21 November 2016

Aku Menunggumu, Ibu

Dari atas lantai tiga, aku berdiri menatap ke bawah. Ada beberapa tenda putih berdiri di bawah sana, beberapa murid berdiri bergerombol di tenda-tenda itu. Yang lain duduk-duduk di selasar kelas-kelas yang berada di lantai dasar. Itu kelas-kelas para seniorku di kelas 12. Canda tawa terdengar di sana sini, di antara para murid yang duduk-duduk berkumpul itu. Ada yang berada di bawah pohon besar nan rindang, ada yang duduk di sebelah panggung dan yang lain sekedar berpapasan lalu mengobrol sejenak dengan teman-temannya.

Suara dari pengeras suara terdengar lagi. Pengumuman lagi. Setelah itu, teman-teman di kelasku berlarian keluar. Tawa dan pekik riang mereka mengiringi kehebohannya saat menuruni tangga menuju lapangan tempat tenda-tenda itu berdiri. Namun, sepertiku, ada beberapa murid yang berjalan pelan tanpa peduli keriuhan itu. Ketika aku turun ke lantai dasar, hampir semua tenda telah dipenuhi oleh teman-teman, dan para seniorku. Aku menghela nafas. Biarlah, mereka lebih dulu yang melakukannya. Aku bisa menunggu.

Hari ini raport tengah semester dibagikan. Teman-temanku sudah membicarakan hasilnya selama beberapa hari terakhir. Ada yang sudah ketakutan dimarahi orangtuanya, ada yang berusaha menyusun rencana untuk menghindar, ada yang sibuk mencari alasan bahkan ada yang sudah duluan menyerah dan berpikir untuk mencari jodoh saja daripada harus menanggung omelan. Tapi sepertinya mereka melupakan semua ketakutan itu hari ini. Tadi saat turun, aku justru melihat mereka begitu ceria bersiap-siap menunggu ibu atau ayahnya datang mengambil raport. Aku juga. Aku sedang menunggu.

Tiba-tiba pundakku ditepuk. Aku menoleh, dan temanku tersenyum riang.

“Ini Lia, Bunda! Ini teman Sherry.” Temanku, Sherry menarik tangan seorang ibu setengah baya yang berwajah bulat sebelum menatapku dengan riang. Cepat-cepat aku berdiri dan mencium tangan ibu dari sahabat baikku itu. Menyalaminya.

“Halo, Tante,” sapaku.

“Oh, ini Lia. Maafin Sherry kalo dia suka jahil ya Lia.”

Aku tertawa kecil dan menggeleng, “Engga papa, Tan. Saya juga suka ngerjain Lia. Biasa kok, Tante.”

Lalu Bunda Sherry menekan dahi putrinya dengan telunjuk sambil memandanginya penuh kasih sayang. Sementara Sherry hanya menyengir. Setelah menunjuk ke arah kelas, Sherry pun membawa bundanya naik menuju kelas kami untuk mengambil raport. Mereka bergandengan tangan begitu mesra. Membuat aku hanya bisa menatap iri sambil terus menunggu.

Aku menunduk, menatap kertas di tanganku. Masih kosong. Aku menoleh ke arah kerumunan dalam tenda, sedikit demi sedikit mulai berkurang dan aku mulai melangkah. Aku memang masih bisa menunggu, tapi aku juga harus mengisinya kalau ingin mendapatkan raportku.

Entah karena aku hanya diam saat menyodorkan kertas itu, atau karena mereka tadi melihatku menunggu lama di bawah pohon, dalam sekejap sepuluh tanda tangan berhasil kudapatkan. Temanku sampai terperangah melihat kertas di tanganku sudah lengkap. Aku hanya tersenyum. Toh, aku masih harus menunggu. Meski begitu aku memilih naik ke lantai tiga. Di sana tempat terbaik untuk menunggu.  

Saat aku naik, ada satu spot di bangku panjang yang berjejer di dinding. Kupercepat langkah kakiku dan duduk di sana. Sebenarnya aku tak ingin menunggu seperti orang bengong. Tapi ponselku sudah lowbat dari tadi, dan mungkin sekarang sudah off sama sekali. Akhirnya yang kulakukan hanya memandangi sekelilingku. Aku masih menunggu.

Ada salah satu temanku sedang mengobrol dengan ibunya, mereka berbicara, berbisik, tertawa kecil dan saling bergantian minum dari gelas plastik besar berisi teh es. Temanku dari kelas lain berdiri di pojok, sambil menunduk sedih, dan ada ayahnya yang tampak kesal memarahinya. Beberapa temanku yang orangtuanya juga belum datang, hanya duduk-duduk di lantai sambil terus menekan ponsel. Ketika ponsel mereka berbunyi, mereka berdiri dan cepat-cepat turun. Tak lama ada ibu atau ayah yang berada di belakang mereka. Sementara teman-temanku yang lain hanya duduk bersandar pada ibunya sambil memainkan ponsel tanpa berkata apa-apa. Tak sepertiku yang harus terus menunggu.

Dari dulu Ibuku yang selalu mengambil raportku. Dari aku pertama kali masuk sekolah hingga semester lalu, ibulah yang selalu mengurusi semua keperluan sekolahku. Tak hanya sekedar mengambil raport, ibu mengantar dan menjemputku setiap hari sekolah. Ibu juga yang selalu membantuku menyelesaikan tugas-tugas sekolah, mengajariku saat aku kesulitan mengerjakan PR hingga menyediakan semua keperluan sekolah. Karena itu aku bersabar menunggunya.

Ibu sangat perhatian, meski itu membuatnya kadang-kadang terlalu protektif. Hujan petir menggelegar sekalipun takkan bisa menghentikan ibuku kalau ia ingin menjemputku. Dalam keadaan basah kuyup, direlakannya aku mengenakan jas hujan miliknya. Ibu bilang dia suka hujan dan malu kalau orang dewasa sepertinya masih suka main hujan. Berbasah-basah seperti itu, kata ibu, sama seperti main hujan. Padahal aku bisa melihat tangannya yang gemetar saat menyetir motor membawaku pulang. Saat aku ingin merelakan jas hujan itu, ibu bilang itu tak perlu. Aku harus sekolah dan aku tak boleh sakit. Sementara dia hanya ibu rumah tangga biasa, yang bisa istirahat kalau sakit tanpa perlu kuatir ketinggalan pelajaran. Mengingat itu, aku mulai tak sabar menunggu.

Ibu sebenarnya berbohong. Karena ia tak pernah beristirahat. Ia selalu melakukan semuanya untuk kami. Ia memasak untukku dan Ayah, ia mengurus semua keperluan rumah tangga untuk kami dan bahkan ketika ia sedang demam tinggi, igauannya hanya berisi kekuatirannya tentang keadaan rumah. Harusnya, aku menjaganya lebih baik saat itu. Seharusnya aku merawatnya dengan baik. Seharusnya aku mengerjakan segalanya agar ibu bisa benar-benar beristirahat. Kini aku harus menunggunya.

Suara omelan di sisi lain membuyarkan lamunanku. Salah satu temanku dari kelas lain tampak diomeli oleh ibunya. Gadis itu menjawab dengan jawaban konyol. Ibunya tampak gemas lalu menjewer telinga putrinya. Tapi yang dijewer malah tertawa sebelum mengaduh-aduh kesakitan ketika jari ibunya menarik ke atas dan mengajaknya turun tangga. Dalam sekejap, temanku itu menjadi bahan tertawaan teman-teman yang lain. Tapi, ibu yang lain juga melotot pada putranya yang sedang menertawai teman kami yang dijewer itu. Bibirnya bergerak-gerak menahan amarah, membuat tawa putranya hilang dengan cepat sebelum ia melangkah mundur dan berlindung di balik tubuh seorang pria berkemeja biru muda. Mungkin itu Ayahnya, karena pria itu tampak membujuk si Ibu untuk bersabar. Mereka sudah menerima raportnya, sementara aku masih harus menunggu. Padahal lantai ini mulai terasa kosong. Waktu pengambilan raport sebentar lagi usai.

Bu, datanglah! Ambilkan raportku, Bu! Aku janji aku takkan mengatakan hal-hal konyol sebagai alasan mengapa nilaiku buruk. Aku janji takkan mengelak dari jeweran atau omelanmu seperti mereka. Aku akan terus tersenyum meski bibirmu merengut dengan kesal agar kau tahu betapa berharganya memiliki seseorang yang masih bisa mengomel untuk kebaikan diri ini. Aku akan menerima apapun kemarahanmu, Bu. Aku takkan berlindung di balik punggung Ayah. Aku hanya ingin bisa memelukmu lagi, bersandar di bahumu lagi dan duduk di sini bertukar gelas yang sama seperti teman-temanku tadi. Datang saja, Bu! Aku menunggumu…

“Lia!” Suara itu… membuatku menoleh. Tampak seorang lelaki tinggi semampai dengan kacamata bergagang coklat berdiri menatapku. Ayah! Wajahnya tampak lelah. Ia berjalan mendekatiku. “Kenapa?”

Aku menatapnya, dan menyadari ada dua bulir airmata jatuh mengalir di pipiku. Cepat-cepat aku menghapus dan menggelengnya. Ayah memandangiku dengan sendu. Tapi kami sama-sama diam. Kami sama-sama tahu, mengingat ibu berarti mengeluarkan tangis yang masih sulit kami tahan.

“Kelasmu mana?” tanya Ayah mengalihkan perhatianku. Aku menunjuk ke arah ruang kelasku dan Ayah pun melangkah ke sana. Aku mengikutinya. Mulai kini, aku hanya bisa menunggu Ayah untuk mengambil raportku.

Ibu, aku sungguh ingin kau yang datang hari ini mengambil raportku seperti biasa. Nilai-nilaiku bagus semua, Bu. Aku melakukannya untukmu. Aku ingin membuatmu bangga, seperti dulu. Tapi, hanya Ayah yang datang hari ini… dan mungkin sampai nanti aku lulus sekolah.

Andaikan aku sadar bahwa tubuhmu itu menyimpan sakit yang tak terperikan. Andaikan aku lebih peduli saat kau semakin sering sakit. Andaikan aku lebih perhatian padamu, mungkin hari ini aku tak perlu menunggu Ayah. Ibu, aku tahu kau di surga kini, berharap bisa turun untuk menemaniku lagi. Tapi, kita sudah berpisah untuk selamanya. Hujan terakhir itu, adalah perjalanan kita yang terakhir. Aku sudah kehilangan sahabat terbaik dalam hidupku, dan aku tahu selama apapun aku menunggu ibu, ia takkan pernah datang lagi.

Tidak ada komentar: