30 Maret 2015

Sikap Asal-asalan

Pagi ini saat sedang mengupas atau nge-peel off wortel dan kentang untuk sup, saya terpikir sesuatu. Andaikan saya memakai pisau, pasti tidak akan semudah itu mengupas kulit wortel atau kentang. Pasti akan banyak 'isi' wortel atau kentang yang ikut terpotong bersama kulitnya. Untung saya pakai alat peel off yang membuat pekerjaan lebih cepat, tepat sasaran dan tidak sia-sia.


Nah, inilah yang bisa diserupakan dengan cara Pemerintah yang memberangus berbagai situs-situs muslim. Alat yang mereka gunakan seperti pisau yang tak hanya mengupas kulit wortel, tapi juga membuang isi yang bermanfaat. Seharusnya memakai alat yang lebih tepat, cara yang lebih baik agar yang musnah memang benar-benar sesuatu yang tak bermanfaat dan mengganggu stabilitas umum, bukannya menghabisi semua yang bahkan sangat baik untuk dikonsumsi.


Miris sebenarnya hati ini. Saya sudah memusuhi televisi sejak beberapa tahun terakhir, karena melihat berbagai program tayangan yang jauh dari kesan mendidik dan justru memberi efek negatif pada anak-anak.


Internet menjadi satu-satunya sumber setelah saya juga melihat media massa berbayar lain seperti koran dan majalah, juga tak bisa menjadi cermin pemberitaan yang seimbang. Olok-olok partai yang tak sehat, celaan demi celaan satu sama lain, bahkan hina menghina yang jadi budaya subur di kalangan media, sepertinya menjadi hal biasa dilihat, dibaca dan didengar warga Indonesia.


Sebagai muslim Indonesia, tentu kita ingin menjadi warga negara yang baik. Meskipun negeri ini membesarkan pemimpin-pemimpin berjiwa kekanak-kanakkan, tapi sebagai orang yang bijaksana, rakyat banyak yang memilih diam dan mengikuti apa saja yang menjadi kebijakan pemerintah. Sambil berdoa dalam hati, berharap semoga kejayaan dan kesejahteraan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Karenanya, meski banyak kebijakan yang berpaling dari aturan hukum Islam, muslim Indonesia memilih untuk mengikuti aturan negara karena memang Negara ini dibentuk oleh keragaman agama dan suku, bukan hanya satu agama meskipun Islam adalah mayoritas.


Namun, tidakkah Pemerintah atau orang-orang berkepentingan itu menyadari betapa indahnya makna saling menghormati?


Situs-situs Islam menjadi media untuk para muslim muslimah saling mengingatkan satu sama lain. Aturan-aturan sederhana seperti mengucapkan salam, mandisampai cara membina hubungan yang baik antara suami istri, orangtua dan anak hingga persahabatan mulai dari dunia nyata hingga di sosial media, dibahas di situ lengkap dengan bantahan serta berbagai ayat yang berhubungan dengan masalah tersebut.


Entah bagian mana yang menjadikan situs-situs tersebut menghilang dan dianggap berbahaya, kalau justru karenanya ada banyak orang yang menemukan jati diri kemuslimannya. Kalau masalahnya karena ada paham-paham yang radikal, setahu saya sebagai pembaca, justru di situs-situs itu kita belajar membedakannya dan mendeteksinya kalau muncul di lingkungan kita.


Yang membuat makin miris justru adalah situs-situs porno yang melenggang bebas di layar monitor. Bahkan saking takutnya, saya melarang anak-anak ke warnet dan memilih menjadi pengawas mereka saat ber'browsing' terutama di sebuah website video.


Salah satu teman mengatakan kalau ini adalah isu propaganda untuk memecah belah NKRI. Kalau begitu, kelemahan Pemerintah saat ini adalah tidak sensitif pada isu-isu penting. Ketika harga BBM naik turun tidak jelas, sementara kebutuhan meningkat, selama itu pula beberapa orang memilih diam termasuk saya. Karena melihat dari sudut ekonomi, kita memandang kalau hal itu dipengaruhi oleh nilai tukar dollar terhadap rupiah. Saat politik bergejolak di antara kalangan lembaga-lembaga pemerintah, banyak yang tetap diam karena mereka merasa 'ah, sama saja!'


Namun, untuk yang satu ini, entah mengapa saya merasa dikembalikan pada kenangan tahun 1997, saat usia masih remaja dimana kebebasan berpendapat itu dikerangkeng oleh kebijakan Pemerintah. Anak-anak muda zaman sekarang mungkin tak tahu betapa pahitnya saat kebebasan itu dipenjara. Siapa sangka kenangan itu berbalik sekarang?


Tapi Indonesia sudah tak sama dengan Indonesia tahun 1997. Sekarang teknologi lebih canggih. Belum sampai satu hari, saya melihat beberapa teman dari kalangan IT sudah menggunakan berbagai cara untuk menghentikan langkah Pemerintah itu.


Hanya saja, kita seperti diadu domba. Pemerintah itu ibarat orangtua yang mengasuh anak-anak dan warga Indonesialah yang menjadi anak-anaknya. Kalau dalam satu keluarga antara mereka yang mengasuh dan yang diasuh saling menentang, bagaimana jadinya keluarga itu?Sebagai salah satu warga Indonesia, saya mengingatkan mereka yang berada di balik isu-isu sensitif untuk membuka mata lebih lebar dan mendengarkan lebih banyak suara. Untuk membangun Indonesia yang lebih terbuka, pilih alat yang tepat sasaran dan adil untuk menghentikan kejahatan atau kriminalitas dan bersikaplah selayaknya Pemimpin yang baik untuk jutaan warga Indonesia ini. Jangan asal tebang, asal potong, asal kupas bahkan asal-asalan menangani kasus.

Tidak ada komentar: