sungguh, ini bukan masalah baru bagi saya. Tatapan sebelah mata itu juga sudah saya dapatkan sejak memutuskan menikah di usia muda. Sepertinya, ketika seorang perempuan menikah maka seluruh ambisi dan titian karirnya pun harus dilupakan. Pekerjaan hanyalah sebuah jalan untuk mencari suami dan setelah itu ditinggalkan begitu saja.


“Kamu yakin? Tidak sayang dengan kemampuanmu?” tanya saya setengah mengingatkan.


Lalu ia mulai bercerita, tentang hal-hal yang dialaminya dua tahun terakhir sejak kelahiran putrinya. Konsentrasinya yang terbagi dua antara keluarga dan pekerjaan, mulai dianggap mengganggu pekerjaan oleh rekan-rekan kerjanya. Ia juga sempat menolak diberangkatkan, tapi akhirnya bersedia setelah saya berjanji kami hanya pergi selama kurang dari empat hari.


Mendengar ceritanya, saya termangu. Pengalamannya sama persis dengan yang pernah saya alami bertahun-tahun lalu. Bedanya saat itu saya sendirian dan memilih untuk resign. Bukan hanya sekali dua kali saya melakukannya. Mencari perusahaan yang tepat. Tapi karena perusahaan-perusahaan itu tidak bisa memahami kodrat saya sebagai wanita, saya memilih mundur.


Sebenarnya… seperti saya dan mungkin itulah alasan wanita di samping saya ini, alasan berhenti bukan karena kami kesulitan mengatur waktu antara kedua tanggung jawab tersebut. Bukan itu!


Alasan kami sama, karena terlalu lelah menghadapi rekan-rekan kerja pria bahkan atasan yang ‘menuduh’ kami tidak profesional hanya ketika kami melakukan kesalahan, menolak sesuatu atau saat terpaksa meminta izin pulang lebih cepat. Padahal di saat yang lain, kami kadang bersedia bekerja lembur, bahkan memboyong pekerjaan ke rumah, mengerjakan sesuatu lebih teliti dibandingkan pria bahkan lebih sesuai dengan kebutuhan klien karena sense halus kami sebagai wanita. Tanggung jawab terhadap keluarga justru dianggap sebagai momok penyebab kami tak bisa profesional.


Padahal kalau ditelisik lebih dalam. Banyak juga rekan-rekan kerja pria yang keluar masuk kantor di saat jam kerja, juga sering melakukan kesalahan dan sama-sama sering menolak tugas. Tapi, karena kami wanita, kaum minoritas di kantor yang lebih sering dijadikan objek daripada subjek, kesalahan-kesalahan itu terlihat sangat mencolok. Kalau bagi kaum pria, memiliki keluarga dan anak berarti kemungkinan promosi dan peningkatan gaji jauh lebih besar. Maka ini terjadi sebaliknya pada kaum perempuan.


Bagi kelas Ibu pekerja, wanita karir yang berjuang di antara keluarga, kantor dan dirinya sendiri, kami masih harus menerima sorotan tajam tentang makna ‘ibu’ di lingkungan sosial. Ketika anak-anak sakit, dan ibu tetap bekerja. Ketika anak-anak mengalami kegagalan, dan ibu sibuk bekerja. Tuduhan pasti ditujukan pada ibu yang bekerja.


Padahal, entah berapa banyak rasa bersalah yang harus dirasakan seorang ibu bekerja. Rasa bersalah itu dirasakan tiap hari dan tiap saat. PR yang terlupa, makanan yang tak sempat dimasakkan, pakaian yang lupa disetrika, pendaftaran yang lupa dilakukan, terlambat menjemput atau mengantar, tak bisa hadir di pertemuan atau acara anak. Bahkan ketika melihat sepatu kotor yang tak sempat dicuci dan tetap dipakai anak, sudah sanggup membuat seorang ibu merasa bersalah. Jadi, tak perlu lagi ‘disidang’ dengan tuduhan. Meski semua orang tahu, semua ibu bisa melakukan kesalahan. Semua ibu pasti pernah mengalami masalah dengan urusan anak dan pekerjaan rumah tangganya, bekerja atau tidak. Tetap saja, seorang ibu bekerja akan tetap menjadi tersangka utama yang tak bisa membela diri.


Airmata wanita itu akhirnya mengalir, runut berkisah tentang putrinya. Tentulah ia berat meninggalkan gadis kecil yang mulai demam sejak dua hari lalu. Ia sudah meminta pengganti atau memundurkan jadwal keberangkatan, tapi begitu terdengar celetukan dari seorang rekan kerja pria, “makanya kalau sudah gak bisa profesional, mending berhenti saja.” Ia langsung diam dan memilih menjalani tugasnya, namun akhirnya ia mengambil keputusan penting itu.


Saya merasa bersalah. Saya tak tahu soal itu. Saat membicarakan soal perjalanan ini, ia tak mengatakan apapun. Katanya, ia tak mau bicara karena paham kondisi saya pun kurang lebih sama. Putri tertua saya memang sedang ulangan saat ibunya terbang ke negeri lain. Tapi bedanya, anak-anak saya sudah cukup memahami mengapa ibunya harus bekerja di tempat yang jauh. Andaikan wanita ini menjelaskannya sebelum kami berangkat. Andai ia tak menyamakan saya dengan anggapan rekan kerja pria itu.


Saya putuskan tak akan membujuknya untuk tidak resign. Biarkan saja. Pekerjaannya bukan pekerjaan yang bisa dilakukan semua orang. Itu keahlian yang masih sulit ditemukan di negara ini. Jelas kalau ia  ‘resign’, pihak manajemen akan segera menyikapinya dengan panik. Inilah satu-satunya cara menunjukkan eksistensi wanita karir. Kalaupun keinginannya diterima, saya berharap ia menemukan pekerjaan lain yang sanggup mengakomodir semua kebutuhannya tanpa harus meragukan profesionalitasnya bekerja.


Saya tak banyak bicara, tapi mengenang masa lalu. Dulu umur Kakak belum sebulan ketika saya terpaksa membawanya bekerja, dulu Abang masih belum bisa bicara dan sempat memanggil saya ‘kakak’ karena kami jarang bertemu dan sampai hari ini, tempat di bawah meja meeting room di kantor masih menjadi tempat Adek bermain boneka. Ketika akhirnya saya bisa bernegosiasi waktu kerja, itu setelah lebih dari lima belas tahun berkarir... Sungguh bukan perjuangan yang mudah.


Saya ingin sahabat ini juga memiliki fleksibilitas waktu kerja seperti saya, namun bersikap profesional di saat yang sama. Pengertian dari perusahaan akan membuahkan kinerja yang baik serta kesetiaan dari karyawan. Saya yakin ia akan mengetahui pentingnya kemampuan dan keahlian bekerja bagi seorang wanita. Ini bukan tentang bagaimana mendapatkan pekerjaan bergaji besar, tapi tentang kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Semakin baik seseorang bekerja, ia akan semakin dihargai dan bentuk penghargaan itu adalah keinginan untuk bisa mengatur waktu bekerja tanpa harus mengorbankan kewajiban manapun.


Perjuangan seorang ibu bekerja tak pernah ringan, tapi bukan berarti kami tak bisa profesional. Kami hanya memilih, meski pilihan itu terkadang sangat berat. Kami tetap bekerja, dengan segala penyesuaian tanpa melupakan sikap profesional.


 


*****

Tidak ada komentar: