Kalau perempuan lain yang bersuami mungkin bercita-cita bisa
punya rumah yang dibelikan suaminya. Kalau saya, justru sebaliknya. Saya ingin
membelikan suami saya rumah.
Banyak yang mengira saya bercanda, atau sekedar
melebih-lebihkan perasaan sayang pada suami. Tapi sebenarnya, kalau diukur
siapa yang paling sayang, sayangnya saya itu mah gak ada apa-apa pada suami
dibandingkan dia.
Kami sudah punya rumah, walaupun kecil dan sederhana.
Sebenarnya itu lebih dari cukup. Tapi sepanjang hidup pernikahan kami, saya
jarang memberinya sesuatu bahkan di hari ulang tahun. Memang bukan budaya di
keluarga yang kami bangun. Bagi Ayah, panggilan sayang suami, cukuplah dengan
ucapan selamat dan doa serta terima kasih pada hari kelahiran atau hari
peringatan lainnya. Kami memang terbiasa seperti itu, setelah mengalami pasang
surut pernikahan. Kami menyadari bahwa akhirnya tak ada yang paling berharga
dan hadiah paling baik selain kehadiran seseorang yang kita cintai saat
merayakan sesuatu.
Hanya saja semua orang di dekat kami, anak-anak dan para
adik kami tahu benar seperti apa Ayah pada saya. Ia tak pernah merayu dengan
kata-kata cinta yang berlebihan, bahkan nyaris tak pernah kecuali sambil
bercanda. Tapi setiap hari saya bisa merasakan apa yang ia maknai dengan kata
‘cinta’
Dulu saya tak pernah mengira kehidupan pernikahan yang
terasa sangat sulit di lima tahun pertama dan semakin berat di lima tahun
berikutnya, ternyata memasuki masa saat kami justru berlomba-lomba menunjukkan
perasaan dengan cara paling terbaik. Kami juga berdebat, kadangkala bertengkar
sedikit lebih keras, tapi tak pernah lama. Saya yang super keras ini akhirnya
belajar mengendalikan diri dengan merasa cukup berdiam diri dan menenangkan
hati sebelum kembali membicarakannya. Begitupun Ayah, yang menganggap memberi
saya waktu adalah hal terbaik untuk membuat memahami alasannya berbeda pendapat.
Kuncinya hanya satu, kami bicara. Kami bicara apa yang tersimpan di hati, bukan
membicarakannya dengan orang lain, tapi saling bicara meski pahit sekalipun.
Sedih memang, sakit pasti, hanya saja justru hal itu semakin memperkuat ikatan
batin bahwa inilah artinya punya pasangan, susah senang dirasakan bersama.
Perbedaan di antara kami sangat besar. Sulit sekali
menyatukan jarak 13 tahun, ditambah pola pengasuhan masa kecil dan basic
keluarga yang sangat berbeda. Harus saya akui, peran suamilah yang luar biasa
mengubah karakter saya. Bukan karakter yang ia mau, tapi karakter sebagai diri
saya sendiri. Ketika banyak orang yang beranggapan bahkan meramal kalau
pernikahan ini takkan bertahan lebih dari seumur jagung, suami saya melakukan
segalanya untuk mempertahankannya.
Karena itulah, saya merasa tak cukup baju baru, jam tangan
baru atau bahkan mobil baru untuk menggambarkan rasa terima kasih itu padanya.
Tapi rumah… ya rumah. Seperti ia mengatakan bahwa setiap tahun harus ada Taj
Mahal untuk saya, maka saya ingin memberinya Taj Mahal juga. Sejak kami
menikah, ia selalu memberi ‘Taj Mahal’ di setiap ulang tahun pernikahan. Saya
masih menyimpan 19 barang hadiah darinya, mulai dari boneka harimau sebesar
tubuh saya saat itu, Al Qur’an, koleksi Hadist, perhiasan bahkan rumah yang kini
kami tinggali. Tak ada hadiah yang sama setiap tahun, tergantung apa yang
sedang saya butuhkan saat itu. Bahkan di saat kami hidup dalam kesulitan
ekonomi, saya tetap menerima hadiah darinya berupa pasmina warna merah yang ia
berikan dengan permintaan maaf karena tak mampu membeli yang lebih mahal.
Begitu banyak alasan untuk memberikannya rumah selain karena
itu, sayangnya saya tak mungkin ceritakan satu persatu. Bukankah sekarang zaman
emansipasi, mengapa hanya para suami saja yang boleh menunjukkan cinta untuk
istrinya pada dunia? Para istri tentu
boleh menunjukkan cinta yang sama, bukan?
Tentu ada yang harus dilakukan supaya bisa memenuhi impian
besar itu. Namun, sekali lagi, saya harus mengakui bahwa peran suami lagi yang
justru membantu saya mewujudkannya. Ketika saya bekerja keras mewujudkan impian
itu, Ayah selalu memberi kekuatan, memberi dukungan bahkan ikut membantu apapun
yang ia bisa. Padahal saya tak pernah mengatakan apapun soal impian itu
padanya, tak pernah satu kalipun sampai beberapa hari yang lalu ketika keinginan
itu mulai menampakkan peluang yang semakin besar.
Sampai suatu malam di awal Januari ini, demi menghapus duka
kehilangan bapaknya di wajah suami, saya memintanya mencari rumah yang lain.
Rumah kami saat ini terlalu banyak menyimpan kenangan bersama bapak mertua saya,
dan itu sangat berat buat suami. Jadi, sekalian mewujudkan impian saya.
Tapi, sekali lagi Ayah membuat saya tercengang. Dia lebih
suka mewujudkan apa yang saya inginkan untuk diri sendiri, bukan untuknya. Meski
saya lebih suka mewujudkan keinginannya dibandingkan keinginan sendiri. Seperti
yang saya pikirkan, ternyata selama ini ia juga ingin mendirikan Taj Mahal lain
untuk saya. Kami sama-sama memegang satu-satunya rahasia dalam pernikahan ini,
rahasia tentang keinginan untuk Taj Mahal kekasih hati kami, sebuah rumah.
Tapi inilah makna pernikahan setelah 20 tahun diasah dengan
airmata dan tawa bersamanya. Tak ada lagi egoisme diri ingin meminta sesuatu
darinya, yang ada hanya keinginan memberi segala yang ia mau, memberikan apapun
yang bisa memberitahunya betapa besar cinta kita padanya. Sungguh, saya tak
menyangka bisa mencapai batas yang setinggi ini.
Kami akhirnya sepakat, akan mengikuti saja bagaimana Allah
SWT mengatur rencanaNya untuk kami berdua. Kami akan mencari, melihat dan
memilih rumah yang baru, tapi selanjutnya tinggal kembali takdir Allah SWT.
Kami bisa saja pindah bulan depan, enam bulan lagi atau bahkan setahun lagi.
Tidak ada yang bisa meramalkannya. Kami sepakat untuk sekali ini… mengikuti
kata hati saja. Ayah yang akan mencari dan memilih, sementara saya yang akan
merancang, mendesign dan memutuskan interior rumah baru itu nanti.
Kami akan segera hijrah, menuju rumah dan lingkungan baru,
Taj Mahal untuk saya dan suami serta anak-anak. Untuk rumah kedua, yang kami
harapkan bisa menjadi wujud impian kami memberikan yang terbaik untuk cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar