Saya nguping obrolan anak tetangga yang baru kenal dengan kakak dan mereka sedang bermain bekel di teras rumah :
Ina (anak tetangga) : Cin, Kamu anak pertama?
Kakak : Ho oh (sambil main bekel)
Ina : Emakmu kayak cina ya? (sorry untuk penggunaan kalimat ini karena emang seperti itulah yang dia bilang)
Kakak : Ho oh (NO!!! I am not but... Kakak selalu ngoceh asal2an kalo lagi main)
Ina : Ayah kamu juga putih dan gak kurus
Kakak : Kenapa sih dari tadi ngomong begitu? (berhenti main bekel)
Ina : Ngga, heran aja liat kamu item sendiri. Kurus lagi.
(sampai di sini sebenarnya saya pengen ngebantu anak saya kalo dulu saya juga berkulit gelap, tapi dengan santainya Kakak menjawab sambil kembali main bekel)
Kakak : Kamu gak tahu ya aku ini ketukar di rumah sakit... Aslinya Papiku orang kaya di Papua sana... dan aku ini tumbuhnya ke atas, gak ke samping....
Ina : (Melongo) Yang bener?
Kakak : (Ngakak) Hahaha.... gitu aja percaya!! Makanya jangan suka ngina orang... (dan dengan santainya ia mengedipkan mata pada saya sambil melanjutkan main bekel)
Kakak tahu dia punya kekurangan. Kekurangan yang selalu saya tekankan kalau kekurangan itu bisa diperbaiki. Kulitnya yang hitam bukan karena turunan tapi karena memang dia banyak beraktivitas di luar rumah. Giginya yang maju karena proses pertumbuhan dan insya Allah dengan kawat gigi bisa diperbaiki. Tapi semua perlu waktu...
Selama itu, saya dan ayahnya mengajarkan cara menghadapi ejekan dan ledekan yang akan ia terima nanti. Tak semua anak diajarkan sopan santun oleh orangtua mereka, dan kemarahan bukanlah solusi yang tepat untuk menghadapi keisengan teman-temannya.
Awalnya saya mengajarkan kakak cara bercanda yang benar, ketika bermain atau berbicara dengannya, pelan-pelan saya selipkan dengan bercanda dengannya. Ketika ia bermain dengan Abang atau Ade, dan tentu saja ia menerapkan cara saya tadi, tapi saya perbaiki kalau dia bercanda dengan menghina fisik atau sesuatu hal yang negatif.
Gak mudah memang, apalagi untuk anak saya yang dulunya amat cengeng dan manja ini. Tapi konsekuensi akan berjalan lebih mudah kalau menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari termasuk mengajak semua anggota keluarga terlibat aktif. Seringkali saya malah ikut memberi peringatan pada anggota keluarga lain yang tak memahami cara saya mendidik Kakak dan untungnya selalu didengarkan. Lama-lama Kakak malah berubah menjadi anak yang humoris dan sedikit jahil.
Kembali saat menghadapi ejekan, Kakak juga belajar menghadapi ejekan dengan membalik kata-kata ejekan itu menjadi bahan guyonan. Satu dua kali ia menceritakannya pada saya (meski terus terang saja saya sendiri pengen marah saat mendengarnya) dan ia selalu tersenyum geli karena berhasil. Malah kesininya saya yang suka ketakutan sendiri mendengar candaan Kakak soal dia ketuker di rumah sakit itu, takut dikira beneran sama orang lain. Tapi pernah saya tanya dengan serius, Kakak hanya tertawa kecil dan bilang "Emang Emak ajee yang bisa nulis cerita, hahaha...."
Satu hal lagi, selain memberi tahu kekurangan Kakak. Saya juga memberikan lebih banyak lagi kelebihan Kakak. Setiap kali ia melakukan sesuatu yang baik, bahkan hal-hal kecil seperti menyapu rumah tanpa diminta, maka berhamburan pujian untuknya. Melalui program Ayahnya, Kakak juga diperkenalkan dengan olahraga atau permainan yang beberapa tergolong ekstrim dan dia melaluinya dengan baik. Semua demi membangun kepercayaan dirinya bahwa dia memiliki kekurangan, tapi juga memiliki kelebihan.
Yang lebih penting, semua orang tahu sekarang kalau percuma aja mengejek Kak Cindy karena ujung-ujungnya justru berbalik kesal sendiri. Saya sedang menerapkan cara yang sama pada Abang, yang sifatnya lebih sensitif dan lebih tertutup dibandingkan Kakaknya. Si Pendiam ini telah membuat saya tiga kali ke sekolah karena urusan perkelahian. Yaah, namanya juga anak laki-laki. Penyelesaian terbaik menurut mereka adalah pertunjukan kekuatan. Sedangkan yang terakhir... aaah percuma ngajarin Ade, karena yang terakhir ini pe-denya malah agak-agak di luar batas.
Namun, di atas semua usaha itu. Jangan pernah, DO NOT EVER, menghina atau mengejek anak anda sendiri walaupun sekedar bercanda. Pengakuan utama yang paling penting bagi seorang anak adalah dari orangtua mereka sendiri, orang-orang yang mereka percayai setiap kata-katanya. Sampai kapanpun, penghinaan orangtua itu akan selalu diingat dalam hati setiap anak. Maka berhati-hatilah saat berkata pada mereka, meski semarah apapun.
Saat anak lahir, mereka adalah bintang di hati orangtua mereka. Maka jadikanlah selalu bintang di rumah kita, karena setiap anak itu berharga. Dunia di luar rumah, bukan tentang dunia yang baik dan buruk karena kita tak bisa mencegah anak-anak dari masalah. Kita wajib mengajarkan mereka cara menghadapi masalah, bukan untuk menghindari masalah.
Oh ya, saya pengen nyelipin satu informasi menarik dari seorang teman dalam statusnya dan berdasarkan penelitian sebuah universitas di Amerika bahwa orang dewasa itu tertawa dan tersenyum 40 kali dalam sehari, sementara seorang anak tertawa dan tersenyum lebih dari 200 kali sehari.
***