Setiap kali Ade berhasil membawa pulang kemenangan, setiap kali itu pula saya berbagi bahagia dengan menge-sharenya di sosial media. Tanpa disangka suatu hari, seorang sahabat justru membalas dengan mengirim bbm bernada mengingatkan. Bbm itu mungkin diperolehnya dari pesan berantai, karena berbentuk kisah tentang pengalaman seorang Mama. Kisah dimana seorang anak tinggal di rumah sakit jiwa karena kebanyakan les dan pelajaran tambahan.
Saya senang, ada perhatian dari banyak orangtua mengenai pentingnya untuk memahami anak dan kebutuhannya. Saya juga senang, teman mengingatkan pada saya soal itu melalui pesan yang ia bagi. Tapi jujur, ada sedikit hal yang mengusik hati. Karena pesan yang ia sampaikan sungguh tak pada saat yang tepat. Saat itu adalah dimana saya dan putri tercinta justru sedang senang-senangnya. Ade dengan piala terbarunya bahkan memberitahu tetangga untuk memamerkan kemenangannya itu. Ia begitu bahagia dan bangga. Sementara saya hanya tersenyum dengan rasa bahagia yang hanya separuh hati. Ini sungguh berlawanan dengan keinginan saya, yang terus menerus terpikir setelah mendapat pesan bbm itu. Apakah saya ibu yang seperti dalam kisah itu?
Mungkin bagi mereka yang menjadi sahabat saya cukup lama tahu Ade dengan segudang prestasinya itu akan berumur enam tahun dalam dua bulan. Namun sejak setahun lalu, ia telah bolak-balik mengikuti berbagai lomba dari menari, menyanyi, menggambar dan sebagainya. Tak terhitung jumlahnya karena dalam sebulan bisa dua atau tiga kali ia mengikuti lomba. Kadang-kadang lomba itu terjadi secara spontan, saat kami sedang di mal dan ada penyelenggaraan lomba maka Ade langsung mengajak saya mengikutinya.
Menurut beberapa orang sahabat, kesibukan Ade lumayan padat. Tiga kali seminggu ikut les baca dan empat kali dalam seminggu ia mengikuti les seni (termasuk berbagai kemampuan itu tadi). Tapi tak ada yang tahu bahwa semua kesibukan itu tidak terjadi karena kami, saya atau Ayahnya yang menginginkan. Semuanya dia sendiri yang memilih. Ada proses yang cukup panjang sebelum Ade memiliki kegiatan tambahan di luar rumah.
Sebagai mahasiswi Psikologi, saya memang mempelajari dunia anak-anak. Sebenarnya ketika Ade masih dalam kandungan, saya sudah mulai mempraktekkan berbagai pengetahuan psikologi yang sedang saya pelajari saat itu. Karena itu, diantara ketiga anak, mengurus Ade-lah yang paling mudah. Ade melalui proses tengkurap, duduk, merangkak, berjalan dan berlari tepat waktu. Berhenti memakai popok di tahun ketiganya. Berhenti menyusui tanpa keributan sama sekali hanya satu hari sebelum hari ulang tahun keduanya. Tidur sendiri di usianya yang ketiga tahun dan sudah bisa makan sendiri sejak umurnya baru satu tahun. Bahkan yang paling mencengangkan teman-teman sesama Ibu adalah Ade tak pernah mengompol sejak popoknya dilepaskan... satu kalipun tidak.
Ade tidak masuk playgroup, karena saya ingin membuatnya menikmati empat tahun pertamanya bersama saya seorang. Saya mengajarinya berbagai hal yang memang saya pelajari di kampus. Seperti yang diajarkan, saya menanamkan kepercayaan diri yang tinggi padanya dengan memberi kasih sayang sepenuhnya, menyelesaikan semua masalah dengan negosiasi dan sistem reward-punishment yang selalu berhasil untuk balita.
Karena itu, Ade memiliki tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi sehingga kalau tak berhati-hati justru ia mungkin membahayakan dirinya sendiri. Setidaknya selama empat tahun penuh percaya diri itu, Ade sempat kelelep di kolam renang sekali, jatuh dari tembok dan sepeda. Sampai akhirnya, saya harus banyak menanamkan pentingnya menjaga diri sendiri.
Selama tahun-tahun penting yang menjadi awal kehidupan Ade, dunia musik, gambar dan gerak adalah kegiatan sehari-hari yang dilakukannya. Semua anggota keluarga di rumah terlibat penuh. Saya bahkan memaksa suami yang super introvert untuk menjadi Ayah yang aktif. Ayahnya tak segan ikut bergerak hanya untuk memancing Ade ikut bergerak. Jujur... kalau ingat saat-saat itu, saya pengennya mengulang lagi untuk kakak-kakaknya juga. Andaikan mereka pun diasuh dengan cara seperti Ade.
Akhirnya, ketika masuk ke TK dan ditolak masuk playgroup karena Ade dianggap sudah pandai bersosialisasi, di situlah Ade mulai menunjukkan berbagai bakatnya. Satu hal... kami tak pernah memaksa. Di TK pertama, Ade sempat mengalami ketakutan dan bahkan tidak mau tampil di panggung. Setelah diselidiki, ternyata Ade merasa tak nyaman dengan persahabatan ala teman-temannya yang menurut saya sudah terbius oleh cerita-cerita sinetron dewasa. Kami pun memutuskan untuk memindahkannya ke TK yang lain.
Nah, di TK inilah, Ade mulai kembali menjadi dirinya lagi. Bakatnya yang dulu, mulai tampak satu persatu. Dukungan guru-guru, Kakak-kakak dan orangtua di rumah, membuat Ade sering menjadi juara dalam berbagai lomba. Memang... tiap kali berlomba, Ade selalu terlihat tegang dan tak bisa makan apa-apa. Tapi setelahnya, dia kembali jadi anak biasa, yang bahkan tak peduli soal menang atau tidak. Hanya saja, tiap kali dia menerima pialanya, piala itu selalu minta difoto, dipamerkan sana-sini dan bahkan dibawa tidur.
Beberapa bulan lalu, sebelum dia mengikuti les baca, saya sudah memulai mengajarinya membaca. Hanya tidak terlalu intens. Saya pikir belajar baca untuk anak ber-IQ seperti Ade, paling-paling hanya perlu sekitar dua atau tiga minggu. Keyakinan ini saya peroleh karena dosen pernah membahasnya. Karena itu, saya tenang-tenang saja ketika teman-teman sesama Ibu mengingatkan soal syarat masuk sekolah yang meminta anak untuk sudah bisa calistung.
Tapi, suatu hari, Ade mendekati Ayahnya. Dia bilang dia sangat iri sama teman-temannya yang ikut les baca. Katanya kalau habis les, bisa sambil main sama mereka. Ade juga ingin ikut les. Saat itu, saya sempat melarang dengan alasan, Ade itu daya serapnya sangat tinggi dan belajar baca bukanlah masalah. Tapi yang terjadi beberapa hari kemudian, menyadarkan saya kalau Ade sebenarnya bukan kepingin membaca tapi ingin memperpanjang jam mainnya dengan salah satu sahabat dekatnya. Dan akhirnya saya membolehkannya ikut les.
Les bacanya hanya berlangsung maksimal lima belas menit, sementara empat puluh lima menit berikutnya adalah saatnya bermain dengan teman-temannya. Guru lesnya memahami keinginan Ade, dan tetap memperlakukan sama dengan yang lain. Walaupun dia tergolong jenius, saya tak ingin mengekspose kejeniusannya kecuali ia sendiri yang menampakkannya. Toh ketika bekerja, yang penting adalah akhlak yang baik untuk menyeimbangkan kemampuan otak.
Maka, begitulah mengapa kegiatan Ade satu persatu makin panjang. Meski begitu, saya membatasi kegiatannya hanya sampai pukul satu siang. Setelahnya, Ade adalah milik Emaknya. Kami akan menghabiskan waktu bersama, menonton televisi, main rumah-rumahan, main keyboard atau belera, bahkan kadang-kadang bernyanyi bersama. Kadang malah bukan lagu anak-anak. Tapi Ade malah menghafal lagu favorit saya yang berbahasa Inggris MLTR yang bernada pelan. Biarlah, toh dia tak paham artinya.
Jadi, saya bercerita tentang Ade bukan bermaksud membela diri. Tapi ingin menjelaskan bahwa setiap anak itu berbeda. Satu anak yang lain mungkin harus dipaksa untuk memiliki kegiatan seperti Ade. Tapi Ade berbeda dengan anak-anak lain. Ade, yang sudah diperiksa secara psikologi beberapa kali karena Emaknya kehabisan media praktek, memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi namun juga memiliki emosi yang sangat tidak stabil dan energi yang berlebih. Kasih sayang adalah satu-satunya hal yang bisa mengendalikan emosinya itu. Dan media musik serta berbagai kegiatan fisik merupakan cara untuk membiarkannya mengeluarkan energinya yang berlebihan itu.
Satu hal yang harus diperhatikan para Emak dan Ayah, bukanlah jumlah IQ anak yang tertera dalam laporan psikologinya. Tapi bagaimana menangani anak agar ia selalu merasa bahagia hingga ia dewasa dan siap dalam menghadapi kehidupan? Ilmu psikologi yang saya ambil, bertujuan sepenuhnya untuk anak-anak, untuk memahami dan membuat anak-anak di sekitar saya selalu merasa bahagia. Karena itu, sangat tidak mungkin kalau saya tak memperhitungkan kebutuhan Ade. Justru ketika kami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, Ade justru terlihat bosan dan gampang marah.
Karena itu, jangan hanya mengambil pesan dari sebuah cerita tanpa mempelajarinya lebih dalam. Maknai sebagai kesempatan untuk memahami anak dengan lebih baik. Anak yang mengalami gangguan jiwa atau fase sebelum stress biasanya sudah menunjukkan gejala jauh sebelumnya. Kalau sampai terlanjur seperti cerita itu, maka orangtuanya yang mungkin tidak memahami gejala itu sebelumnya. Tentu hal ini tak bisa dijelaskan di sini, karena setiap anak itu berbeda. Sedangkan anak yang bahagia, itu akan terlihat dengan jelas oleh orang-orang di sekitarnya. Dan sejauh ini, tak satupun anggota keluarga melihat Ade mengalami tekanan. Dia malah tergolong anak yang mudah beradaptasi serta diajak bekerjasama, meski sedikit manja.
Sekali lagi, ini hanyalah sekedar berbagi pengalaman tentang menjadi Emak. Kita tak boleh hanya melihat dari satu sudut pandang, lalu menghakimi tanpa memahami yang terjadi. Bukankah sangat disayangkan ketika sebuah bakat luar biasa yang mungkin mengubah kehidupan seorang anak menjadi lebih baik, justru disia-siakan hanya karena ketakutan yang tak berarti?
Sekali lagi, setiap anak itu unik dengan kebutuhan yang berbeda, dengan pemahaman yang berbeda. Hanya ada hal yang sama yang dibutuhkan setiap anak, itu adalah kasih sayang dan perhatian tulus dari orangtuanya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar